Opini

Kearifan dan Tantangan Peradaban Indonesia

NU Online  ·  Kamis, 28 September 2017 | 00:01 WIB

Oleh Anwar Kurniawan

Para Ulama dan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa ini, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan sebuah negara  bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya, dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. (Gus Dur)

Gagasan mengenai Indonesia sebagai nation-state merupakan buah dari pahit getir pengalaman panjang sejarah Nusantara. Di satu pihak, sejarah panjang Nusantara pernah melahirkan sejumlah peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan sebagainya. Sementaradi pihak lain, dialog intensif antara Islam sebagai perangkat ajaran agama dengan nasionalisme, telah menegaskan kesadaran bahwa bangsa kita mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi. 

Dalam pengertian demikian, pepatah Mpu Tantular yang kini menjadi semboyan bangsa kita, “Bhinneka Tunggal Ika”,  dan ajaran serta keteladanan para misionaris Islam masa lalu (Wali Songo) dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh bagi Indonesia hari ini. 

Kendatipun menurut Gus Dur, ada segenap hubungan fluktuatif yang terjadi dan mesti kita sadari dari fakta historis bangsa ini. Proses mencapai kesepahaman antara agama dan nasionalisme bukanlah perkara yang mudah. Terbukti, beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik atas nama agama, (Abdurrahman Wahid: 2009).

Merasa benar

Belakangan, pasca tumbangnya rezim Orde Baru gagasan mengenai formalisasi syariat Islam kembali menyeruak. Gagasan itu digaungkan kembali oleh segelintir kelompok yang merasa bahwa arus modernitas telah menyudutkan Islam. 

Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, karena tidak berdaya menghadapi arus modernitas, segelintir kelompok itu biasanya menghadirkan sejumlah dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Monopoli kebenaran akhirnya tidak bisa dihindari (A. Syafi’i Ma’arif: 2009).

Pada titik ini, jika sekadar merasa paling benar tanpa menghakimi pihak lain, barangkali tidak terlalu berbahaya. Bahaya akan muncul ketika mengatasnamakan Tuhan untuk berlindung sekaligus menyerang siapa saja berseberangan pandangan dengan mereka. Aksi teror dan kekerasan dalam bingkai agama pun menjadi titik kejut paling jera. 

Pekikan Takbir yang semestinya menggetarkan nurani justru berubah menjadi irama “seram” mengiringi laku teror. Atasnama jihad membela Tuhan mereka memberangus ciptaan Tuhan. Ayat-ayat al-Qur’an yang sejatinya untuk meningkatkan kesalehan justru dimanipulasi untuk pertumpahan darah.

Padahal, al-Qur’an sendiri mengenalkan dirinya kepada peradaban Arab saat itu dengan sangat manusiawi tanpa mengabrasi unsur-unsur lokal. Arab pra-Islam, misalnya, begitu menggandrungi produksi sastra; mulai dari puisi, syair-syair lokal, hingga praktik perdukunan. Bahkan, tak jarang ditemui, masyarakat Arab pra-Islam mengamalkan praktik perdukunan dalam proses pembuatan puisi, dan lain sebagainya.

Meski demikian, kegandrungan itu tidak lantas diberangus oleh al-Qur’an, namun justru diadaptasi dalam proses penurunan wahyu. Andaikata, peradaban Arab pra-Islam tidak memiliki konsep-konsep seperti itu, bisa dipastikan fenomena wahyu akan sulit dipahami dari sudut pandang budaya oleh masyarakat setempat. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima ide tentang malaikat turun dari langit kepada seorang manusia, apabila konsep ini tidak memiliki akar kulturalnya dalam pembentukan nalar mereka. 

Demikian halnya dengan para ulama masa lalu dalam membawakan Islam ke Indonesia maupun para pendiri bangsa merumuskan dasar-dasar bernegara dan berbangsa bagi masyarakat kita. Sunan Kalijaga, misalnya, melihat masyarakat Jawa yang saat itu gemar bersenandung dan wayangan, salah satu misionaris Islam ini berdakwah melalui unsur-unsur lokal meliputi tembang-tembang dan kesenian Jawa. Akhirnya Islam pun diterima dengan penuh gembira dan keramahan tanpa rasa curiga.

Begitu pun para ulama pendiri bangsa seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH A. Kahar Muzakkir, H Agus Salim, KH A. Wahid Hasyim, dan founding fathers lainnya yang menggagas Indonesia sebagai negara bangsa. Langkah tersebut merupakan keputusan tepat dalam mewariskan bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah realitas Indonesia yang memang beragam. Bukan milik kelompok tertentu, bukan juga milik agama tertentu.

Sebab itu, melalui Pancasila sebagai falsafah negara, mereka sadar bahwa di dalamnya tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah maqasid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum. 

Penulis adalah Pelajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sunan Pandanaran, Yogyakarta.