Opini MEDITASI HIDUP KESEHARIAN (1)

Kebenaran Terlupakan dalam Keseharian

NU Online  ·  Ahad, 27 Maret 2016 | 18:04 WIB

Oleh Mh Nurul Huda
Seorang sahabat, ia yang juga sarjana hukum, master sosiologi, tampak memeluk hangat sang ibunda. Foto itu ia unggah di halaman facebook miliknya. Senyumnya mekar, wajahnya berbinar.

Gambar yang berbicara tanpa kata-kata itu segera mengundang komentar pembaca: “Kehidupan manusia pada awalnya dari sini, cinta kasih dan pelukan ibunda, sebelum menang-kalah dalam kamus para pengacara”. Dan penulis rasa dari sana pula hadir “keinginan berbakti” sahabat itu saat dewasa.

Penulis yang turut membaca komentar itu seketika teringat cinta kasih ibundanya sendiri, semasa bayi. Sebetulnya ingatan bayi itu belum ada, lantaran organ mentalnya -sel syaraf reseptor neurotransmiter dalam otaknya- belum tumbuh sempurna. Sampai evolusi biologis itu berlangsung di usia bocah, ia lalu dapat mengerti informasi dari lirik sebuah kidung yang dulu pernah dinyanyikan bersama sebaya di emperan langgar (surau) kampungnya.

Duh, sangang sasi aku diemban//Dening ibuku ing madaharan//Nalikoiku ibuku nompo//Ing kemlaratan katumpo-tumpo//
Saenggo ibu nyuwun pitulung//Marang pangeran kang moho agung//Duh Gusti Allah mugi Panjenengan//Kang nggampilakening kelahiran


(Aduh, sembilan bulan lamanya aku digendong/ Oleh ibuku dalam kandungan/Ketika itu ibuku didera kesulitan berlipat-lipat//
Lalu ibu minta pertolongan//Kepada Tuhan yang Maha Agung/Aduh, Gusti Allah, semoga Engkau//Memudahkan kelahiran ini).

Entah siapa pengarang kidung itu hingga akhirnya begitu populer di pesantren-pesantren besar di Jawa hingga ke surau-surau kecil. Para santri mungil hafal di luar kepala. Didendangkannya saat menjelang sembahyang, atau dinyanyikannya sebelum guru mengaji tiba. Di surau-surau guru mengaji mengajarkan akhlak, budi pekerti, kepada santri. Ditanamkan dalam diri anak untuk menghormati dan memuliakan kedua orang tuanya. Dilarangnya mereka menyakiti ibunya, menfitnah orang lain, mengambil barang yang bukan haknya, bersikap tidak adil dan tidak jujur, serta ajaran-ajaran kebenaran lainnya yang dituturkan dalam agama.

Ibunda siapa yang tak bahagia mendengar dendangan itu? Bocah-bocah yang “kesadaran-diri”-nya belum tumbuh sempurna saat bayi (bahkan organ-organ tubuhnya sedang tumbuh dan belum berfungsi saat dalam kandungan) diajak mengingat kembali sesuatu yang “tak hadir”. Kenyataan tentang cinta ibunda kepada buah hatinya, yang dilahirkan dengan derita dan mungkin nyaris meregang nyawa. Lalu disusuinya orok merah itu, dirawat, dijaga, dan dibesarkannya.

Kenyataan macam itu belum hadir dalam kesadaran si orok. Baru lewat kidung berkisah, saat bayi itu kini sudah menjadi bocah, cinta kasih ibundanya dihadirkan. Jika kisah itu masih tidak dianggap sebagai kabar kesaksian tentang kenyataan, maka bocah itu segera dapat mengamati beberapa ekor cemeng (Jawa: sebutan untuk anak kucing) yang dilahirkan dari rahim induknya. Sang induk menjilati rata air ketuban yang membasahi tubuh orok. Seperti halnya pada manusia, kucing betina, juga kambing, singa, dan lainnya, menyusui bayinya, merawat dan menjaganya. Segala hardikan kasar kepada anak bayinya, akan dilawannya.

Tampak di sini bahwa ada realitas yang bersifat universal dalam kehidupan: pada makhluk mamalia, antara ibu-bayi ada suatu ikatan emosional, cinta, dan kepedulian. Mau ia betina Jawa atau Sunda dan, penulis kira, betina Amerika dan Eropa juga. Kesadaran manusia tumbuh seiring dengan perkembangan biologisnya, organ-organ mentalnya. Manusia juga sudah cenderung bersikap otonom sejak bayi-tumbuh-jadi-bocah, yang terlihat jelas saat mulai mampu berkata “tidak!” kepada ibunya.

Kesadaran-diri si bocah pelan-pelan semakin membesar. Impuls-impuls, persepsi, daya manipulasinya (kemampuan bertindak berdasarkan impuls, hasrat, keinginan) manifes. Pada saat yang bersamaan interaksinya tidak lagi terbatas dengan kedua orang tuanya yang menjadi titik referensi peniruan (imitasi). Sosialisasi dalam lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar turut membentuk dirinya (the self). Status dan peran sosialnya saat remaja-hingga-dewasa makin berganda. Dan tindakannya pun semakin tidak mudah diprediksi, entah berdasarkan pertimbangan, ataukah sebaliknya: mendadak ia melawan ibunya, atau mencuri buah tetangga!

Ada kebenaran dalam semiotika-biologis di atas. Kebenaran juga nyata-nyata ada di dalam tuntunan agama, kendatipun Albert Einstein telah berhasil menemukan theorema dan formula bom-atom dalam laboratorium. Kebenaran hidup mungkin tersembunyi dalam kenyataan yang kadung brutal (situasi nyata yang tak pernah dipilih bayi saat lahir, ia tinggal dihadapi), dan mungkin tak terkenali dalam “realitas radikal” (radical reality) yang bersifat sosiohistorikal. “Ada dua hal yang tak terbatas: semesta raya dan kedunguan manusia,” kata Albert Einstein. “Tapi, aku tidak yakin tentang (ketakterbatasan) semesta”.

Kembali pada gambar foto sahabat penulis tadi yang tengah memeluk ibundanya, ia adalah suatu gambaran tentang “kebenaran” dalam kehidupan; kebenaran yang diketahui baik melalui bimbingan kitab suci agama maupun dalam semiotika-biologis makhluk mamalia. [bersambung]


*) Mh Nurul Huda, penulis adalah dosen UNU Indonesia di Jakarta