Opini

Jangan Kau Robek Merah Putih Kami!

NU Online  ·  Kamis, 1 Desember 2016 | 12:25 WIB

Oleh Aris Adi Leksono

Apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini? Siapa dibalik mobilitas sosial yang mengancam stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi ini? Semuanya tanda tanya besar. Jawaban pasti mungkin hanya Tuhan yang tahu. 

Tersangka penista agama jadi ditahan atau tidak? Kelompok GNPF-MUI akan mencapai hasil yang diinginkan atau hanya rutinitas Jumat? Semuanya spekulasi, akibatnya memicu seribu opini yang semakin semrawut.

Mulai dari opini yang mengarah pada isu SARA, sampai pada isu makar,  kudeta kekuasaan Presiden. Respon atas opini tersebut juga beragam, mulai dari unjuk kekuatan massa dalam bentuk solidaritas anti penista agama, solidaritas gelar sajadah, sampai shalat Jumat akbar di tempat yang tidak lazim dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Pihak lain, atas nama persatuan menggelar pawai Bhinneka Tunggal Ika, istighotsah kebangsaan, doa bersama, Nusantara satu, dan lain sebagainya.

Ini dagelan atau memang fase menuju kebangkitan, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, atau seperti yang diasumsikan kaum jihadis, masa kebangkitan Islam Indonesia? Seperti balsem, semakin digosok, semakin panas. Bagaikan api ketemu kayu bakarnya. Isu, opini, propaganda, fitnah individu atau kelompok, dan berita hoax menjalar begitu cepat, seakan lupa kita adalah saudara. Indonesia-ku, Indonesia-mu, Indonesia kita.

Ingat, Indonesia telah dijajah oleh musuh yang nyata selama lebih dari 350 tahun. Tapi, saat itu musuh bangsa Indonesia adalah bangsa lain. Nah, ironi saat ini seakan bangsa ini akan berperang melawan saudara sendiri. Saudara sebangsa dan setanah air yang terikat dalam rajutan merah putih, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih naas lagi ketika yang diperhadapkan adalah politik aliran, politik madzhab, dan lainnya. Bisa jadi antar ormas Islam Indonesia saling bermusuhan dan menjatuhkan. Akibatnya, lagi-lagi ancaman disintegarasi bangsa.

Apakah mereka lupa, bahwa bangsa dan negara ini berdiri atas pengorbanan jiwa dan raga. Bangsa dan negara ini kokoh atas pengorbanan ego ras, suku, dan agama. Ego sektoral itu mampu disatukan menjadi konsensus Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.

Ini Nusantara Bung, berjuta pulau ada di sini, beribu ras dan suku ada di sini, berpuluh bahasa ada di sini, berpuluh agama dan kepercayaan ada di sini. Tapi sejak berpuluh tahun lalu sajadah kami adalah Merah Putih. Merah itu keberanian kami, putih itu hati, pikiran, tindakan kami yang selalu berusaha suci dan bersih. 

Nah, atas pertimbangan kita pernah merasakan himpitan bersama karena dijajah, kita pernah berikrar bersama bahwa tanah air, bangsa, dan bahasa kita sama. Dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pernah kita rumuskan bersama, Pancasila. Kenapa hari ini seakan memori itu hilang? atau sengaja dilupakan? Apakah masalah hari ini lebih besar dari urusan penjajahan? Ataukah lebih rumit dari merumuskan dasar negara? Tentu tidak. 

Jangan engkau robek merah putih-ku, merah putih-mu, merah putih kita, hanya karena politik-kekuasaan, ego sektoral, apalagi hanya soal perang rezim. Merah putih telah menghantarkan kita sampai pada gerbang pintu kemerdekaan. Selanjutnya, tidak ada yang lebih penting, kecuali tercapainya cita-cita kemerdekaan. Terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. 

Bentangan merah putih masih mampu dan kuat dibuat berteduh. Jangan karena persoalan agama bentangan itu rapuh. Jangan karena menghadapi rekayasa dengan rekayasa, bentangan itu rubuh. Jangan karena kepentingan dan kekuasaan sesaat, bentangan itu ambruk. Agama dan negara, melalui nilai merah putih telah mengajarkan pentingnya menyelesaikan masalah kebangsaan dengan dialog, komunikasi, duduk bersama untuk musyawarah mufakat. 

Merah putih teruslah engkau berkibar. Barang siapa melakukan rekayasa, maka Allah SWT juga akan semakin merekayasanya. Kalau takbir dapat menjelma menjadi energi perjuangan, maka saatnya bersholawat di bulan Maulid ini untuk mewujudkan kesejukan bangsa dan negeri. Semuanya dalam dekapan merah putih. Merdeka! 

Penulis adalah rakyat jelata, perindu harmoni dalam dekapan merah putih.