Opini

Islam dan Pengagungan Hak Atas Pangan

NU Online  ·  Senin, 10 September 2012 | 05:20 WIB

Mochammad Maksum Machfoedz 

Hak Atas Pangan, HAP, atau pada tingkat global disebut the right to food, dalam Islam sungguh sebuah harga mati yang terlembagakan baik pada tingkat individual maupun kolektif. Hal ini merupakan bagian sangat esensial dalam mewujudkan HAM menurut al-Kulliyaat al-Khams, yang merupakan terjemahan operasional dari Fikrah Nahdliyyah, adalah serangkaian hak azasi yang secara formal melandasi perjalanan Nahdlatul Ulama semenjak dideklarasikannya 1926.<>

Sikap mengedepankan HAP memiliki landasan yang sangat paripurna karena diyakininya pelembagaan Puasa Ramadlan sebagai prioritasi Allah SWT terhadap HAP bagi seluruh ummat manusia. Setelah satu bulan menjalani ‘tirakat’ dengan melaparkan diri dan mendahagakan diri berbasis iman dan rasa kepapaan dihadapan Allah selama sebulan penuh, ditutuplah empati atas kelaparan panjang itu dengan pembayaran zakat fitrah.

Serangkaian kebajikan berkenaan dengan puasa Ramadhan adalah ajaran bagi berkembangnya simpati dan empati terhadap keterbatasan, powerlessness, kemiskinan, ketidakberdayaan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Pentingnya penghayatan yang mengejawantah dalam kepedulian berbagi adalah indikator utama ketaqwaan (Al-Baqarah: 3, dsb.), baik bentuknya zakat, infaq maupun shadaqah.

Untuk zakat, mayoritas Ulama’ bersepakat bahwa wajib hukumnya dengan rujukan sangat jelas. Al-Qur’an menyebutnya 30 kali, 27 kalinya disebut bersama shalat, dan sebagian berbentuk perintah seperti dalam Al-Baqarah ayat 43: ‘dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat’. Pentingnya spirit berbagi melalui zakat adalah khidmat kemanusiaan untuk berbagai antar sesama manusia. 

Secara khusus, kewajiban menunaikan Zakat Fithrah dalam Ramadhan berkait-erat dengan nilai kesempurnaan puasa dan ditandai masa pemberiannya yang tidak boleh kepancal sholat Iedul Fitri, qabla khuruji an-naas ila as-sholah (Shahih Bukhari). Bingkai mekanis ini sungguh sarat makna sosial. 

Waktu pengamalan Zakat Fitrah tentu isyarat takhshih, pengkhususan, berkenaan dengan komitmen kemanusiaan yang tegas dalam Islam karena kedekatannya dengan pangan sebagai hak asasi paling mendasar, basic need, setelah hakekat kelaparan kita rasakan sebulan penuh. Hal tersebut mengingat potensi implikatif kelaparan dan kerawanan pangan tingkat individu dan rumah tangga yang bisa berakibat beragam kemunduran kapasitas sosial kebangsaan, seperti kecerdasan, kesehatan, ekonomi dan politik, sampai spiritualitas karena kedekatannya dengan kekufuran. 

HAP sungguh begitu teristimewakan dalam Islam melalui pelembagaan Fitrah dalam Ramadhan mengingat fungsi sosial kebangsaan dan spiritualitas yang bisa sangat fatal manakala lepas dari perhatian publik. Fatalitas pelecehan HAP inipun sangat terkait dengan khidmat keberagamaan. Al-Ma’un 1-3 memperingatkan bahwa pengabaian kepedulian berbagi pangan adalah pendustaan agama, yukadzdzibu bi ad-diin. Adalah sebuah kedlaliman yang jauh lebih parah dari pendustaan agama ketika senyatanya pada hari-hari ini kita justru mudah menyaksikan mereka yang berjama’ah, bukannya mengajak memberi makan si miskin akan tetapi justru mengambil illegal HAP si miskin melalui korupsi dan pengelolaan tidak bermartabat terhadap HAP fakir-miskin 

Berdasarkan apresiasi HAP dalam kehidupan sosial, maka kebijakan ekonomi pangan Muhammad SAW wanti-wanti tentang perlunya rambu tata niaga, jangan sampai perdagangan mengakibatkan eskalasi harga ekstrem dan masyarakat luas tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Dalam perspektif ekonomi makro inilah, tegas sekali sikap kerakyatan Nabi sehingga Beliau tega menyebut penimbun pangan, muhtakir, sebagai pendosa dengan kata khathiun (riwayat Muslim). Pilihan kata khathiun tentu serius alasannya karena kata tersebut dipakai Allah SWT untuk menyebut, antara lain: kebiadaban Fir’aun, kesyahwatan sang ratu pemerkosa Yusuf, dan kekejian saudara-saudara Yusuf yang membuang Yusuf dalam sumur tidak bertuan. Lebih serius lagi diriwayatkan Ibn Majah bahwa Muhammad menyebut penimbun sebagai al-mal’un, dilaknat, ... na’udzu billah.

Bisa disarikan bahwa apapun sistem tataniaganya, format kebijakan pangan terikat rambu: dilarang keras merusak HAP! Tentu menjadi sangat berkeadilan, ketika pada sisi lain juga dipersyaratkan bahwa kebijakan pangan tidak boleh merusak hak ekonomi petani produsen. Kesetimbangan keduanya adalah harmoni sangat Islami yang menjamin terciptanya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur, ...insya Allah.

Berdasarkan pola pikir HAM dan HAP NU inilah maka setiap kebijakan tentang pangan, terlebih Undang-Undang 7/1997 tentang pangan dan RUU yang akan menggantikannya, harus dikawal sungguh-sungguh, dimulai dari Munas-Konbes 2012 yang aegera datang  untuk tidak justru semakin mencederai HAP dan HAM, serta semakin menyebarkan kedlaliman bagi masyarakat luas, utamanya fakir-miskin produsen dan konsumen.

* Guru /Besar TIP FTP-UGM, Peneliti PSPK-UGM, dan  Ketua PBNU 2010-2015.