Oleh Mustaq Zabidi
Persoalan seseorang dalam beragama dan berkeyakinan saat ini bukan lagi menjadi langkah privasi yang telah nyata dilindungi negara (konstitusi). Terlepas beragam pilihan politik, tampaknya kemurnian seseorang dalam beragama tidak bisa tumbuh dengan caranya agama memandang multikulturalisme. Kelompok radikalis yang mengatasnamakan agama sebagai perlakuan utama di atas nilai kemanusiaan telah mematahkan bangunan keberagaman dan keberagamaan yang telah lama dikenal oleh jutaan umat di negeri ini.
Sejatinya, agama adalah pengikat, keberadaannya harus menjadi penguat antar manusia dengan lintas keyakinan yang berbeda. Seseorang tidak bisa berasumsi atas agama tertentu yang mengatakan agama yang dianutnya sebagai sesuatu yang haq dan menistakan agama lainnya sebagai kebathilan. Kriteria penilaian baik atau buruk terletak pada porsi tuhan sebagai pemegang kuasa yang hakiki. Lantas, apa perlunya manusia sebagai bagian produk alam yang tetap bersikukuh untuk melakukan upaya pembelaan terhadap Tuhan? Apakah agama diartikan sebagai wujud pembelaan (bukan keimanan) dan makna Tuhan diletakkan sebagai korban yang tertuduh sehingga diperlukan upaya pembelaan?
Keberagaman atas multietnis, suku, budaya dan agama tak bisa dielakkan karena secara prinsip telah menjadi garis untuk menemukan cara terbaik seseorang dalam beragama dan bertuhan. Beragama tapi tidak bertuhan adalah cara picik memaknai agama sebagai alat pembenaran. Perlakuan yang terkesan baku akan mengarahkan cara pandang yang jumud dan meletakkan agamanya sebagai posisi tawar terhadap sosial keagamaan yang rendah. Keluwesan dalam memaknai agama (mekanisme) harus didasarkan dengan pemahaman yang cukup. Sehingga, tidak asal bunyi justifikasi terhadap penganut agama tertentu yang cenderung terkesan dimaknai sebagai bentuk perlawanan.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut kebanyakan umat menempatkan nilai kemanusiaan sebagai hal terpenting dalam beragama dan bernegara. Sulit tercipta kata merdeka bagi negeri ini manakala para Kiai dan Ulama tempo dulu tidak menempatkan hubbul wathan (cinta tanah air) sebagai nilai juang untuk menentang kolonialisme. Sehingga, dengan munculnya keseragaman bersama memaknai pentingnya persatuan diatas multikulturalisme agama terwujudlah kemerdekaan atas negara.
Bukankah yang diperjuangkan para Kiai dan Ulama tersebut juga memperjuangkan agama? Makna agama yang diperjuangkan adalah tiadanya egoisme agama tertentu untuk menentang agama lain untuk tidak ikut berjuang. Hal ini adalah cara Islam dalam memandang pentingnya nilai kemanusiaan.
Komodifikasi agama untuk kepentingan politis bukanlah praktek politik yang pantas dilakukan oleh pelbagai pihak. Agama bukanlah alat politik untuk menundukkan lawan politik yang beda agama, ras, suku ataupun budaya. Politik adalah soal kemampuan, kapasitas pengetahuan dan dasar sosial untuk melakukan perubahan sistematik dan struktural bagi kemaslahatan bersama. Agama juga soal berprinsip, berkeyakinan sesuai dengan apa yang diyakininya tidak bertentangan dengan norma tertentu dan dasar negara (konstitusi). Peran agama tidak ada kaitannya soal kepentingan segelintir elite politik yang mencoba mentransaksikan tekstualisme agama sebagai manuver politik untuk menyerang lawan politiknya secara sepihak dan cenderung rendah manusiawi.
Isu agama yang cenderung dimunculkan oleh lawan politik merupakan kemunduran praktek politik dalam memaknai pentingnya kekuasaan sebagai alat perjuangan bersama. Kekuasaan cenderung dipersepsikan sebagai pertarungan pos posisi penentuan siapa yang dominan dan punya mobilitas massa yang kuat. Lantas, pentingnya agama untuk politik terletak dalam tataran mana?
Hal seperti ini, tak sedikit dari sebagian kelompok muslim tertentu terjerembab dalam monisme agama sehingga pemaknaan agama terkesan pada tekstualisme agama belaka. Situasi yang amat menyulitkan bagi tumbuh kembangnya sebuah ajaran perdamaian (Islam) yang rohmatal lil ‘alamiin. Perbedaan yang tuhan ciptakan pada manusia merupakan rute panjang menemukan tuhan dengan cara memanusiakan manusia dengan bijak.
Makna agama akan selalu mati jika disampaikan dengan cara yang keras, otoriter dan serampangan. Sedangkan, di negeri ini masih banyak orang yang menginginkan Islam tumbuh sebagai solusi atas pelbagai konflik sosio-agama dan proses bernegara yang baik. Islam bukan melulu soal khilafah itu penting atau tidak, melainkan lebih pada memposisikan manusia dengan derajat yang baik.
Kehilangan ruh dalam beragama akan menjadikan pelakunya condong pada makna logika dan realita. Keduanya akan menjadi acuan tunggal dalam persepsi agama yang sepintas pada angan dan imajinasi. Kesalahan murokkab ini tak bisa diamini begitu saja sehingga dibutuhkan rekontruksi pemahaman dan cara berpikir yang lurus (sejalan).
Pada dasarnya, Islam itu tidak perlu dibela dan juga bukan agama pembelaan. Islam berkembang massif karena dimotori dengan cara penyampaian yang baik oleh Ulama yang mafhum ilmunya dengan sanad keilmuan yang jelas. Sehingga dalam penyampaian itu dibutuhkan sikap kehati-hatian bukan ambisi pribadi untuk menang sendiri. Krisis pemahaman di abad ini menunjukkan kerancuan dan proses yang tak selesai dalam memandang agama sebagai ajaran yang penuh rahmat. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis adalah Pegiat di Solo Reform Institute dan kader muda GP Ansor Kota Surakarta.