Oleh Aswab Mahasin
Zaman berganti zaman, ideologi berganti mantra, makna terseret rupa. Tidaklah kamu mengetahui nurani adalah penentram suci. Wajah suci berlumur lumpur, terhapus oleh udara miring nasionalisme. Atas nama kebangsaan mereka berdiri di tengah panji asmara Ilahi. Entah dari mana datangnya wangsit itu. Ritual/spiritual/moral/sosial sederet nama perilaku baik menjadi bancakan kelompok “terhormat”.
Penerjemahan ajaran langit pada realitas bumi dimanipulasi, Baginda Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan tapi diacuhkan. Kenapa manusia berebut kebaikan, sedangkan kejahatan sendiri adalah nilai realitas yang tidak bisa dieelakan.
Pertemuan belum bisa dimaknai sebagai perjumpaan. Sedangkan perjumpaan adalah pemahaman fungsional—kebijaksanaan. Anda ingat, kebijaksanaan dalam literatur jawa selalu diartikan pada dua fungsi, fungsi pertama kebijkasanaan sebagai kebenaran, dan kedua kebijaksanaan sebagai kepeneran (sesuai). Islam dan Laku Normatif, dalam pandangan kebudayaan adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda, berlawanan, dan tak mungkin bersenggama.
Islam disuarakan dengan Al-Hikmah (kebijaksnaan) dan kebaikan, sedangkan “laku normatif” dikonotasikan “kaku, keras, dan ideologis”. Islam yang secara definisi praksis adalah “agama”, apakah memiliki persandingan yang sesuai jika “tutur perilakunya” diseret pada kepentingan normatif (ideologi politik). Kajian kebudayaan mengatakan, agama bukanlah alat kepentingan kelompok atau personal apalagi dijadikan will to power (kehendak berkuasa), tidak.
Hukum ilmiahnya, pemahaman normatif tentu menyudutkan pemahaman kesempitan berpikir. Ada seruan Al-Qur'an menegaskan, La ikhraha Fiddin. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, selanjutnya karena Allah tahu mana yang benar dan salah. Kalau ayat ini ditafsirkan pada penafsiran normatif akan memunculkan “walaupun tidak ada paksaan namun Islamlah sebenar-benarnya agama, oleh karena itu akidah harus dimurnikan”.
Padahal, jika ayat ini kita tafsirkan dalam pengertian yang oprasional maka ayat ini akan menjadi sihir perdamaian kebangsaan, kebudayaan, dan keanekaragaman. Dan tentu Islam akan menjadi potret positif dalam sistem sosial yang tentram.
Tafsir oprasionalnya adalah tak ada paksaan bagi siapa saja untuk memeluk agama, bergaul, bersosialisai, berpolitik, berbudaya, dan bersuku. Karena sesungguhnya kebenaran dan kesesatan akan nampak terlihat jelas pada sisi-sisi ketidaksesuaian.
Di sinilah pentingnya kita mendewasakan interpretasi, bukan mengkerdilkan analisis. Paradigma kebangsaan, paradigma keagamaan, dan paradigma kebudayaan bukan “pengecualian”. Melainkan norma sosial dalam keselarasan alam. Menerima bukan berarti mengikuti, menyalahkan bukan berarti memenjarakan, dan menyesatkan bukan berarti menenggelamkan.
Semua ini adalah proses menuju pada keabadian sejati. Janganlah, kelas sosial yang awalnya hanya kelas borjuis dan ploretar, kelas penindas dan tertindas, lantas digantikan menjadi kelas surga dan neraka. Sungguh surga adalah milik kita semua, begitu pun dengan neraka.
Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.