Oleh Ali Makhrus
Selanjutnya, ketika Guru Durno merasa kelabakan dengan tanya jawab soal iman, lantas Petruk mengkritik sikap yang ditampilkan oleh Guru Durno yang sudah kehilangan jati diri sebagai orang Jawa (Indonesia) akibat pengaruh dari kebudayaan luar. Durno digambarkan orang yang suka berpakaian jubah serta bawa tasbih kesana kemari, hanya untuk penampilan, namun keropos. Petruk keras mengatakan, bahwa sekarang banyak orang beragama Islam, namun sangat disayangkan mereka menghilangkan jati diri bangsa asal mereka, yang memiliki tradisi dan identitas luhur.
Sekarang giliran Petruk balik bertanya kepada Guru Durno. Petruk bertanya seputar fenomena sosial masyarakat sekarang yang sudah menurun kualitas hidupnya. Lantas terjadi dialog antara mereka.
Petruk: “Sekarang, saya balik bertanya kepada panjenengan, yang katanya mashur sebagai kiai yang menguasai banyak ilmu pengetahuan, Triguna itu maksudnya apa?”, tanya petruk.
Durno: “Piye?” Durno tanya balik.
Petruk: “Triguna itu apa?“ tegas Petruk.
Durno: “Gampang itu, Triguna itu artinya tri itu tiga, Guna itu berguna, berarti Triguna itu tiga perkara yang berguna bagi manusia”, jawab Durno.
Petruk: “Iya, maksudnya apa Triguna itu? dari tadi tiga terus aja jawabannya, tidak ada bahasa lain apa?" sanggah Petruk.
Durno: “Ya emboh, ndak tahu!” jawabnya ngeles.
Petruk: “Loh, kayak begituan saja tidak bisa, anda hendak menyalahkan guru Anoman yang akan mengkaji Ilmu Sangkan Paraning Dumadi”.
Durno: “Ayo kalau anda memang tahu, apa itu Triguna?”, pinta Durno.
Petruk: “Anda kasih tebakan atau berguru?”
Durno: “Saya kasih tebakan kepada kamu?”
Petruk: “Ok, saya tidak tahu, sekarang saya tanya, apa itu maksud dari Triguna?” goda Petruk.
Durno: “Baiklah, saya berguru kepada anda!”
Petruk: “ Jika anda berguru kepada saya, apa tidak salah dan malu, saya hanya orang biasa, padahal anda adalah seorang kiai yang dikenal luas, berpangkat, kaya raya?”
Durno: “Wow, asem tenan! Dasar, menyusahkan saja jadi orang. Ya sudah, sekarang saya mengaku bahwa saya tidak tahu!”, gerutu Durno.
Petruk: “Baiklah, sebelumnya saya minta maaf. Jadi Triguna maksudnya adalah pengaruh pikiran. Pengaruh pikiran itu ada tiga, yakni Satwam, Rajas dan Tamas. Pertama adalah Satwam kebaikan. Karenanya, jika menjadi seorang kiai atau orang biasa harus suka berbicara baik serta saling menasihati satu sama lain tentang kebaikan. Janganlah jadi orang yang suka iri, dengki dan jahil. Boleh bersaing, asal sehat. Kedua adalah Rajas, artinya berani. Maksudnya adalah berani dalam persoalan kebenaran disertai perhitungan yang matang, tidak asal berani. Kalau berani saja, tidak ada hubungannya dengan persoalan kebenaran dan perhitungan, itu jadinya celaka! Ketiga adalah Tamas. Maksudnya itu malas, bodoh. Artinya orang bodoh mengaku pintar. Makanya, sekarang orang alim itu habis karena kemunculan orang bodoh yang mengaku pintar. Sementara, saat dijadikan pimpinan malah tidak karuan jadinya”.
Triguna tersebut juga merupakan salah satu konsep dalam agama hindu yang menjelas tentang sifat dasar dalam diri manusia. Nilai-nilai ini merupakan ajaran yang ada dalam Bhagawad Gita. Yakni, kisah Arjuna yang masih bimbang dalam melaksanakan perang Baratayuda, sehingga Sri Krisna membeberkan dan menjelaskan sifat-sifat lumrah manusia, yakni Satwam, Rajas, dan Tamas.
Berbeda lagi dengan Ibnu Sina. Dia menggambarkan dengan konsep al-quwwah nabatiyah, al-nafs al-hayawaniah, dan al-nafs al-nathiqah dan masih banyak lagi konsep-konsep tersebut dari para pemikir Islam. Namun demikian, konsep dalam pewayangan Jawa justru lebih akrab dengan tradisi Hindu. Dan ini merupakan salah bentuk dialog nilai yang saling melengkapi.
Dialog kedua ini memberikan pelajaran agar manusia saling mengingatkan satu sama lain. Potensi berbuat baik dan buruk merupakan bawaan lahir manusia. Oleh karena itu, jelas dalam surat al-Ashr, “manusia kebanyakan merugi, hanya mereka orang-orang beriman dan beramal saleh serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran yang tidak terjerumus dalam kenistaan”. (Bersambung)
Baca bagian sebelumnya: Ilmu Sangkan Paraning Dumadi (1): Petruk dan Durno Berdebat Iman.
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta