Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian I)
Sel, 22 Maret 2016 | 07:01 WIB
Oleh M Kholid Syeirazi
Belakangan ini, media sosial menjadi ajang kontestasi ideologi keislaman. Berbagai opini wacana Islam begitu cepat menjadi viral, disebarkan melalui kanal-kanal online, menjadi pesan berantai di grup-grup jejaring sosial seperti Facebook dan WhatsApp. Umat Islam tiap hari dibombardir dengan perang dalil. Berbagai isu, seperti ucapan selamat Natal, pemimpin non-muslim, perayaan tahun baru, musik, dan ‘ritual-ritual bid’ah’ menyesaki ruang-ruang publik, riuh rendah di media sosial. Yang pro dan yang kontra sama-sama berhujjah dengan Al-Qur’an dan hadits. Muslim awam, yang tidak punya bassic keilmuan, terombang-ambing dalam debat kusir yang membingungkan. Banyak diantara mereka mengikuti pandangan-pandangan ustadz, di TV dan koran, dengan kapasitas ilmu yang pas-pasan. Mengutip sepotong-dua potong ayat, sebaris-dua baris hadits, para ustadz ini (sebagian dadakan) tampil bak seorang mufti, mengetok palu halal-haram. Sebagian lagi mengerti Islam, tetapi bermadzhab tekstualis: kebenaran hanya ada pada teks. Dan teks itu harus dipahami apa adanya, tak perlu ta’wil, tidak butuh tafsir.
Bagaimana dalil harus dipahami? Menyambung
Bagian II tulisan “Memahami Islam dan Gerakannya,” narasi ini akan mengurai metode membaca dan mamahami dalil serta panduan istinbath dan istidlal
(menggali hukum dan mencuplik dalil) menurut Imam Syafi’i. Panduan ini
merupakan rumus untuk menarik dalil, terutama yang tidak termaktub hukumnya
secara sharih (jelas dan tegas) di dalam nash. Kerangka ini akan
mengeliminasi ‘anarki hukum’ yang ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak
komprehensif. Seseorang tidak boleh menetapkan hukum halal-haram hanya dari
sepenggal dalil Al-Qur’an dan hadits, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya
dengan dalil lain.
Metode Istinbath Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi Manaf), “seseorang selamanya tidak boleh menetapkan hukum halal-haram kecuali berdasarkan ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas”. Imam Syâfi’i, melalui kitab Ar-Risalah, mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi khazanah keilmuan Islam, yaitu ushul fiqih. Ilmu ini memberikan panduan ijtihad bagi seseorang untuk mengambil hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.
Metode istinbath Imam Syafi’i akan
diuraikan secara ringkas, sebagai panduan untuk mengambil hukum dari semua perkara
yang berada di ranah ijithadi.
Bayan Ilahy
Langkah awal dalam proses istinbathul ahkam
(pengambilan hukum), menurut Imam Syafi’i, adalah mendatangkan al-bayan
(keterangan). Untuk mengetahui dan menetapkan hukum sesuatu, keterangan pertama
yang harus diperoleh adalah keterangan firman Allah (bayan ilahy). Keterangan
firman dalam ayat Al-Qur’an harus diketahui karakteristiknya, karena ayat Al-Qur’an
tidak satu jenis. Ada ayat muhkam (pasti), ada ayat mutasyabih
(samar). Ada ayat ‘am (universal), ada ayat khas (partikular). Selain
itu terdapat juga ayat nasikh (yang menghapus), ayat mansukh
(dihapus). Ada ayat muthlaq (tak bersyarat/unconditional), ada
ayat muqayyad (bersyarat/conditional). Ada ayat haqiqi (denotatif),
ada ayat majazi (metaforis), dst. Pengetahuan tentang jenis-jenis ayat Al-Qur’an
penting agar seseorang tidak salah baca dalam memahami ayat. Karena itu, tidak
benar seseorang menetapkan hukum hanya dari sepenggal ayat tanpa memahami
jenisnya, dan tanpa melihat munasabah (pertaliannya) dengan ayat-ayat
lain.
Karakteristik Ayat-ayat Al-Qur’an
Saya tidak akan menjelaskan rinci, tetapi bagi yang tertarik memahami karakteristik ayat-ayat Al-Qur’an, direkomendasikan untuk membaca kitab al-Itqan fî Ulumil Qur’an, karya Jalaluddin as-Suyuthi. Namun, biar jelas, akan diberikan beberapa contoh.
Para
ulama berselisih pendapat tentang ayat-ayat muhkam
dan mutasyabih. Ayat muhkam biasanya berhubungan dengan ushulul aqidah (pokok-pokok tauhid dan keimanan) dan usuhulus syariah
(prinsip hukum terkait perintah dan larangan). Contoh ayat muhkam: “Allahu
khaliqu kulli sya’in wa huwa ‘ala kulli sya’in wakil (QS. Al-Zumar/39: 62):
“Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”
Contoh lain, “Yâ ayyuhan nasu’ budu rabbakumul ladzi khalaqakum wal ladzina
min qablikum la’allakum tattaqun” (QS. Al-Baqarah/2: 21): “Hai manusia!
Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu,
agar kamu bertakwa.”Ayat yang menjelaskan keesaan Allah, yaitu QS. Al-Ikhlas
(112: 1-4), muhkam, tanpa kesamaran sedikit pun. Begitu juga ayat-ayat
yang menerangkan kewajiban pokok agama seperti salat, zakat, puasa, dan haji
semuanya muhkam.
Sementara ayat mutasyabih terbagi 3
(tiga), yaitu: Pertama, mutasyabi dari segi lafal saja, seumpama
lafal-lafal gharib (asing) seperti Abb (QS. Abasa/80: 31), Abariq
(QS. Al-Waqi’ah/56: 18), dst. Ayat-ayat musytarak (wayuh arti) seperti
yad (tangan/kekuasaan) dan yamin (kanan/sumpah). Juga huruf-huruf
awal surat seperti Alif Lam Mim, Kaf Ha Ya Ain Shad, Ali Lam Ra,
dst. Kedua, mutasyabih dari segi makna saja seperti sifat-sifat
Allah dan hari kiamat, umpama ayat “ar-Rahmanu ‘alal arsyi-stawa,” (QS.
Thaha/20: 5): “Tuhan yang Maha Pengasih bersemayam di atas arasy.” Contoh lain,
“Wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram” (QS. Ar-Rahman/55: 27): “Dan
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” Juga ayat, “Yadullah
fawqa aydihim” (QS. Al-Fath/48: 10): “Tangan Allah berada di atas
tangan-tangan mereka,” dst. Ketiga, mutasyabih dari segi lafal
dan makna seperti ayat, “wa laysal birru bian ta’tul buyuta min dhuhuriha wa
lakinna-l birra man-ittaqa (QS. Al-Baqarah/2: 189): “Dan bukanlah suatu
kebaikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebaikan adalah orang yang
bertakwa.” Contoh lain ayat, “innama-n nasi’u ziyadatun fil kufr (QS. At-Tawbah/9:
37): “Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran.” Dua
ayat ini tidak bisa dipahami tanpa wawasan tentang adat Arab jahiliyah dan
konteks situasional.
Jenis kedua adalah ayat ‘am (universal)
dan khas (partikular), terbagi ke dalam beberapa jenis. Pertama,
ayat ‘am dan memang dimaksud ‘am, seperti Innallaha ya’muru
bil adli wal ihsan wa iyta’i dzil qurba wa yanha anil fakhsya’i wal munkari wal
baghy (QS. An-Nahl/16:90): “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil
dan berbuat kebaikan dan membantu kerabat dan Dia melarang perbuatan keji dan
munkar dan permusuhan.”
Kedua, ayat ‘am dimaksudkan ‘am tetapi terdapat takhsis
(pengecualian) seperti ayat “Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syathral
masjidil haram” (QS. Al-Baqarah/2: 150): “Dan dari mana pun engkau keluar,
maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.” Ayat ini di-takhsis
dengan ayat “Fa in khiftum fa rijâlan aw rukbânan” (QS. Al-Baqarah/2:
239): “Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau
berkendaraan.” Maksudnya, hukum menghadap kiblat wajib dan berlaku umum, tetapi
dikecualikan saat takut serangan musuh (boleh menghadap kemana saja). Contoh
lain, “Innallah yaghfirudz dzunuba jami’a” (QS. Az-Zumar/39: 53):
“Sungguh Allah mengampuni seluruh dosa semuanya.”Ayat ini di-takhsis
dengan ayat, “Innallih la yaghfiru ay yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika
liman yasya’ (QS. An-Nisa’/4: 48 dan 116): “Sungguh Allah tidak akan
mengampuni (dosa) karena mempersekutukanNya dan mengampuni dosa selainnya bagi
siapa yang Dia kehendaki.” Maksudnya, semua dosa diampuni, kecuali syirik.
Ada juga ayat ‘am yang di-takhsis
dengan hadits, seperti ayat “Hurrimat alaikumul maytatu wa-d damu wa lahmul
khinzir” (QS. Al-Ma’idah/6: 3): “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan
daging babi.” dan “Innama harrama ‘alaikumul maytata wa-d dama wa lahma
khinzir” (QS. Al-Baqarah/2: 173): “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” Dua ayat ini di-takhsis dengan
hadits Nabi, “Uhillat lana maytatani wa damani, as-samak wal jarad wal-kabidu
wat thihal” (HR Ahmad, Ibn Majah, dan Daruquthni): “Dihalalkan bagi kita
dua bangkai dan dua darah, yaitu ikan dan belalang dan hati dan limpa.” Maksudnya,
ada bangkai dan darah yang dihalalkan yaitu ikan dan belalang, hati dan limpa. Ada
juga ayat, “Wa-s sariqu was sariqatu faqtha’u aydiyahuma jaza’an bima kasaba
nakalan minallah” (QS. Al-Ma’idah/5: 38): “Dan terhadap pencuri laki-laki
dan wanita, potonglah kedua tangannya sebagai balasan atas perbuatannya dan sebagai
siksaan dari Allah.” Ayat ini di-takhsis dengan hadits “La taqtha’
yada-s sâriqi illa fi rub’i dinar fa sha’idan” (Muttafaqun alaih): “Jangan
potong tangan pencuri kecuali (curiannya) senilai seperempat dinar ke atas.”
Maksudnya, tidak semua hukum mencuri adalah potong tangan, tergantung kadarnya.
Ada juga ayat “Yushikumullah fi awladikum lid dzakari mitslu haddzil untsayain”
(QS. An-Nisa’/4: 11 dan 172): “Allah mensyariatkan bagimu bagian waris
laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” Ayat ini di-takhsis
dengan hadits, “Laysa lil qatil minal mirats syai’un” (HR. Abu Dawud
& Bayhaqy): “Tidak ada sedikit pun bagian waris untuk seorang pembunuh,”
dan hadits “La yaristsul kafiru-l muslima wala-l muslimu-l kafira” (HR.Bukhari-Muslim)
“Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan orang Islam tidak bisa
mewarisi orang kafir.” Maksudnya, meskipun anak kandung, dia terhalang mendapat
warisan jika membunuh dan beda agama dengan orang tuanya.
Ketiga, ayat ‘am, tetapi yang dimaksud khas,
seperti ayat “ Alldzina qala lahumun nas innan nas qad jam’au lakum
fakhsyauhum wa zadahum imana” (QS. Alu Imrân/3: 173). Nas artinya
manusia, redaksinya umum (digunakan untuk banyak orang), tetapi di ayat ini
maksudnya hanya satu orang, yaitu Nu’aym ibn Mas’ud al-Asyja’i. Ayat lain “Am
yahsudunan nas ‘alâ maatahumullahu min fadhlih (QS. An-Nisâ’/4: 54). Nas
yang dimaksud di ayat ini juga satu orang, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Keempat, ayat khas dan memang
dimaksudkan khas, seperti ayat, “Ya nisa’an nabiyy lastunna ka ahadin
minan nisa” (QS. Al-Ahzab/33: 32) danayat, “Wa ma lakum an tu’dzu rasulallahi
wa la an tankihu azwajahu min ba’dihi abada (QS. Al-Ahzab/33: 53). Dua ayat
ini menjelaskan kekhususan istri-istri Nabi dan tidak berlaku umum, yaitu larangan
menikah dengan pria lain selepas ditinggal Nabi. Ayat lain, “Wa minal layli
fa tahajjad bihi nafilatan laka” (QS. Al-Isra’/17: 79) dan ayat, “Wamra’atan
mu’minatan in wahabat nafsaha lin nabiy in aradan nabiyyu ay yastinkaha khalisatan
laka min dunil mu’minin” (QS. Al-Ahzab/33:
50). Dua ayat ini menjelaskan kekhususuan Nabi dan tidak berlaku umum, mencakup
kewajiban dan hak. Kewajibannya, salat tahajud wajib hukumnya bagi Nabi.
Haknya, Nabi boleh menikahi lebih dari empat wanita.
Kelima, ayat khas, tetapi dimaksudkan ‘am,
seperti ayat-ayat berikut: “Fa idza qara’tal qur’ana fastaidz billah” (QS.
An-Nahl/16l: 98); “Wa idza kunta fîhim fa aqamta lahumus shalata” (QS. An-Nisa’/4:
102); “Khudz min amwalihim shadaqatan tuthohhiruhum wa tuzakkihim” (QS. At-Tawbah/9:
60); “Ya ayyuhan nabiyyut taqillah” (QS. Al-Ahzab/ 33: 1). Dalam empat
ayat ini, khitab-nya mufrad (hanya untuk Nabi), tetapi isinya berlaku
umum.
Jenis ketiga adalah ayat nasikh-mansukh,
terbagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: Pertama, naskhut tilawah wal hukmi
(teks dan hukumnya dihapus semua). Contoh, riwayat A’isyah tentang jumlah
susuan yang berdampak kepada garis darah, sebelumnya berbunyi, “asyru radha’at ma’lumat”
(sepuluh susuan), tetapi kemudian di-nasakh dengan “khamsin ma’lumat”
(lima susuan). Teks dan hukumnya dihapus semua. Kedua, naskhul hukm dunat
tilawah (hukumnya dihapus, teksnya tidak). Contoh, ayat “wa ala-l ladzina
yuthiqunahu fidyatun” (QS. Al-Baqarah/2: 184), di-nasakh dengan ayat
sesudahnya, “Fa man syahida minkumus syahra fal yashumhu” (QS. Al-Baqarah/2:
185). Mufassir menyebut, hukum puasa Ramadlan sebelumnya opsional, antara puasa
atau membayar fidyah. Setelah itu hukumnya wajib bagi semua, kecuali bagi orang
sakit dan bepergian. Ayat lain, “Ittaqullah haqqa tuqatih” (QS. Ali Imran/3:
102): “Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa,” di-nasakh dengan
ayat, “Fattaqullah ma-statha’tum” (QS. At-Taghabun/64: 16): “Bertakwalah
kamu kepada Allah semampumu.”
Contoh lain ayat, “La taqrabu-s shalata wa
antum sukara hatta taqulu ma la ta’lamun (QS. An-Nisa’/4: 43),” di-nasakh
dengan ayat, “Innamal khamru wal maysiru wal anshabu wal azlamu rijsun min
amalis syaithâni fajtanibuhu (QS. An-Nisa’/4: 43). Hukum arak sebelumnya
halal (QS. Al-Baqarah/2: 219), kemudian haram ketika shalat (di luar shalat
tidak haram), kemudian haram dalam semua kondisi. Ketiga, naskhut
tilawah dunalhukm (teksnya dihapus, tetapi hukumnya tetap). Contoh, diriwayatkan
Aisyah sebelumnya terdapat ayat berbunyi, “idza zana al-syaikhu was syaikhatu
farjumûhuma al-battata nakalan minallahi wallahu ‘azizun hakim.” (Jika
laki-laki dan perempuan tua/sudah menikah berzina, maka rajamlah keduanya
sebagai balasan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana).
Teks ayat ini terhapus, tetapi hukum zina muhshan (orang yang sudah
menikah) tetap berlaku.
Jenis keempat adalah ayat muthlaq dan muqayyad. Muthlaq adalah ayat yang berlaku mutlak tanpa syarat, sementara muqayyad sebaliknya. Contoh ayat muthlaq dan muqayyad, “Ya ayyuhal ladzina amanu athiullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa/4: 59): “Hai orang-orang yang beriman, taatillah Allah dan taatilah rasul-Nya dan pemegang kekuasaan diantara kamu.” Taat kepada Allah dan rasul-Nya mutlak, tanpa syarat, tetapi kepada pemimpin politik muqayyad (bersyarat). Dari mana kita tahu bahwa ketaatan kepada pemimpin politik muqayyad? Dari hadits Nabi, “’Alal mar’il muslim as-sam’u wa-t tha’atu fîma ahabba wa kariha illa an yu’mara bi ma’shiyyatin. Fa in umira bi ma’shiyyatin fa la sam’a wa la tha’ata (HR. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Wujubi Thu’atil Umara’ fî ghairi Ma’shiyyatin wa Tahrimiha fil Ma’shiyyat): “Wajib bagi setiap Muslim taat dan patuh (kepada pemimpin) baik senang maupun tidak. Jika diperintah kepada kemaksiatan, tidak ada kewajiban taat dan patuh.”
Jenis kelima adalah ayat haqiqi dan majazi. Haqiqia dalah
ayat di dalam Al-Qur’an dengan lafal tersurat dan tidak menunjuk makna lain.
Sementara majazi adalah ayat yang tidak bisa dipahami langsung tanpa
ta’wil karena bersifat kiasan. Contoh ayat majazi: “Wa huwa ma’akum ainamâ
kuntum” (QS. Al-Hadid/57: 4): “Dan dia menyertaimu di mana pun kamu
berada.” Ayat lain, “Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warid” (QS. Qaf/50:
16): “Dan Kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya.” Ayat lain, “wa
ja’a rabbuka wal malaku shaffan shaffan” (QS. Al-Fajr/89: 22): “Dan
datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris.” Sifat Allah dan kedekatannya
kepada manusia tidak bisa dipahami secara harfiah, tetapi harus di-ta’wil.
Ada juga jenis ayat manthuq dan mafhum. Manthuq adalah ayat yang maknanya tersurat di dalam dhahir lafal, sementara mafhum maknanya tersirat di luar lafal. Mafhum terbagi 2 (dua), muwafaqah (maknanya sejalan) dan mukhalafah (maknanya sebaliknya). Mafhum muwafaqah terbagi 2 (dua), fahwal khithab dan lahnal khitab. Contoh mafhummuwafaqahfahwalkhithab, “Fala taqul lahumâ uffin” (QS. Al-Isra’/17: 23): “Jangan kamu berkata “hus” kepada keduanya.” Mafhumnya, tidak boleh memukul, menendang, dan perbuatan lain yang menyakitkan. Dalam kategori qiyas, disebut awlawi (illat di dalam pokok [berkata ‘hus’], lebih rendah ketimbang illat di dalam cabang [memukul, menendang, dst]). Contoh mafhummuwafaqahfahwalkhithab: “Innal ladzina ya’kuluna amwalal yatama dhulman…” (QS. An-Nisa’/4: 10): “Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya…” Mafhum-nya, tidak boleh membakar, menghilangkan, melenyapkan, menenggelamkan, dst. Dalam kategori qiyas, disebut musawi (illat di dalam pokok [makan], sama tinggi dengan illat di dalam cabang [membakar, menenggelamkan, dst]).
Umar ibn Khattab adalah bapak ijtihad yang berani keluar dari tekstualitas manthuq, menuju kontekstualitas mafhum. Ijtihad Umar yang terkenal, yang sekilas menyelisihi teks adalah terkait dengan penghapusan kategori mu’allaf dalam mustahiq zakat, penolakan Umar terkait pembagian fay berupa tanah pertanian di Syam, Irak, Mesir, dan Persia, dan moratorium had potong tangan bagi pencuri di musim paceklik (maja’ah). (Lihat, Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibn al-Khattâb fi al-Tasyrî (Cairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1970).
Contoh-contoh
jenis ayat Al-Qur’an diungkapkan untuk menunjukkan gaya bahasa Al-Qur’an yang
berimplikasi terhadap kedudukannya dalam pengambilan dalil. Tanpa mengenal dan
memahami karakteristik ayat, seorang mujtahid dapat terjatuh dalam kesalahan,
karena misalnya, berhujjah dengan dalil yang sudah di-nasakh atau
menghukumi ‘am padahal khas, meyakini muthlaq padahal muqayyad,
menganggap muhkam padahal mutasyabih. Metode bayan yang
dipelopori Imam Syafi’i, yaitu mendatangkan keterangan firman dengan mengenali
jenis-jenis ayatnya, sangat esensial dalam proses penggalian hukum. Jika suatu
perkara termaktub jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya.
Tetapi jika tidak tersebut atau tersebut tetapi samar, maka bayan
berikutnya yang harus didatangkan adalah sunah Nabi, baik yang berujud ucapan (qawlan),
perbuatan (fi’lan), maupun penetapan (taqririyyan).
Penulis adalah Sekjen PP ISNU
Terpopuler
1
Penjelasan Nuzulul Qur’an Diperingati 17 Ramadhan, Tepat pada Lailatul Qadar?
2
Hukum Jamaah dengan Imam yang Tidak Fashih Bacaan Fatihahnya
3
Khutbah Jumat: Ramadhan Momentum Lestarikan Lingkungan
4
Kisah Unik Dakwah Gus Mus di Pusat Bramacorah hingga Kawasan Lokalisasi
5
194.744 Calon Jamaah Reguler Lunasi Biaya Haji, Masih Ada Sisa Kuota Haji 2024
6
Gempa Bawean, Masyarakat Butuh Tenda, Makanan hingga Dapur Umum
Terkini
Lihat Semua