Opini

Imam Sibawayhi

Sel, 3 Juni 2014 | 13:45 WIB

Oleh Syafiq Hasyim
Setelah membahas sekilas mengenai Imam Khalil bin Ahmad, kini tiba saatnya bergerak ke Imam Sibawayhi. Nama Sibawayhi adalah pemberian ibunya. Dia adalah tokoh kedua terpenting peletak dasar ilmu Nahwu dari aliran Basrah.

<>
Banyak kalangan ahli Nahwu berpendapat bahwa kemunculan Al-Kitab, kitab karangan Sibawayhi, dianggap sebagai awal dan sekaligus akhir dari perkembangan ilmu ini. Ini merupakan pengagungan terhadap Imam Sibawayhi.

Hal demikian tidak sepenuhnya benar, sebab banyak pernyataan-pernyataan di dalam Al-Kitab sendiri, meskipun tidak disebutkan secara langsung merupakan kutipan-kutipan dari pendapat-pendapat sarjana sebelumnya. Beberapa figur penting yang tercatat dalam sejarah adalah misalnya Isa b. ʿAmr al-Thaqafi (149 H), Yusuf b. Ḥabib Al-Ḍabbi, Abu Al-Ḥiṭab Abu Al-Ḥamid atau yang populer dengan Imam Al-Akhfash dan Imam Khalil sendiri yang menghiasi diskursus ilmu dengan ribuan pandangannya memberi kontribusi yang sangat penting atas karya Sibawayhi.

ʿIsa b. ʿAmr adalah salah satu murid Abu Isḥaq al-Ḥadrami (117 H, dikenal sebagai ibu Ilmu Nahwu). Dia bisa dinyana sebagai pembuka paling awal masa tadwin (kodifikasi) kitab ini. ʿIsa berjasa pada Sibawayhi dalam merangkum dan menyempurnakan Al-Kitab. Posisi penting ʿIsa b. ʿAmr di sini harus diletakkan dalam konteks kecenderungan kajian Nahwu sebelumnya yang masih terbatas pada penggambaran tentang contoh-contoh kaidah-kaidah bahasa Arab secara umum dari sisi iʿrabnya saja.

ʿIsa b. ʿAmr lalu datang dengan melakukan strukturisasi (tanẓim) dan pembaban (tabwib). Imam Khalil pernah memuji ʿIsa dengan mengatakan “Ilmu Nahwu telah pergi seluruhnya, tapi tidak dengan apa yang dikabarkan Isa.” Sayangnya, karya Isa bin Amr tidak dikenal karena orang sudah merasa cukup dengan terbitnya Al-Kitab karya Sibawayhi yang menjadi penyempurna masa kodifikasi ilmu ini.

Hal demikian tidak dimaksudkan untuk meletakkan jasa Isa b. Amr lebih rendah dari Sibawayhi, namun kenyataannya, pemikiran-pemikiran yang sulit dan asing dari ʿIsa b. ʿAmr masih dijaga oleh kalangan sejarahwan.

Sibawayhi bernama asli ʿAmr b. Uthman b. Qanbar dari arah Ibn Ḥarith b. Ka’ab. Menurut beberapa kalangan, Imam Sibawayhi lahir di Persia dan tumbuh di Basrah. Kalangan sejarahwan tidak menyebutkan tanggal kelahirannya, namun Sibawayhi, diperkirakan meninggal pada 180 H.

Ada apa dengan Imam Sibawayhi sehingga aktor ini begitu penting dalam pembentukan ilmu Nahwu ini. Beliau adalah penulis sebuah kitab terpenting yang disepakati di kalangan ahli Nahwu diberi judul Al-Kitab. Apa maknanya?

Judul ini merupakan pengibaratan atas betapa pentingnya kitab ini sehingga para ahli Nahwu ada yang menyebutnya sebagai “Qur’an al-Nahwy” artinya Bacaan (Qur’annya) Nahwu, sumber Nahwu. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya diutarakan dalam Al-Kitab banyak dinukilkan dari Imam Khalil b. Ahmad, guru Sibawayhi.

Hal ini terlihat dari narasi-narasi yang dipaparkann oleh Imam Sibawayhi misalnya, sa’altuhu (saya telah bertanya) atau qala (berkata, kata kerja bentuk lampau [maḍi] yang menyimpan dhamir [kata ganti] laki-laki). Baik pada sa’altuhu maupun qala, sesungguhnya isi dari dhamir itu tidak lain adalah Imam Khalil b. Aḥmad.

Meskipun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahw Imam Sibawayhi memang yang secara sistematis merangkaum dan meformulasikan pendapat-pendapat dahulu dalam bentuk karangan ini (Al-Kitab).

Pengakuan pentingnya Al-Kitab misalnya dinyatakan oleh al-Jahiḍ dimana suatu saat dia berencana berkunjung ke Muḥammad b. ʿAbd Mulk, seorang menteri zaman al-Muʿtaṣim, dan berpikir hadiah apa yang pantas diberikan kepada sang menteri. Lalu al-Jahidz memutuskan sebagai hadiahnya tidak lain adalah Al-Kitab ini (“lam ajid shay’an ahdihi laka mithla hadha Al-Kitab,” tidak aku temukan sesuatu untuk ku hadiahkan padamu yang sepadan [seharga] Al-Kitab).

Bahkan menurut sejarah, Al-Jahiḍ harus membeli Al-Kitab dari Al-Farra’ yang merupakan harta warisannya. ʿAbd Mulk menjawab pemberian Al-Jahiḍ, “demi Allah apa yang kamu telah berikan padaku adalah sesuatu yang paling aku sukai.” Sebenarnya, banyak kisah-kisah lain yang menyanjung Al-Kitab ini, namun tidak perlu saya utarakan di sini.

####

Selanjutnya, banyak karya-karya sarjana terkemuka masa lalu yang ditujukan secara khusus untuk mensyarahi (menjelaskan) dan mengajarkan Al-Kitab kepada murid-murid mereka. Mereka itu misalnya Abu Saʿid As-Sirafi, Mubarrad, ʿAli b. Sulayman Al-Akhfash, Ar-Ramani, Ibn Siraj, AZ-Zamakshari dan masih banyak lainnya.

Di dunia akademia Barat, Al-Kitab diterjemahkan oleh Derenbourg, seorang sarjana berkebangsaan Prancis pada menjadi dua volume pada tahun 1881-1889 M. Beberapa tahun kemudian, sarjana berkebangsaan Jerman asal Berlin, G. Jahn, menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, didasarkan pada terjemahan versi Prancis Derenbourg, namun dilengkapi dengan komentar-komentar (taʿliqat) dari As-Sirafi.

Edisi Jerman ini diberi judul Sibawayhi’s Buch uber die Grammatik pada 1995-1900. Beberapa tahun kemudian, penerbit Bulaq, Cairo, Mesir, menerbitkan Al-Kitab dalam dua volume (1316-1318 H). Edisi Bulaq ini dianggap sebagai terbitan yang terbaik. Di dalam edisi Bulaq ini, di pinggir kitab (hamish), bagi yang terbiasa membaca kitab lama, pasti mengerti ini, dicantumkan penjelasan Abu Saʿid As-Sirafi.

Studi tentang Sibawayhi yang agak belakangan dan cukup komprehensif misalnya terlihat dalam buku, The Legacy of the Kitab karya Ramzi Ba’labakki. Buku ini merupakan uraian yang sangat detil atas Al-Kitab misalnya aktivitas keilmuan yang berkaitan dengan Nahwu dan sejarah Al-Kitab. Dalam buku ini juga dijelaskan beberapa konsep kunci untuk memahami Al-Kitab seperti tentang apa pengertian samaʿ (data yang sudah diuji), qiyas (analogi), ʿIlla (sebab), takdir (supplative insertion, penyelundupan makna), ʿamal (aturan-aturan) dan aṣal (asal usul).

Selain itu, buku ini juga menjelaskan hubungan Sibawayhi dengan Mubarrad serta imam-imam lainnya. Sebuah buku volume yang bertajuk The Foundations of Arabic Linguistics: Sibawayhi and Early Arabic Grammatical Theory, bertindak sebagai editor adalah Amal Elesha Marogy, adalah karya modern lain soal Imam ini. Buku ini memuat artikel-artikel penting yang ditulis oleh orang-orang yang kompeten dalam bidang Nahwu mengenai keseluruhan aspek Imam Sibawayhi dan Al-Kitabnya dengan sangat detil.

Salah satu tulisan misalnya membahas bagaimana konsep mafʿul (obyek langsung) dikemukakan oleh Sibawayhi. Buku-buku tentang Sibawayhi yang barusan saya kemukakan adalah merupakan contoh bagaimana studi tentang Imam Sibawayhi terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan kajian seperti itu tidak hanya dimonopoli oleh fakultas-fakultas bahasa Arab di universitas-universita terkemuka di Timur Tengah, bahkan di Barat.

Bahasan serial ilmu nahwu ini merupakan bagian kelima. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.