Opini

Islam Nusantara dan Identitas Keindonesiaan Kita

NU Online  ·  Jumat, 11 November 2016 | 02:01 WIB

Oleh: Candra Malik
Indonesia hari ini tentu saja bukan Indonesia pada saat diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Sudah terlalu banyak yang berubah; tidak sedikit yang bergerak ke arah kemajuan peradaban, namun selalu ada yang perlu dikhawatirkan dari usaha kotor menggerus sejarah dan jasa leluhur dari riwayat negeri ini. Jika selama ini kita akrab dengan semboyan Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah; pagi ini saya membaca semboyan baru yang muncul di grup whatsapp penggiat Nahdlatul Ulama. Jas Hijau, jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama!

Sejak Presiden Republik Indonesia Ir Joko Widodo pada 2015 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, umat Islam di Indonesia terus-menerus mendapat momentum dalam pergerakan dan perjuangan kebangsaan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih tepatnya, sejak Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 2015, menetapkan Islam Nusantara sebagai tema utama; semakin melekatlah Islam dan Nusantara dalam identitas umat, terutama warga nahdliyin, yang diperkirakan lebih dari 80 juta jiwa.

Tidak berlebihan jika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berkata," Umat Islam adalah benteng terakhir keutuhan NKRI." Tidak pula muluk Presiden Joko Widodo menegaskan NU adalah penyangga utama NKRI, Pancasila, kebhinekaan kita, dan hak-hak yang berkaitan dengan toleransi. Wajarlah jika, jauh sebelum kedua petinggi negara tersebut berpendapat demikian, Ketua Tanfidziah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Prof Dr Said Aqil Siroj sudah menyatakan, PBNU adalah akronim dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Saya pun berpandangan momentum 4 November 2016 merupakan wujud dari peran besar umat Islam dalam mempertahankan identitasnya yang sublim: menerima perbedaan sebagai rahmat. Berbeda pendapat namun tetap bertahan dengan keindonesiaan dan keislamannya. Kedudukan ulama dalam menjaga identitas kebangsaan dan keagamaan tentu tidak dapat dinafikkan. Ketika adu mulut tentang mulut kotor pejabat publik semakin tidak terkontrol, PBNU mengeluarkan surat imbauan kepada nahdliyin yang dibuka dengan sebuah petuah bijak," Salamatun insan fii hifdzal lisan."

Ya, keselamatan manusia memang sangat bergantung pada kebijakan dalam menjaga lisan. Pepatah Jawa juga mengingatkan hal yang kurang lebih sama: Ajining diri ana ing lathi. Kemuliaan diri terletak di lisan. Pun kita mengenal peribahasa: mulutmu harimaumu. Sedangkan dalam konteks kebangsaan, paling tepat rasanya jika saya mengutip idiom bahasa menunjukkan bangsa. Oleh karena itulah, berbicara identitas kebangsaan dan keagamaan, saya tak bisa meninggalkan kedudukan bahasa sebagai dasar keutamaan dan kemuliaan bangsa dan agama.

Sejak Indonesia dilahirkan pada 28 Oktober 1928, bahasa didudukkan dalam singgasana yang terhormat bersama bangsa dan tanah air. Siapa pun - terutama pejabat negara - yang beranggapan menjaga kehormatan lisan; dengan menggunakan bahasa secara baik dan benar; tidak penting, maka ia sesungguhnya mengkhianati Sumpah Pemuda. Tentu saja, hanya soal waktu baginya untuk menerima tuah dari sumpah yang teramat mulia tersebut. Pun demikian siapa pun yang menggerogoti bangsa dan tanah air Indonesia, ia perlu bersiap untuk mempertanggungjawabkannya.

Indonesia sebagai bangsa didirikan di bawah sumpah pada 1928, yaitu Sumpah Pemuda, bukan sekadar di bawah deklarasi. Disusul kemudian, 17 tahun kemudian, yaitu pada 1945, dengan Proklamasi. Sekali lagi, bukan sekadar di bawah deklarasi. Dalam usia yang masih relatif muda, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno telah mengendalikan Asia Afrika, menggagas Gerakan Non-Blok, dan menginspirasi negara-negara dunia ketiga untuk merdeka. Namun, tentu tak bisa kita lupakan bahwa Soekarno adalah murid dari Pahlawan Islam yang Utama: Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Tjokroaminoto adalah keturunan Ki Ageng Hasan Besari; ulama besar di kurun abad 19 yang dari Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang diasuhnya lahirlah santri-santri luarbiasa. Dua di antaranya: Pujangga Ronggowarsito dan Pangeran Diponegoro. Bahkan, Panglima Besar Jenderal Sudirman pun seorang santri. Beliau berguru kepada Kiai Syuhada di Purbalingga. Dan, membahas peran ulama dalam menggerakkan rakyat untuk melawan kolonialisme, kita tak bisa melupakan Syekh Nawawi Al Bantani pada awal abad 19. Dan, justru karena Beliau hijrah ke Makkah, sejak itulah muncul "tradisi baru" kopiah putih haji.

Syahdan, musim haji dimanfaatkan Syekh Nawawi untuk menanamkan jiwa patriotisme di lubuk jemaah haji asal Nusantara. Oleh karena itulah, kecintaan pada tanah air dan perlawanan terhadap penjajah makin hari makin kuat. Dan, ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi tentara Belanda. Oleh karena itulah, mereka "menandai" orang-orang yang telah berhaji dengan kopiah putih, lantas memberi pengawasan yang ekstra. Namun, bukannya surut nyali, kobar api perjuangan justru semakin besar dan sambung-menyambung menjadi satu dari pulau-pulau negeri ini dan memuncak dalam Sumpah Pemuda.

Ibarat pegunungan, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah puncak pertama. Puncak-puncak lainnya, antara lain, Kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, dan Preambule UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, serta penetapan lambang-lambang negara, yaitu Bendera Merah Putih, Asas Tunggal Pancasila, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Lambang Garuda Pancasila. Empat pilar penyangga NKRI, yaitu ulama, umara, tentara, dan rakyat, masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang penting dalam menjaga seluruh pusaka di atas.

KH Wahid Hasyim dan KH Masykur, dua kiai dari Nahdlatul Ulama, yang terlibat dalam sidang-sidang BPUPKI berperan menghapus penetapan syariat Islam bagi para pemeluknya dalam Sila Kesatu Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak awal, Nahdlatul Ulama memang telah meyakini anjuran Rasulullah SAW untuk mendirikan Darus Salam atau negara yang damai dan tenteram; baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja; bukan Darul Islam atau Negara Islam. Tanpa kedamaian dan ketenteraman di dalam negeri justru aqidah, syariat, dan akhlak Islam sulit diwujudkan.

Perjuangan Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Masykur dalam menusantarakan Islam terus didengungkan oleh para kiai di berbagai daerah. Pada 1983, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mulai memperkenalkan pribumisasi Islam dalam esai di Majalah Tempo. Pada tahun yang sama, KHR As’ad Syamsul Arifin dan KH Ahmad Siddiq terus berdialog dengan Presiden RI, Soeharto, mengenai Pancasila. Dua tahun sebelum undang-undang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal, Nahdlatul Ulama telah mencetuskan Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Sukorejo, Situbondo, pada 16 Rabi'ul Awwal 1404 H atau 21 Desember 1983.
 
Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam 

Bismillaahirrahmaanirrahiim

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama; Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur; 16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983)

Menyusul Hadratus Syekh Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama; KHR As'ad Syamsul Arifin, pendiri Nahdlatul Ulama, tahun ini akhirnya ditetapkan pula oleh Presiden RI Joko Widodo sebagai Pahlawan Nasional. Kiai As'ad inilah yang membawa pesan spiritual dari Syaikhona Kholil Bangkalan untuk Hadratus Syekh Hasyim Asyari menjelang pendirian Nahdlatul Ulama. Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo ini pula yang menggagas Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam. Beliau berhasil meletakkan dasar yang penting dalam identifikasi diri atas kebangsaan dan keagamaan umat Islam di Indonesia.

Pergolakan demi pergolakan terus datang bergelombang, bagai ombak laut pasang di Samudera Indonesia. Pedagang dan perompak berbaur sehingga semakin sulit dibedakan. Namun, kericuhan yang terjadi di antara dua kelompok besar itu justru memperlihatkan aib mereka sendiri. Islam Nusantara menjadi entitas yang tidak saling bertentangan dan justru saling menyempurnakan: Islam dengan akhlaqul karimah dan rahmatan lil 'aalamiin, sebagaimana tugas dan fungsi Kerasulan Nabi Muhammad SAW, berpadu dengan akhlak kebangsaan Pancasila dan rahmat kesatuan dan persatuan dalam khazanah perbedaan yang Bhinneka Tunggal Ika. 



Langit Indonesia, 10 November 2016

Candra Malik, Wakil Ketua Lesbumi PBNU (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)


Esai ini disampaikan Candra Malik dalam Seminar tentang Islam dan Identitas yang diselenggarakan oleh GAMASIS Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, pada 10 November 2016.