Oleh : Jamal Ma’mur Asmani*
Perjalanan sakral-transendental Muhammad yang diabadikan dalam peristiwa Isra Mi’raj yang pada tahun ini kita peringati pada tanggal 27 Rajab 1424 H/ 24 September 2003 adalah peristiwa yang penuh dengan hikmah dan kandungan makna yang dalam, tidak hanya seremony dan asesoris formalitas kenabian belaka. Kedalaman hikmah dan makna itu tidak lepas dari posisi dan fungsi peristiwa ini sebagai entry point berkibarnya Islam pada awal sejarahnya.
Kalau sebelumnya dakwah Muhamamd dilakukan secara "sirri {rahasia}, namun pasca Isra Mi’raj ini, dakwah Nabi dilakukan secara "bil-‘alan" (terang-terangan, terbuka). Oleh sebab itulah, momentum Isra Mi’raj ini adalah tonggak sejarah maha penting bagi eksistensi, aktualisasi dan reputasi Islam di tengah-tengah peradaban umat manusia di muka bumi ini.
<>Proklamasi terbuka Nabi tentang Isra Mi’raj kala itu adalah sebuah pertaruan besar. Peristiwa yang secara rasional-obyektif adalah sesuatu yang normal "impossible" realitasnya ini, justru hebatnya, dijadikan instrumen pengujian eksistensi Islam. Tentu saja gelombang pro-kontra, provokasi, agitasi, agregasi, dan resistensi melonjak drastis. Implikasinya, banyak sahabat yang masih setengah-setengah memeluk Islam kembali kepada agama semula. Sedangkan yang mantap memeluk Islam, mengikuti sunnah Nabi, semakin bertambah keyakinan dan kemantapannya akan eksistensi Dzat Yang Serba Maha, Dzat Penguasa Alam, Dunia-Akhirat, Allah SWT. Dalam momentum Isra Mi’raj ini ada seorang sahabat Nabi yang menggoreskan sejarah, atas keteguhannya membenarkan segala apa yang datang dari Nabi. Ia tidak lain adalah Abu Bakar. Nabi memberinya gelar Al-Shiddiq, karena keyakinan dan kemantapannya atas kebenaran wahyu, walaupun sepintas irrasional. Dengan suara lantang Abu Bakar berkata, normal “Seandainya Muhammad membawa kabar yang lebih dari itu, niscaya aku akan tetap mempercayainya”. Disisi lain, orang-orang kafir semakin mendapat angin segar pasca peristiwa ini. Mereka semakin seru meningkatkan penyerangan dan penyiksaan terhadap Muhammad dan para pengikutnya. Tantangan Nabi menjadi semakin berat. Nabi dan para sahabat menghadapi medan perjuangan baru yang lebih keras, berbahaya, penuh resiko dan ancaman antara hidup dan mati, antara kembali ke ajaran nenek moyang dan konsisten dengan ajaran Muhammad.
Pertanyaan yang layak kita ajukan disini adalah : mengapa Muhammad (kelihatan) nekat melakukan sosialisasi peristiwa sakral yang menurut ukuran rasional-obyektif manusia "impossible ? Disinilah letak urgensi dan signifikansi studi kritis-analitis, apa sebenarnya yang melatar belakangi Muhammad, target apa yang ingin diraih, pendekatan apa yang digunakan, persiapan apa saja yang dilakukan, dan optimisme seperti apa yang diharapkan ?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pada akhirnya hanya menjurus pada satu hal, keyakinan dan kemantapan Muhammad akan perintah "Sang Rabbul Izzah, Sang Penguasa Langit dan Nabi, Allah yang memerintahkan, Allah pula yang mengatur strategi dan implikasinya.
Disinilah kelihatan kedalaman spiritualitas dan religiusitas Muhammad. Dan ternyata kedalaman dan spiritualitas Muhammad telah Allah pancarkan dalam peristiwa bersejarah Isra Mi’raj ini. Jadi, tantangan dahsyat ini adalah ibarat uji coba Allah kepada Nabi, apakah yang diberikan Allah ketika Isra Mi’raj betul-betul membekas dan mempengaruhi karakter dan kepribadian Nabi. Ternyata, sejarah membuktikan keberhasilan Nabi secara menakjubkan dalam membawa risalah agama suci ini. Disinilah aktualitas hikmah yang diberikan Allah kepada Muhammad tatkala Isra Mi’raj menjadi sesuatu yang sangat berharga diketahui, dipahami, direnungkan, dan diamalkan dalam realitas praktis umat Islam, agar umat ini kembali mampu mengulang keberhasilan cemerlang yang pernah diukir Baginda Nabi Muhammad SAW, walau diterpa ribuan ujian dan gelombang cobaan yang datang bertubih-tubih.
Umat Islam saat ini harus mampu mengaktualisasikan dan merevitalisasi nilai Isra Mi’raj ini untuk melangkah ke depan secara lebih mantap, optimis dengan self confidence yang tinggi, bahwa apapun kalau dilakukan dalam naungan Ilahi akan berakhir dengan keberhasilan dan kecermelangan. Allamah Najmuddin Al-Ghoiti dalam kitabnya Qissatul Mi’raj (Maktabah Sahabah Ilmu Surabaya tanpa tahun, hlm. 1-11,) menerangkan sepuluh nilai yang terkandung dalam Isra Mi’raj ini.
Pertama, Sebelum Muhammad melakukan Isra Mi’raj, segala penyakit hatinya, seperti sombong, penakut, pemarah, dengki, suka menzalimi, dll dibuang habis, diganti mutiara hikmah, iman, ilmu, kearifan, dan keyakinan. Pelajaran bagi pentingnya kebersihan hati para pejuang Islam, sehingga patut diteladani dan mampu mempengaruhi orang lain.
Kedua, Nabi melihat tanaman ketika diambil buahnya tumbuh kembali dan seterusnya. Pertanda bagi pejuang Islam yang ikhlas dan pe
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
4
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
5
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
6
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
Terkini
Lihat Semua