Hari ini, Senin (20/8) saya kembali menginjakkan kaki di tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ini adalah kunjungan kedua saya setelah sebelumnya pada akhir November 2017. Kala itu kedatangan saya untuk liputan Munas Konbes NU yang digelar di sejumlah pesantren di NTB.
Masih tergambar keramahan warga Lombok menyambut kami. Makanan khasnya—ayam bakar taliwang dan plecing kangkung—dan pantai-pantainya yang indah, adalah hal-hal yang tak bisa pergi dari ingatan saya.
Namun, tujuan pokok kunjungan kali ini bukan untuk menikmati itu semua. Sejak malam sebelumnya, saya diingatkan oleh Sekretaris LPBI PBNU, Yayah Ruchyati. Ia sudah tahu bahwa pagi ini saya penerbangan ke Lombok, menyusulnya dan Tim NU yang sudah beberapa hari berada di sana.
“Besok kamu berani, kan? Soalnya sehari ini udah hampir sepuluh kali gempa,” tanya Teh Yayah.
Pertanyaan Teh Yayah ini agaknya wajar. Kepanikan akan gempa yang sudah mereda beberapa hari, timbul lagi karena pada Ahad kemarin terjadi gempa susul menyusul. Saat mengirim pertanyaan itu, saya juga tahu bahwa di Lombok baru saja terjadi gempa susulan dengan magnetudo mencapai 7,00 SR.
Teh Yayah dan para relawan NU Peduli yang tengah berada di Lombok ikut merasakan kecemasan. Malam itu, mereka memilih tidur di halaman, bahkan ada yang tidak tidur sama sekali, karena menyiapkan diri kalau-kalau ada gempa lagi.
Mendengar pertanyaan Teh Yayah saya katakan, “Saya sudah pamitan pada semua orang.” Saya tambahkan “Walaupun yang saya khawatirkan adalah bila terjadi hal buruk pada saya jika tiba di Lombok, saya masih ada beberapa utang.”
Membaca jawaban saya, Teh Yayah menelepon saya. “Kalau urusan utang mah nanti saja. Yang penting kamu siap nggak ke Lombok?”
Tentu saja saya tegaskan saya sudah mantap berangkat. Memang di sebuah grup Whatsapp yang saya ikuti, saya membaca, entah serius atau bercanda, “Liat di grup sebelah, ada volunteer2 yg datang malah yg dikasih trauma healing. Duh, yang siap please?”
Tulisan itu adalah tanggapan seorang teman di grup tersebut yang menulis, “Gw mau ke Lombok jadi volunteer.”
Melihat situasi dan fakta bahwa gempa susul menyusul masih sering terjadi sampai hari itu, saya memaklumi tanggapan-tanggapan semacam di grup WA. Saya juga memaklumi kalau sampai para relawan ada yang panik dan merasakan tekanan. Adakah manusia yang benar-benar siap untuk menghadapi risiko bahaya akibat gempa, yang gempa itu tak diduga-duga kapan datangnya, dan tak bisa diduga ukurannya?
Jika kemudian saya tetap memilih berangkat ke Lombok, pertanyaan Teh Yayah-lah yang jadi salah satu penguatnya. Alasan lainnya, ini demi tugas liputan. Sebuah tanggung jawab untuk menyajikan yang terbaik bagi pembaca NU Online, sebuah tugas yang diamanahkan yang tak mungkin saya elakkan.
Memang, selama saya di Jakarta, saya dan Tim NU Online dapat memberitakan situasi di Lombok lewat rilis yang diterima Redaksi, ataupun narasumber Tim NU Peduli dan relawan yang kami hubungi. Akan tetapi, sudah jadi keinginan kami dan terutama saya untuk bisa menyajikan berita situasi Lombok secara mendalam dan langsung dari tempat kejadian.
Pada saaat yang sama, saya pun membayangkan para tentara yang mungkin juga mengalami perasaan serupa jika ditugaskan ke medan perang. Atau seorang yang pergi haji yang harus siap menghadapi risiko apa pun.
Maka begitulah, saya datang bukan seperti istilah dari kampung halaman saya nantang weya, menantang bahaya dalam konotasi negatif. Saya berangkat dengan niat positif untuk menyajikan yang terbaik.
Pukul 11.00 WITA, saya tiba di Lombok. Pesawat yang saya tumpangi tidak penuh penumpang, banyak kursi yang masih kosong. Suasana bandara Lombok, dalam pengamatan saya, terlihat lebih lengang.
Dari bandara, saya diajak oleh Wakil Ketua NU Care-LAZISNU yang juga Ketua LPBI NU DKI Jakarta, M Wahib MH dan Manager Program NU Care-LAZISNU, Anik Rifqoh menuju ke Batuhumbung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.
Kami telah dijemput Pak Refreandi dan Pak Safrudin dari NU Care-LAZISNU NTB. Tujuan kami ke Lingsar, kata Kang Wahib, adalah untuk meninjau dan sekaligus meresmikan hunian sementara buatan Tim NU bagi warga NTB yang terdampak gempa.
Sama seperti bandara yang hari itu terlihat lengang, rumah-rumah penduduk di pinggir jalan dari bandara ke arah Lingsar juga sepi.
“Banyak yang memilih mengungsi di tenda-tenda. Sepi semua. Kalau malam pada nginap di tenda,” kata Ketua LAZISNU NTB, Safrudin.
Di tengah perjalanan, mobil yang membawa kami harus berbalik arah. Di depan sana, jalanan juga diubah jadi pengungsian.
Tiba di Lingsar, yang alamnya masih hijau karena banyak kebun dan pepohonan, terlihat tenda-tenda di halaman rumah warga. Di sanalah, terutama pada malam hari, warga memilih beristirahat.
Dari Lingsar, kami menuju Pos Utama NU Peduli di Kampus UNU NTB. Saya mendaftarkan nama saya dan nama Mbak Ninok serta Kang Wahib. Mendaftarakan nama relawan dan tim NU Peduli menjadi keharusan agar Tim memiliki data yang pasti soal jumlah dan nama relawan, serta keahlian mereka. Terlebih PBNU memang menginstruksikan agar penanganan dampak gempa Lombok harus melalui satu pintu yakni NU Peduli Lombok.
Dalam tim ini terdiri beragam elemen NU seperti NU Care-LAZISNU, LPBI PBNU, LP Ma’arif NU, LDNU, LTM, Muslimat NU, Fatayat NU, IPNU IPPNU dan Banom serta lembaga NU lainnya.
Mbak Ninok dan Kang Wahib segera bergabung dengan Tim NU Peduli yang tengah berada di kampus UNU NTB.Mereka mendiskusikan perkembangan terbaru dan rencana penanganan dampak gempa. Saya mengikuti diskusi sebentar dan mengambil foto serta merekam video.
Saya lalu mandi, shalat dan mencoba istirahat dengan rebahan. Tidak tidur semalam tadi, membuat mata ini sangat mengantuk. Entah nyata atau perasaan saja, sepertinya lantai yang saya tempati bergoyang. Tapi saya terlanjur mengantuk. Saya bergumam, “Ya Allah, saya ingin tidur. Tolong jaga saya.”
Saya akhirnya terlelap. Tapi belum lama, para relawan dan Tim di UNU NTB berteriak, “Ada gempa, ada gempa.”
Saya yang baru terbangun, tidak merasakan getaran itu. Sementara relawan dan Tim telah berhamburan ke arah halaman. Artinya, seandainya gempa itu berkekuatan besar, serta meruntuhkan bangunan tempat saya rebahan, mungkin sesuatu yang buruk harus saya alami.
Alhamdulillah, saya dan tim lainnya selamat. Gempa petang itu berkekuatan 5,0 SR. Meski begitu, tetap saja ini meninggalkan kepanikan buat kami yang ada di tanah Lombok.
Mengalami peristiwa barusan, saya cerita kepada seorang relawan, “Tadi saya juga agak merasa goyangan tapi nekat dan pasrah saja karena ngantuk banget.”
Teman relawan ini menyahut, “Ya sekarang warga Lombok juga kebanyakan pasrah saja. Siap apa saja yang harus dihadapi.”
Mendengar itu, saya salut sekaligus merasakan kegetiran. Perkataan ini paling penting mengingatkan saya bahwa kunjungan ke Lombok kali ini harus disertai dengan persiapan mental. Di satu sisi yang segera terbersit dalam hati saya adalah, “Benarkah Engkau menginginkan seperti ini terus menerus, Gusti Allah? Kapankah Engkau kembalikan tanah Lombok seperti yang dulu, yang alamnya indah, dan warganya hidup tenang?” (Kendi Setiawan)