Opini

Kalau Suka 'Ngagetin', Jangan Kagetan

NU Online  ·  Rabu, 27 Maret 2019 | 01:03 WIB

Kalau Suka 'Ngagetin', Jangan Kagetan

Ilustrasi (Dok. NU Online)

Oleh Aswab Mahasin

Dulu Gus Dur sering melontarkan petuah, ojo gumunan (jangan kagetan). Khususnya dengan realitas kehidupan yang sering berubah-ubah. Banyak kejadian atau fenomena di dunia yang membuat kita tercengang. Tidak hanya kejadian alam, pergaulan sosial pun mengalami pergeseran luar biasa, dibarengi pula dengan sekat-sekat politik yang memisahkan persepsi kita.

Kita masih ingat bagaimana Gus Dur dahulu sering kali dicap sebagai ‘kafir’, agen yahudi, dikatai buta mata—buta hati, dan dilabeli juga sebagai golongan liberal. Namun, apa sikap Gus Dur, beliau hanya santai dan menganggap semua itu lelucon. Seperti saat Gus Dur dibilang kafir, Gus Dur hanya menimpali “tinggal baca syahadat lagi, gitu aja kok repot”.

Kalau harus diruntut mungkin sudah ribuan bahkan ratusan ribu ujaran kebencian dan fitnah menyasar Gus Dur pada saat itu. Begitupun ketika Gus Dur menjadi Presiden, beliau diturunkan dengan berbagai alasan yang tidak terbukti sampai sekarang. Menyitir istilah Budiman Sudjatmiko, “Sistem Negara ini belum siap menerima orang baik”.

Namun sekarang, manusia seperti Gus Dur cukup langka di Indonesia. Untung saja orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) masih menjaga tradisi ojo gumunan ala Gus Dur. Jika kita lihat, NU (sebagai organisasi terbesar di Indonesia) sedang menjadi sasaran tembak oleh kelompok tertentu (entah kelompok mana, pikir saja sendiri). NU sedang dicari-cari terus kesalahannya, sampai-sampai kemaren geger masalah non-muslim—NU dihantam (dikagetin). Tetapi isu tersebut mental dengan sendirinya—alasan dan dalih mereka tidak cukup secara pengetahuan.

Masih banyak serangan yang ditujukan terhadap NU, khususnya kepada tokoh-tokoh NU. Dan NU tetap bersikap santai (lagi-lagi NU tidak kagetan). Perjalanan sejarah NU sudah panjang, NU terlalu sakti diruntuhkan hanya dengan satu, dua atau ribuan hoaks sekalipun.

Anehnya, posisi itu berbanding terbalik dengan kelompok tertentu yang menyerang NU. Mereka itu selalu ngagetin NU, tapi sekali-dua kali dikagetin kog ya kaget. Kalau suka ngagetin seharusnya jangan kagetan—kalau gitu sama saja dengan oknum emak-emak yang naik motor nyalain lampu sein ke kanan beloknya ke kiri (dibilangin marah, didiemin ngelunjak).

Jika kita tarik lebih dalam lagi, sebenarnya fenomena apa ini? Menurut saya fenomena semacam ini lumrah—mendekati pemilu. Di antara kita satu sama lain ingin mengapling kebenaran, dan menggiring opini publik agar berpihak pada salah satu kelompok (calon). Setiap kelompok menuduh kelompok lainnya berada dalam kegelapan dan mengarahkan orang lain untuk mengikuti model pencerahan kelompoknya menurut kualifikasi mereka sendiri yang sebenarnya menyerupai kapak jagal. Tentu kita bisa menyaring kelompok mana yang getol memasung.

Padahal kalau kita sadari tantangan internal maupun eksternal bertambah berat dan serius. Tetapi, kita hanya sibuk berkutat pada peradilan kebenaran saja, seakan-akan “Kamilah perwakilan Islam yang sesungguhnya”. Sehingga jarak pemikiran kelompok A dan kelompok B semakin lebar. Dan itu sama sekali tidak menguntungkan buat bangsa ini. NU siap untuk duduk bersama dengan semua elemen kelompok manapun membahas permasalahan bangsa. Namun, apakah lainnya bersedia?

Kalau hal ini terus dibiarkan, efeknya akan melebar, karena kebanyakan dari kita terlalu berlebihan dalam menyikapi pilihan politik, sehingga mengaburkan semua pandangan kebenaran. Kebenaran hanya dibangun dari persepsi kepentingan semata. Akhirnya kita melupakan kenyataan bahwa kita bagian dari bangsa ini, bagian dari masalah—sekaligus bagian dari solusi.

Benar yang didawuhkan Gus Mus (sapaan akrab KH Mustofa Bisri), “Jangan berlebih-lebihan dan jangan berhenti belajar”. Gus Mus dalam sesi ceramahnya selalu mengingatkan untuk jangan berhenti belajar. Makna belajar tidak hanya pergumulan intelektual semata, melainkan lebih luas dari itu. Menanamkan nilai saling menghormati pun bagian dari pembelajaran kehidupan. Namun, penutup tabir kesadaran terlalu tebal, sehingga hati dan pikiran dibutakan oleh kepentingan ego sesaat.

Kita diingatkan oleh pesan moral Rasulullah SAW pada awal pembangunan masyarakat Madinah, Nabi Muhammad menyampaikan empat pesan moral kepada umat Islam, yakni tebarkan salam, bangun keakraban, wujudukan kepedualian sosial, dan bangun shalat malam pada saat orang-orang sedang tidur. Nampak jelas, poin utama yang disampaikan Nabi Muhammad adalah agar kita hidup rukun, tentram, dan tidak ada permusuhan.

Pesan tersebut artinya Islam selalu mempunyai tujuan mempersatukan golongan-golongan yang bermusuhan dan kelompok-kelompok yang saling berperang. Lalu bagaimana para pemuka agama akan mencontohkan teladan baik, sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang selalu cekcok, berselisih, dan saling bertikai. Kita bisa tengok, beberapa tokoh agama yang tidak sepakat dengan pemerintah, menyerukan revolusi, menyerukan ancaman, dan menyulut api kebencian.

Yang penting bagi warga NU secara keseluruhan, kita “jangan kagetan” dengan fenomena ini. Percikan-percikan semacam ini akan terus menggelinding, dan kita sebagai warga NU harus menyadari satu hal. Dalam masyarakat kita saat ini terjadi kebingungan ideologis (kalau boleh saya memakai istilah ini). Perkembangan media dan arus informasi yang banter, banyak penawaran pemikiran yang masuk, dengan baju yang sama (Islam) namun dengan perilaku dan budaya yang berbeda. Bagi orang seperti saya (awam) akan menganggap semua sumber informasi itu benar. Karena kebingungan ideologis ini kemudian umat Islam hanya menyerah dan menyambut sepenuhnya semua yang datang (dari luar maupun dalam).

Banyak tambal sulam berbagai pemikiran dan ideologi dalam masyarakat kita. Namun, sebenarnya tidak lebih dari fenomena ataupun manifestasi dari kebingungan yang mereka alami. Sebagai warga NU, yang harus dilakukan adalah berperan aktif dalam proses kegiatan-kegiatan intelektual, kebudayaan, dan sosial. Jangan ikut-ikutan latah jadi tukang ngagetin—dengan argumen dan pernyataan serampangan.

Sebenarnya berbagai kelompok ini, meskipun penuh perbedaan, mereka tetap saling bertoleransi secara fisik, tidak berlanjut sampai pada konflik. Jika kita mengamati pendapat serta alasan yang diajukan oleh berbagai kelompok, mempunyai titik sentral yang sama, yaitu, realitas yang buruk, dan tujuan masa depan yang lebih baik. Mungkin sudut pandangnya saja berbeda. NU kokoh dengan NKRI, bisa jadi pihak lain ingin mengganti.

Kembali kepada dawuh Gus Mus, “Jangan berlebih-lebihan”. Artinya kita harus memiliki ilmu yang nyegoro (luas seperti lautan). Dengan itu, kita akan menjadi manusia yang tidak kagetan. Dibilang radikal kaget, melapor polisi sebagai “ujaran kebencian” (melapor tanpa tabayyun akan menjadi ‘tindakan kebencian’ melebihi dari sekedar ujaran).

Yang pasti, kita hanya manusia biasa, bukan Malaikat, dan bukan pula Tuhan. Pengetahuan kita akan sesuatu terbatas, jadi “jangan berlebih-lebihan”. Karena akan menutup jalan kebaikan untuk kita. Karena apa yang kita lihat belum tentu nampak aslinya. Lebih baik hidup ini sak madyo (secukupnya, sewajarnya, dan sesuai fungsi kemanfaatannya). Dengan itu, kita akan lebih objektif dalam memandang segala hal. Pun pribadi kita menjadi matang.

Panutan pribadi matang, tiada lain adalah Nabi Muhammad SAW Imam Ghazali menerangkan, “kematangan kepribadian Nabi Muhammad terletak pada kecenderungannya untuk “sukar marah, tapi gampang memaafkan”. Cak Nun melanjutkan, “Sedangkan kita ini mungkin juga sukar marah, tapi belum tentu gampang memaafkan. Atau kita ini gampang marah, tapi juga gampang memaafkan. Atau ternyata kita adalah manusia yang paling rendah kadar kematangannya; gampang marah dan sukar memaafkan.” Kalau sudah begitu, kita akan menjadi manusia kagetan dan suka ngagetin.


Penulis adalah pembaca NU Online