Oleh Aswab Mahasin
Sejarah politik Indonesia akhir-akhir ini diramaikan oleh keputusan pemerintah membubarkan organisasi yang dianggap makar. Pembubaran itu ditandai dengan pencabutan SK badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017Pasal 80A. Alasan dari dibubarkannya organisasi ini dianggap tidak melalukan peran positif, anti-pancasila, dan dikhawatirkan menimbulkan benturan dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Saya beranggapan, dalam hal ini pemerintah telah melakukan tindakan yang tepat. Karena HTI sendiri pada arus bawahnya, seperti di media sosial sudah meresahkan. NKRI oleh anggota HTI diartikan sebagai “Negara Kafir Republik Indonesia”. Dan pada saat HTI melakukan pertemuan besar di Gelora Bung Karno, biasa disingkat GBK, oleh HTI singkatan itu berubah menjadi “Gerakan Besar Khilafah”.
Pada momen ini saya tidak akan menanggapi panjang lebar mengenai HTI, fokus kajian ini lebih kepada perjalanan panjang gerakan “Islam dan Nasionalisme”. Yang mana, dalam pembentukan dasar Negara Indonesia—banyak ide dan gagasan diperdebatkan, sampai pada terlahirnya Pancasila sebagai jelan tengah, dan Indonesia memilih menjadi negara bangsa (nation-state) untuk mayoritas mutlak umat Islam Indonesia, bukan negara Islam.
Sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, gaung ideologi negara Islam mulai surut, dan jarang sekali tokoh Islam yang mengusung ideologi tersebut dalam pentas politik Nasional. Pada saat itu, politik Islam hanya menjadi jargon kampanye oleh partai-partai tertentu. Momen ini berlanjut pada masa-masa orde baru, dan dilanjutkan pula pasca reformasi hingga sekarang—dianggap tidak relevan lagi menggemakan ideologi negara Islam pada panggung politik Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana partai politik Islam yang ada pada saat ini, seperti; PKB, PPP, PKS, dan sebagainya. Tidak ada satu pun dari mereka menyerukan perubahan sistem dasar negara kita, menjadi negara Islam.
Kalau pun ada, usulannya tidak sampai pada perubahan sistem, hanya sebatas “peraturan syariah” dan sejenisnya.
Dengan demikian wajar saja jika pemerintah membubarkan HTI karena berbelot dari amanat Pancasila, Undang-undang, dan sejarah. Islam dan Nasionalisme dalam perjalanan sejarah Indonesia mempunyai pengaruh besar membentuk visi kebangsaan dan kebudayaan bangsa kita.
Banyak berdiri organisasi sosial-keagaman, seperti; Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjelman menjadi Sarekat Islam (SI) digawangi oleh H.O.S. Tjokroaminoto, Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, Perserikatan Ulama di Majalengka, Persis, Perti, Persatuan Muslim Indonesia, Partai Islam Indonesia (PPI), dan Masyumi, serta Majlis Islam A’laa Indonesia.Gerakan-gerakan Islam tersebut dibentuk tentunya untuk membangun karakter nasionalisme bangsa, walaupun masih sebatas pengertian etik.
Dalam perkembangannya, tidak sedikit pertentangan yang terjadi diantara golongan Islam dan golongan Nasionalis. Seperti halnya pada tubuh Sarekat Islam yang diharapkan akan mampu melahirkan pemerintahan yang berdaulat—cita-cita itu terhambat oleh rentetan perpecahan ideologi. Singkatnya, Soekarno mencoba menjadi penengah, dan Soekarno memberikan solusi kepada para tokoh Islam, agar mereka masuk ke parlemen. Namun, Soekarno pada saat itu dihujani kritik oleh tokoh-tokoh Islam, salah satunya adalah M. Natsir.
Tidak hanya itu, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama pun mengkritik habis pernyataan Soekarno, transkipnya seperti ini, saya kutip dari buku Andree Feillard, “NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna”, “Jikalau Sokarno tidak bicara di atas awan ideal, dan hendak bicara di atas bumi kenyataan, ia kenyataan dan sekali lagi kenyataan hendaklah Soekarno memerhatikan sikap umat Islam. Di dalam kongres rakyat Indonesia tempo hari. Sekalipun Indonesia berisi 90% umat Islam, namun tidak ada satu wakil Islam yang menuntut supaya Parlemenyang dicita-citakan itu parlemen Islam. Bahkan dikala membicarakan bendera persatuan, tidak ada yang mengumumkan tuntutan supaya bendera itu bendera....Islam.”
Telah jelas, di lihat dari transkip tersebut. NU sangat menyadari model pemerintahan yang paling ideal untuk Indonesia adalah negara bangsa (nation-state). Karena jika Indonesia dipaksakan untuk berdiri pada ideologi Islam maka tidak menutup kemungkinan yang akan terjadi adalah perpecahan. Dalam pada itu, tokoh-tokoh Islam nampak bijak, lebih memikirkan persatuan bangsa Indonesia daripada harus memaksakan Syari’at Islam, yakni lebih mengutamakan “esensi” atau nilai-nilai keislaman itu sendiri.
Piagam jakarta menjadi titik balik dari dirubahnya pancasila, pada sila pertama, awalnya berbunyi, “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, kata itu dianggap tidak mengayomi seluruh elemen bangsa Indonesia yang berdiri di atas banyak agama, kepercayaan lokal, suku, budaya, dan kebiasaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama, akhirnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan realitas sejarah menyatakan, bahwa NU menjadi salah satu corong yang ikut mengarahkan itu semua, untuk menjaga perdamaian dan persatuan bangsa.
Nahdlatul Ulama dan Masa Depan Bangsa
Setelah perang jawa pada tahun 1825-1830 (selama 5 tahun). Menjadi titik balik perjuangan Islam di Indonesia, perang ini menjadi perang yang melelahkan dan banyak memakan korban. Dan Belanda sendiri waktu itu sempat kocar-kacir melawan perlawanan dari gerakan Islam Jawa. Berhentinya perang ini ditandai dengan dibuangnya Pangeran Diponegoro. Inilah awal mula bermunculannya golongan “putihan” yang mempunyai tujuan meluruskan paham keislaman di Indonesia (karena dianggap menyimpang).
Terjadi polarisasi menukik, antara abangan, putihan, dan priyayi. Seakan-akan Islam Jawa dan Islam Normatif tidak bisa disatukan. Singkat cerita, proses itu melahirkan banyak ide dan gagasan tentang keislaman, pada tahun 1912 berdiri sebuah organiasi yang mengusung jargon pembaharuan Islam, yakni Muhammadiyah—Tetapi, gerakan ini belum bisa merangkul seluruh elemen rakyat yang mempunyai perspektif berbeda dalam model penerjemahan ajaran Islam. Muhammadiyah gerakannya cukup masif dan dengan waktu yang cepet gerakan ini menyebar ke seantero Indonesia, dan Muhammadiyah menjadi salah satu model keisalaman Indonesia hingga sekarang.
Pada tahun 1926, organisasi Nahdlatul Ulama (NU) terlahir, selain bertujuan membendung paham radikalisme yang sudah mewabah, NU hadir untuk merangkul semua kalangan/semua lapisan masyarakat Indonesia. NU mengusung pendekatan ala Wali Songo, dengan tidak memojokan kelompok-kelompok tertentu, melainkan menjadi solusi keagamaan pada saat itu.
NU beranggapan, tidak relevan harus menghilangkan seluruh ajaran yang sudah mengakar dalam tradisi keislaman di Indonesia, dianggap perlu untuk terus diamalkan—ajaran para ulama terdahulu masih relevan.
Selain itu dalam proses sejarahnya, NU juga tidak diam dalam usaha mengusir penjajahan, dengan gerakan cinta tanah air dan membela negara adalah sebuah kewajiban (Resolusi Jihad), NU menjadi gerakan keagamaan—bersatu padu, berjihad melawan diskriminasi penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari pun tidak pernah bergeming atas gertakan Belanda/penjajah, setelah mengeluarkan “resolusi jihad”, ada isu yang berkembang Kiyai Hasyim mau ditangkap, dan Bung Tomo meminta agar beliau mengungsi, tapi beliau tetap bertahan menemani laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.
Proses itu semua, oleh NU sebagai bentuk kecintaannya terhadap tanah air, bangsa, dan negara. Dan pada rentang yang cukup panjang, NU sama sekali tidak menghendaki adanya usulan agar Indonesia menjadi negara dengan ideologi dasar Islam. Karena NU meyakini masa depan bangsa ini akan jaya dan maju jika toleransi, kebersamaan, dan seluruh rakyat bisa hidup bersama serta berdampingan.
Apalagi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia memiliki kesempatan menjadi contoh dan teladan memengaruhi proses berpikir masyarakat dalam pengamalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Khsusunya bersungguh-sungguh mengisi Pancasila dengan nilai-nilai keagamaan (Islam), begitu juga mengoptimalkan nilai-nilai agama dalam penafsiran dan pengemalan UUD 1945.
Dengan demikian, perspektif mengenai pemikiran Islam, khususnya masalah etika dan esensi nilai keislaman akan menuluar pada sistem pergaulan sosial masyarakat Indonesia, dan hal tersebut akan memengaruhi masa depan bangsa, dan akan dijadikan sebagai standar wawasan kebangsaan. Bagi saya, yang dibutuhkan Indonesia bukanlah simbolisme keagamaan, melainkan nilai-nilai keislaman yang universal, seperti dibawakan oleh panutan kita semua Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Penulis adalah Dewan Pengasun Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.