Opini

Islam Nusantara, Manifestasi Islam Rahmatan lil Alamin

Kam, 7 Maret 2019 | 02:33 WIB

Oleh Adi Candra Wirinata

Mungkin seluruh umat Islam menginginkan adanya perubahan sosial-politik dengan syari’at Islam, tapi harus disadari bahwa lahirnnya Islam bertujuan menghapus ketidak-manusiawian, bukan menyingkirkan kebudayaan. Sebagaimana perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, tidak begitu saja menggantikan kebudayaan yang telah ada. Seperti yang telah tercatat dalam sejarah, bahwa Nusantara kaya akan budaya.

Oleh karena itu, tidak bisa dipertentangkan antara budaya dan agama, selama tidak bertentangan dengan akidah Islam. Dakwah Islam di Nusantara pertama kali lebih mementingkan keamanan dan kenyamanan rakyat daripada langsung menyebarkan agama. Dalam sejarah dakwah di Nusantara yang harus didahulukan adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia daripada langsung mengajarkan Islam (Sofwan, 2004: 32).

Sebenarnya sejak abad ke-7 M, masyarakat Nusantara telah dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu dari India. Namun bagi masyarakat yang telah memiliki hubungan sangat erat dengan budaya mereka, perubahan keyakinan Animisme ke Hindu tidak terlalu banyak membawa perubahan yang berarti. Kepercayaan Animisme tetap kekal meskipun secara formal mereka telah beragama lain. Nusantara sejak abad ke-13 M diwarnai oleh konsep Hindu atau sebelumnya telah dipenuhi konsep dewa-raja.

Konsep dewa-raja meyakinkan masyarakat bahwa raja adalah orang istimewa dan memiliki unsur keistmewaan serta kemuliaan tertentu yang terpilih. Manusia terpilih harus diterima sebagai raja dan berhak serta layak menduduki tempat tertinggi dalam masyarakat. Kelayakan menduduki tempat tertinggi ini dilegitimisasi oleh kepercayaan bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa yang dalam agama Hindu setaraf dengan Tuhan (Resi, 2011: 227).

Kehadiran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Nusantara sama sekali tidak menghapus yang berkaitan dengan konsep dewa-raja. Bahkan dalam beberapa segi, Islam terlihat menguatkan lagi pengesahan kedudukan raja itu dengan sedikit perubahan. Raja-raja tidak lagi berasal dari para dewa tetapi merupakan khalifah atau wakil Allah di dunia. Mereka memiliki gelar sebagai bayangan Allah dan berperan memberi perlindungan kepada masyarakat.

Raja tetap merupakan orang terpilih karena memiliki sifat-sifat yang lebih daripada manusia biasa. Di samping itu ia memiliki kuasa-kuasa yang khusus dianugerahkan Allah kepadanya. Keyakinan yang muncul melalui agama Hindu tentang kedudukan raja di masyarakat, diperkukuh lagi dengan diperkenalkannya istilah Sulthan.

Para pendahulu, penyebar Islam di Nusantara, telah merumuskan strategi dakwah atau setrategi kebudayaan secara lebih sitematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang telah sangat tua, kuat, dan amat mapan. Sejarah membuktikan bahwa mereka memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, tetapi merumuskan strategi jangka panjang. Strategi dakwah yang dirumuskan oleh para pendahulu itu saat ini di terapkan dalam dunia pesantren.
 
Selanjutnya, Prof Dr KH Said Aqil Siroj menjelaskan, di pesantren, diterapkan fiqhul ahkam untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekuen. Namun, setelah terjun langsung ke dalam masyarakat, diterapkan fiqhul dakwah, ajaran agama diajarkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka. Dan yang tertinggi adalah fiqhul hikmah, dimana ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan Buddha serta kepercayaan lainnya.

Dari sedikit ulasan sejarah Islam Nusantara, terlihat jelas bahwa para pendahulu penyebar agama Islam di Nusantara tidak memandang agama secara formal, melainkan mengedepankan nilai-nilai agama. Dengan sikap yang demikian, sejarah Islam Nusantara telah berhasil menginterpretasikan istilah Islam rahmatan lil alamin dengan sempurna. Islam yang berguna tidak hanya kepada penganutnya, melainkan bagi seluruh ciptaan. Menyebarkan agama bukan berarti menjajah tradisi yang telah ada sebelumnya, melainkan mengingatkan bahwa ada agama yang benar.
 
Islam yang diciptakan sebagai bekal kehidupan manusia inilah yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil alamin atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Karena konsep kemanusiaan yang tidak memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.

Islam yang dipandang sekadar sebagai agama secara formal akan sangat sulit untuk berkembang, lantaran niscaya akan menghapus begitu saja kebudayaan yang ada, sedangkan manusia tidak akan gampang terlepas dari budaya yang telah mengakar dalam dirinya.

Adapun agama yang diisi dengan semangat spiritualitas niscaya tidak memandang agama secara formal, melainkan lebih mengedepankan nilai-nilai agama. Eksistensi budaya yang telah ada tidak harus dimusnahkan selama tidak bertentangan dengan kemanusiaan, tapi –mengenai masalah akidah- kandungan di dalamnya dapat diganti dengan nilai-nilai keagamaan.

Yang terpenting dalam kehidupan beragama bukan terletak pada persamaan agamanya, melainkan pada ajaran-ajaran agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan sangat membenci segala bentuk penindasan, dengan spirit keilahian.


Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Komunitas Maoes Boemi (KMB)