Opini MEMAHAMI ISLAM DAN GERAKANNYA

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian II Habis)

Sab, 26 Maret 2016 | 03:02 WIB

Oleh M Kholid Syeirazi

Melanjutkan bagian pertama dari tulisan, Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil, narasi kedua ini akan mengurai Bayan Nabawy, Ijma’ dan Qiyas sebagai penyempurna dari penjelasan sebelumnya terkait panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil) dengan merunut dari penjelasan Imam Syafi’i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil, terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas) di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi ‘anarki hukum’ yang ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif.

Bayan Nabawy

Sunah Nabi adalah sumber hukum kedua. Sunah mencakup ucapan, perbuatan, dan penetapan. Ketika Nabi masih hidup, Nabi menjadi sumber paling otoritatif dalam menetapkan hukum. Beliau menerima wahyu dan menjelaskan isinya. Hal-hal yang tidak disebutkan wahyu, disampaikan hukumnya oleh Nabi. QS. An-Nahl/16: 44 menyebutkan, “Wa anzalna ilayka –dz dzikra li tubayyina lin nas ma nuzzila ilayhim,” “Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” Sunah yang berujud ucapan disebut dengan hadits.


Semasa hidup, ucapan Nabi tidak ditulis, bahkan Nabi pernah melarang sahabat menulis ucapan beliau selain Al-Qur’an. Sepeninggal Nabi, umat Islam kehilangan sumber paling otoritatif untuk menjelaskan hukum. Dua pusaka yang tinggalkan Nabi adalah Al-Qur’an dan Sunah. Jika suatu perkara ditemukan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, itulah hukumnya. Jika tidak ditemukan, umat menengok kepada Sunah Nabi, baik yang berujud ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Sunah Nabi diceritakan oleh banyak sahabat, diriwayatkan melalui banyak sumber. Akhirnya, timbullah kerancuan. Banyak beredar hadits dari berbagai sumber, dinisbatkan kepada Nabi, tetapi tidak jelas kebenarannya.


Pada tahun 99 H, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz mamanggil seorang ulama bernama Syihabuddin Romahurmuzy, untuk menciptakan metode menyaring hadits sehingga dikenali hadits-hadits yang sahih dan yang tidak. Ilmu itu dikenal dengan mushthalahul hadits. Melalui ilmu ini, sebuah hadits disaring sanad (mata rantai rawi) dan matan-nya (redaksinya). Hadits yang sanadnya tsiqah (terpercaya) dan matan-nya sejalan dengan Al-Qur’an, disebut dengan hadis sahih. Kepada hadits inilah hujjah untuk mengambil hukum dilakukan. Menurut Imam Nawawi, kitab hadits yang derajat kesahihahnnya di bawah Al-Qur’an adalah Bukhari dan Muslim. Kemudian berikutnya Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Daruquthni, Hakim, dan Baihaqi (Imam Nawawi, At-Taqrib wat-Taysir li Ma’rifati Sunani –l-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1975, hal. 26). Sebelum lahirnya kitab-kitab sunah ini, Imam Syafi’i berkata: “Ma ba’da kitabillah ashahhu min Muwattha’ Malik” (Tidak ada setelah Al-Qur’an yang lebih sahih ketimbang Al-Muwattha’ karya Imam Malik).


Peringkat kedua adalah hadits hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan dari sumber terpercaya oleh rawi-rawi terkenal, diterima banyak ulama tetapi derajatnya di bawah hadis sahih karena terdapat rawi yang bukan kategori istimewa dalam hapalan dan integritas. Hadis hasan boleh digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan hukum. Peringkat ketiga adalah hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria sahih dan hasan. Termasuk kategori hadits dhaif adalah hadits maudhu’, syadz, dan munkar. Para ulama sepakat, hadits dhaif tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum, tetapi bisa ditoleransi sebagai dalil keutamaan perbuatan (fadhail al-a’mal).


Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi ada yang bersifat ‘am ada yang bersifat khas, ada ‘am makhsus ada ‘am muthlaq,  ada yang nasikh ada mansukh, ada muthlaq ada muqayyad sehingga seringkali nampak bertentangan satu sama lain. Karena itu, wajib bagi penggali hukum untuk melakukan pemilahan (ar-Risalah, hal 165). Menurut Imam Syafi’i, tidak ada hadits yang saling bertentangan, kecuali hadits yang tidak diriwayatkan secara sempurna. Dan tidak mungkin ada hadits sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sebagaimana tidak ada Sunah yang tidak mengikuti Al-Qur’an (ar-Risalah, hal. 169). Hadits-hadits yang diriwayatkan secara berbeda oleh para rawi bisa jadi karena rawi yang satu tidak mengetahui hadits lain yang telah me-nasakh atau suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang kurang terpercaya atau bisa juga Nabi menetapkan suatu hukum yang bersifat umum, di lain waktu, sebagai diskresi dan kebijaksanaanya, Nabi memberi dispensasi hukum yang bersifat khusus. Imam Syafi’i menulis kitab khusus yang menguraikan pertentangan hadits dan posisi imam dalam mengurai benang merahnya (Lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Ikhtilaful Ahadits, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Aziz, dimuat dalam Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 9, hh. 521-647).


Contohnya hadits tentang puasa dan buka dalam safar (perjalanan). Ada hadits sahih, diriwayatkan banyak imam hadits, termasuk Bukhari-Muslim, berbunyi, “Laysa minal birri an tashumu fis safar” (Bukanlah kebaikan berpuasa di waktu safar). Dalam riwayat lain, kepada mereka yang tetap puasa di saat safar, Nabi menyatakan, “ulaika-l ushat” (mereka orang-orang yang membangkang). Namun, ada hadits sahih lain, diriwayatkan banyak imam hadits, berbunyi, “In syi’ta fa shum wa in shi’ta fa afthir” (Jika mau, puasalah, jika mau, berbukalah). Dua riwayat ini sekilas bertentangan. Riwayat pertama, Nabi mencontohkan berbuka dan mencela mereka yang puasa di waktu safar. Riwayat kedua, Nabi membebaskan orang untuk memilih puasa atau berbuka. Jika terdapat pertentangan hadis semacam ini, maka yang harus didahulukan adalah hadits yang maknanya mendekati Al-Qur’an dan Sunah Nabi yang lain, hadits yang diriwayatkan oleh rawi terkemuka yang mengerti sanad, masyhur ilmunya dan kuat hapalannya, hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur, hadits yang dikenal luas para ulama, hadits yang lebih sahih dalam qiyâs, dan hadits yang menjadi pegangan mayoritas sahabat (Ikhtilaful Ahadits, hal. 548-49; ar-Risalah, hal. 203-04).


Kedudukan hadits sebagai penjelas Al-Qur’an sudah disampaikan dalam pembahasan ayat ‘am dan khas. Beberapa ketentuan umum di dalam Al-Qur’an di-takhsis oleh hadits. Hampir semua taklifat (kewajiban dan larangan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an di-takhsis dengan hadits, “Rufi’al qalamu ‘an tsalasin: ‘ani-n na’imi hatta yastayqidza, was shabiy hatta yablugha, wal majnuni hatta yafiqa (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah, Hakim): “Pena diangkat terhadap tiga orang: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga waras.” Artinya, hukum-hukum Islam tidak berlaku (ghairu mukallafin) pada tiga golongan ini: orang yang tidak tidur, anak kecil, dan orang gila.


Untuk hadits nasikh dan mansukh, Imam Syafi’i memberikan banyak contoh. Antara lain, hadits “ghuslul jumu’ati wajibun ala kulli muhtalamin” (HR Malik & Ahmad): “Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi setiap orang dewasa.” Hadits ini di-nasakh dengan hadits “Man tawaddz’a yaumal jumuati fa biha wa ni’matun wa man ightasala fal ghuslu afdhal (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi): “Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, maka itu cukup dan suatu kebaikan. Barang siapa mandi, maka itu lebih utama.” Contoh lain, hadits “Innama ju’ilal imamu li yu’tamma bihi. Fa idza raka’a farka’u, wa idza rafa’a farfa’u, wa idza shalla jalisan fa shallu julusan (Muttafaqun alaih): “Imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia bangun maka bangunlah kalian, dan jika ia salat sambil duduk, maka salatlah kalian sambil duduk.” Hadits ini di-nasakh denga hadits riwayat Aisyah, “annan Nabiyya shalla qa’idan wa Abu Bakrin qa’iman yushalli bi shalatin Nabiy wa hum wara’ahu qiyaman” (Muttafaqun alaih): “Nabi salat sambil duduk, sementara Abu Bakar salat berdiri. Ia salat mengikuti salatnya Nabi, sementara orang-orang salat mengikuti salatnya Abu Bakar.” Contoh hadits yang di dalamnya terdapat nasikh dan mansukh sekaligus,

 

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا                                     

 

“Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, maka ziarahlah. Aku pernah melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, maka tahanlah apa yang tersedia sesuka kalian. Aku pernah melarang kalian nabidz (perasan anggur) kecuali dalam bejana minum, maka minumlah dari semua bejana dan jangan kalian minum-minuman yang memabukkan.” (HR. Muslim, No. 3651, Kitâbul Janâiz)


Dengan hadits ini, hadits-hadits tentang celaan ziarah kubur, larangan minum anggur, dan menahan daging kurban lebih dari tiga hari dinyatakan mansukh (terhapus).  


Apa yang diuraikan di atas menunjukkan, pengetahuan tentang hadits, jenis-jenis dan karakteristiknya mutlak bagi seorang yang mau menetapkan hukum. Jika suatu perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya. Jika tidak terdapat, carilah dari sunah Nabi. Jika terdapat hadits sahih yang menerangkan hukumnya dan tidak di-nasakh hadits lain, maka itulah hukumnya. Demikianlah pedoman Imam Syafi’i, “Idza shahhal hadits fa huwa madzhabi” (Jika hadits itu sahih, itulah madzhabku). Terhadap perkara yang yang telah secara jelas dinyatakan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunah (manshushan bayyinan), haram hukumnya perbedaan pendapat. Adapun perkara yang hukumnya diketahui dengan ta’wil dan mengambil padanan dalil (qiyas), ruang bagi perbedaan pendapat lebih terbuka (ar-Risalah, hal. 353). Terhadap perkara yang tidak ditemukan nash-nya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Sunah, maka hukum harus ditetapkan dengan ijma’ dan qiyas.

 

Ijma’ dan Qiyas

Kedudukan ijma’ dan qiyas, menurut Imam Syafi’i, di bawah hujjah Al-Qur’an dan Sunah. Namun, dalam perkara yang tidak ada nash-nya di dua sumber primer itu, kedudukan ijma’ dan qiyas sangat penting sebagai dasar menetapkan hukum. Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid sepeninggal Rasulullah saw terhadap hukum suatu perkara yang diikuti mayoritas umat yang menganggap kesepakatan mereka sebagai hujjah syar’i yang mengikat. Imam Syafi’i mencontohkan mujtahid yang diakui otoritas fatwanya seperti Sa’id ibn Musayyab (Madinah), Atha ibn Abi Rabah (Mekkah), Hasan al-Basri (Basrah),  dan Amir as-Sya’bi (Kufah). Jika mereka bersepakat terhadap hukum suatu hal dan dinukil mayoritas umat dan diakui sebagai hujjah, itulah ijma’ (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 7, hal. 471). Ijma’ bisa terjadi dalam setiap kurun, zaman sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga sekarang. Namun, Imam Syafi’i memberikan catatan, kesepakatan dalam hal-hal selain prinsip (ushul/kulliyutud din) sulit terjadi, meski tidak mustahil. Sa’id ibn Musayyab, Sa’id ibn Salim, Zanji ibn Khalid, Atha ibn Abi Rabah, Hasan al-Basri, Amir as-Sya’bi, Abu Yusuf, dan Sufyan as-Tsauri merupakan figur-figur terkemuka. Namun, pendapat mereka kemudian disanggah dan dicela baik oleh ulama sezaman maupun generasi penerusnya. Artinya, ijma’ biasanya terjadi dalam hal-hal prinsip, sementara ikhtilaf dalam perkara furu’ dapat ditoleransi.


Qiyas adalah metode menetapkan hukum dengan cara mengambil padanan dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya (ma’dum) kepada perkara yang ada nash-nya (maujud). Tidak semua perkara terdapat nash-nya, baik di Al-Qur’an maupun hadits. Nash bersifat terbatas, sementara perkara yang dihadapi manusia tidak terbatas. Kepada Mu’adz ibn Jabal, Rasulullah pernah menanyakan seandainya dia hendak memutus perkara tetapi tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan Sunah, Mu’adz menjawab “Ajtahidu Ra’yi” (aku akan berijtihad dengan pendapatku). Rasulullah memuji Mu’adz dan  menyatakan. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah  Saw” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Ijtihad itulah yang oleh Imam Syafi’i disebut dengan qiyas. Imam Syafi’i menyatakan: “Semua perkara yang dihadapi seorang muslim, harus ada hukumnya yang pasti atau petunjuk (dilalah) tentang hukumnya. Jika telah ada hukumnya yang pasti, harus diikuti. Jika tidak, harus dicari petunjuknya dengan jalan yang benar

melalui ijtihad. Ijtihad itulah qiyas” (Ar-Risalah, hal. 314).


Petunjuk (dilalah) itu diperoleh dari dalil. Metode menggali dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya yang sharih disebut dengan istidlal. Dengan demikian, qiyas tidak lari dari nash. Dengan mencari benang merah atau persamaan illat dalam perkara yang ada nash-nya dengan perkara yang tidak ada nash-nya, nash tetap menjadi timbangan (mikyal/miqyas) dalam menetapkan hukum. Inilah yang membedakan qiyas Imam Syafi’i dengan istihsan Imam Hanafi dan istishlah Imam Maliki. Dalam dua metode yang ditolak Imam Syafi’i tersebut, peran nash menjadi subordinat di bawah dalih kebaikan/kemaslahatan (Lihat Al-Umm, Juz 7,“Bab Ibthalil Istihsan,” hh. 492-500).


Qiyas hanya boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai perangkatnya, yaitu ilmu tentang hukum-hukum Al-Quran, fardhu-nya, susasteranya, nasikh-mansukh-nya, ‘am-khas-nya, dan petunjuk-petunjuknya, sunah Rasulullah, pendapat ulama dulu dan kini,

memahami bahasa Arab, mengerti perkara-perkara yang samar, dan tahu analogi  (Ar-Risalah, hal. 329, Al-Umm, juz 7, hal. 466).   

Dalil yang disampaikan Imam Syafi’i tentang keharusan melakukan qiyas dan bukan  istihsan atau dan istishlah adalah QS. Al-Baqarah/2: 144, “fa walli wajhaka syathral masjidil haram” (hadapkanlah wajah-mu ke sisi Masjidi Haram). Ayat ini, menurut Imam Syafi’i, menyuruh orang untuk berijtihad dalam hal tidak hadir di Masjidil Haram. Keharusan mencari arah kiblat bagi orang yang hendak salat tetapi jauh dari Masjidil Haram adalah dengan cara mencari petunjuk melalui perbintangan, arah angin, bulan, matahari, dan geografi (Al-Umm, juz 7, hal. 465). Begitu juga ijtihad. Dalam hal tidak ditemukan nashsharih dalam al-Kitab dan Sunah, maka wajib mencari petunjuk dari dua sumber itu, bukan di luar keduanya. Caranya, melalui qiyas, yaitu mencari padanan dalil berupa persamaan illat (benang merah) perkara cabang yang masih samar (khafiy) kepada perkara pokok yang sudah jelas (jaliy) hukumnya. Rukun qiyas ada empat, yaitu pokok (ashl), cabang (far’), illat, dan hukum. Pokok maksudnya perkara yang hukumnya dinyatakan oleh nash (manshus), disebut dengan al-maqis ‘alaih. Cabang maksudnya perkara yang hukumnya tidak dinyatakan oleh nash (maskut), disebut dengan maqis. Illat artinya faktor atau benang merah (mahallul wifaq) yang menghubungkan persamaan dua perkara. Hukum artinya hukum yang berlaku (tidak mansukh) dalam perkara pokok dan akan diberlakukan pada perkara cabang.


Imam Syafi’i, membagi qiyas menjadi dua, yaitu qiyas al-ma’na dan qiyas syibh (Ar-Risalah, hal. 315). Qiyas makna adalah menganalogikan perkara cabang yang illat-nya dalam satu cakupan makna dengan perkara pokok. Illat-nya bisa bersifat awlawi (illat

pada cabang lebih kuat ketimbang pada pokok) , musawi (illat pada cabang dan pokok setingkat), dan adna (illat pada cabang lebih lemah ketimbang pada pokok). Contoh, mengkiaskan memukul dengan berkata kasar, karena dua-duanya bermakna menyakiti (awlawî). Mengkiaskan membakar/menenggelamkan dengan memakan, karena dua-duanya bermakna melenyapkan (musawi). Mengkiaskan narkoba dengan khamar, dua-duanya sama-sama memabukkan (musawi). Mengkiaskan beras dengan gandum, dua-duanya sama-sama makanan pokok (musawi). Mengkiaskan apel dengan gandum, dalam riba fadl (adna). Qiyas syibh adalah menganalogikan perkara cabang kepada dua atau lebih perkara pokok yang memiliki keserupaan. Dalam hal ini, yang dipilih adalah perkara pokok yang paling banyak keserupaannya. Contoh, hukum mencederai budak dapat dikiaskan dengan hukum menyakiti orang merdeka, karena kedua-duanya manusia. Tetapi dapat pula dikiaskan dengan harta benda, karena dua-duanya merupakan hak milik. Dalam hal ini, ketimbang dengan orang, budak lebih pas dikiaskan dengan harta benda karena lebih banyak persamaannya seperti dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.  

 

Takhtim

Dari Imam Syafi’i, kita belajar metode memahami dalil-dalil agama. Beliau adalah pionir pengembangan ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu untuk menggali hukum dari sumber primer agama. Sumber primer Islam adalah Al-Qur’an dan hadits, tetapi ayat Al-Qur’an tidak sejenis. Ada berbagai jenis ayat yang harus dipahami karakeristiknya sebelum menarik dalil dari Al-Qur’an. Begitu juga hadits. Tidak semua hadits bisa dijadikan hujjah karena hadits banyak jenisnya. Tidak semuanya sahih dan bisa dijadikan dasar hukum. Bahkan, banyak contoh hadits sahih isinya sekilas bertentangan dengan hadits sahih lain. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu untuk merekonsiliasikannya. Tidak semua perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan hadits. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu menarik dalil melalui ijma’ dan qiyas. Dari  Imam Syafi’i, kita belajar tidak gegabah dalam menyimpulkan hukum. Hal-hal yang tidak ditera secara sharih (jelas dan tegas) di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak bisa dihukumi halal dan haram sebelum melihat ijma’ dan qiyas. Panduan ini penting di tengah ‘anarki hukum’ yang mewabah kalangan umat Islam belakangan ini. Sekelompok orang dengan mudah menuding bid’ah dan menyatakan haram hal-hal yang tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan hadits. Tindakan itu secara konyol dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar Islam, dengan jargon hebat “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” tetapi tidak mengerti ulumul Qur’an dan musthalahul hadits.  


Imam Syafi’i secara tersirat menegur mereka yang tidak cukup ilmu untuk berfatwa dan menetapkan hukum hanya bermodal satu-dua ayat, sepenggal dua penggal hadis, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya dengan teks lain dan dengan maqashid al-syar’iyyah. Legacy besar sang Imam membuatnya layak menjadi madzhab Islam terbesar yang diikuti Muslim di Indonesia. Para pendiri NU secara tepat menjadikan Imam Syafi’i sebagai rujukan karena metode dan moderasinya, menurut saya, paling kompatibel dengan agenda menjahit sintesis Islam-kebangsaan. 


Penulis adalah Sekjen PP ISNU