Oleh Muhammad Afiq Zahara
Kewarasan kita belakang ini seperti sembunyi di bawah kolong meja makan. Terlihat ketika kita mengambil makan, tapi kita enggan menariknya keluar. Seperti anak kecil yang sedang ngambek, daripada diperhatikan semakin menjadi-jadi, lebih baik didiamkan saja. Itu sekadar gambaran, meski gambaran tersebut masih terlalu bagus. Jika memang benar kewarasan kita tengah ngambek, itu anugerah. Artinya, kewarasan kita masih responsif, berfungsi melihat peristiwa di sekeliling kita. Meski tidak dapat dipungkiri, fungsinya telah bergeser cukup jauh. Secara psikologis, orang yang aksinya selalu diabaikan, kewarasan intelektualnya tertekan oleh keminderan sosial. Ini barangkali lho ya.
Yang lebih parah itu jika kewarasan kita tidak pernah ngambek. Menunjukkan kita tidak pernah menggunakannya, diabaikan sejak masih di kandung badan. Dalam bahasa bakunya, di-acuh-tak-acuh-kan (tidak dipedulikan). Tak diacuhkan itu tidak mengenakkan, apalagi tak diacuhkan sebelum beraksi, rasanya sakit sekali. Mungkin ini yang disebut Paulo Freire sebagai culture of silence (budaya diam). Penjelasannya begini, Paulo Freire (1921-1997 M) berpandangan dominasi sosial menciptakan culture of silence yang menanamkan gambaran diri yang tertindas, negatif, dan diam. Dominasi sosial yang dimaksud Freire adalah dominasi ras dan kelas. Dalam tulisan ini, bukan dominasi semacam itu yang akan dibahas. Tapi,saya akan menarik dominasi itu kedalam wilayah perspektif kritis atau cara pandang kritis.
Sekarang ini, persepsi manusia terbelah menjadi dua, antara “lingkungan nyata” dan “lingkungan maya”. Saya memasukkan televisi, radio, internet, media sosial dan yang sejenisnya ke dalam “lingkungan maya”. Sedangkan “lingkungan nyata”adalah kehidupan di sekitar kita, yang dapat dilihat, digumuli dan disentuh secara langsung. Dua persepsi ini bercampur dan saling bersaing. Satu sama lain berusaha saling mengalahkan. Sampai saat ini, “persepsi lingkungan maya” memiliki rekor kemenangan yang lebih baik. Dalam banyak pertandingan “persepsi lingkungan nyata” sering di-KO (knockout) oleh “persepsi lingkungan maya”. Masalah KO-nya di ronde berapa, tergantung daya tahan persepsinya. Setiap orang memiliki daya tahan yang berbeda-beda, bahkan ada juga yang menang, meski jumlahnya sedikit.
Misalnya iklan kosmetik. Secara ekstrem telah mengubah definisi kecantikan dan mengarahkannya pada kebenaran tunggal, yaitu monopoli definisi kecantikan. Sehingga cantik atau tidak ditentukan oleh pabrik-pabrik kosmetik dan iklan-iklannya, secara tidak disadari oleh kita. Dalam sudut pandang marketing, tentu saja berhasil. Tetapi tidak dari sudut pandang budaya. Zaman dulu (zaman old) setiap rumah tangga hampir tidak menyediakan anggaran untuk membeli produk kecantikan—jikapun ada, tidak sebesar sekarang. Bukan berarti saya menentang para gadis bersolek, tidak sama sekali. Islam sendiri mendorong wanita untuk tampil menawan di depan suaminya. Saya hanya ingin menyampaikan, dengan masifnya iklan dan promosi visual produk kecantikan, jangan sampai kewarasan kita menjadi buntut, mengikuti trend tanpa mempertimbangkan aspek guna.
Di sisi lain, minimnya nilai didik sinetron-sinetron kita menjadi donatur lain daribanyaknya kekalahan “persepsi lingkungan nyata”. Anak-anak SLTP (SMP) zaman now, di beberapa daerah, enggan berangkat sekolah menggunakan sepedaonthel. Mereka memaksa orangtuanya membelikan mereka sepeda motor. Sepeda itu ketinggalan zaman, kuno. Tidak bisa dibuat genk motor. Fenomena ini, sedikit banyaknya karena pengaruh gaya hidup anak-anak sekolah yang ditampilkan di sinetron-sinetron kita. Efeknya, kekayaan intelektual bagi anak-anak usia didik kalah telak dengan kekayaan “gaul” dan “keren”. Pintar dan sopan bukan lagi sesuatu yang “wah”, apalagi “wow”.
Belum lagi persoalan melihat berita dengan selera. Hoaks dianggap fakta dan fakta dianggap fitnah.Banyak sekali berita hoaks yang kadung tersebar sangat sukar dihentikan. Meskipun telah diklarifikasi, tapi tidak semua orang mendengar klarifikasi tersebut. Jikapun mendengar, tidak sedikit yang merespon dengan sinis, “paling juga ngeles.”Ada juga yang tidak peduli.Putus asa melihat bermacam berita kontradiktif. Karena memang, sekarang ini wilayah abu-abu, yang blur-blur itu, semakin luas. Sementara wilayah kebohongan dan kebenaran semakin menyempit. Joseph Goebbels (1897-1945 M), menteri propaganda NAZI Jerman, pernah mengatakan: “A lie repeated a thousand times becomes the truth—kebohongan yang diulang seribu kali akan tampak menjadi kebenaran.”Masuk akal juga.
Di dunia semacam ini, kewarasan kita dituntut aktif berperan, atau kita memilih mengikuti arus, melanggengkan culture of silence (budaya diam) dalam bahasa Paulo Freire. Bukan berarti dengan lantang berpendapat dan bersuara culture of silence itu hilang, tidak. Toh, sekarang ini suara lantang ada di mana-mana, dan diujarkan oleh siapa saja. Tapi, saya ulangi, bukan berarti budaya diam telah hilang.Budaya diam (culture of silence) disini jangan dimaknai secara literal. Makna yang saya tuju adalah, kelangkaan aktivitascritical consciousness(kesadaran atau kewarasan kritis).
Saya pribadi berpendapat “kewarasan kritis” sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan lingkungan nyata dan maya. “Kewarasan kritis” yang saya maksud adalah, kewarasan yang berkaitan erat dengan aspek guna. Tidak menelan mentah-mentah iklan yang beredar, berita yang bertebaran dan gaya hidup berlebihan yang digambarkan sinetron-sinetron kita. Kewarasan yang menjadi sensor atas hal-hal yang kegunaannya melebihi kebutuhannya. Kegunaan dan kebutuhan harus berbanding seimbang, tidak berlebih-lebihan. Jangan sampai ketidak-seimbangannya membawa kita pada gaya hidup hedonis, apalagi untuk masyarakat pedesaan. Ingat, inflasi antara kegunaan dan kebutuhan juga bahaya lho.
Lalu sisi kritisnya di mana? Di dalam prosesnya. Everett Dean Martin (1880-1941 M) mengatakan: “It easier to believe than to doubt—lebih mudah percaya daripada ragu.” Di baris berikutnya Ia mengatakan: “It is nobler to doubt than to believe—lebih mulia meragukan daripada mempercayai.” (Everett Dean Martin, The Educational Value of Doubt, dalam Thought in Prose, ed. Ricard S. Beal & Jacob Korg, London: Prentice-Hall International, Inc, 1966, hlm 70).
Landasan logika perkataan Dean Martin adalah, mempercayai iklan dan berita tidak memerlukan “kesangsian metodis”—meminjam istilah Rene Descrates. Cukup percaya saja, titik, tanpa perlu berpikir dan melakukan kroscek (tabayyun). Karena itu, Ia berpendapat, “meragukan lebih mulia daripada mempercayai.” Bukan meragukan dalam arti prasangka (su’udzan), tapi meragukan yang menggunakan pendekatan metodis.
Gambaran singkatnya begini, ketika seorang gadis melihat iklan brand makeup tertentu, disertai deskripsi yang menarik, “bisa memancungkan hidung dan menghaluskan alis”, misalnya. Ia harus melakukan telaah kritis. Apakah brand makeup tersebut benar-benar dibutuhkannya, atau hanya sekedar tertarik dengan bintang iklannya yang luar biasa cantik dan deskripsinya yang menggoda.Kemudian membayangkan dirinya berwujud secantik itu, dengan bantuan makeup tersebut. Begitu juga dengan hal-hal lainnya. Ini penting, bahkan sangat penting untuk menghindari disfungsi kewarasan kita.
Oleh karena itu, kita harus berpikir dan merasa sebelum tenggelam dalam arus keabu-abuan yang deras. Kita harus memegang erat nilai-nilai kesederhanaan kita. Mengutamakan kemanfaatan yang bersanding rata dengan kebutuhan. Atau paling tidak, setelah membaca tulisan ini,kewarasan kita berpindah tempat persembunyiannya, dari kolong meja makan menuju kolong meja belajar. Salam damai.
Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.