Opini

Ibn ‘Arabi, Kehampaan Spiritual dan Jalan Sunyi

NU Online  ·  Selasa, 1 Mei 2018 | 00:00 WIB

Oleh Rohmatul Izad

Akibat terlalu mengagungkan rasio, manusia modern mudah dihinggapi penyakit kehampaan spiritualitas. Kemajuan yang begitu pesat pada wilayah ilmu pengetahuan dan rasionalisme, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber Ilahiyah melalui pengkajian dan pengamalan esoterik. Landasan epistemologis yang paling primordial ini menentukan karakter ruhani dari kehidupan manusia.

Teori psikologi trans-personalisme kembali menjadi kajian serius dalam pengembangan dunia spiritualitas yang berfungsi memberikan pencerahan dan makna kehidupan. Dalam kenyataan ontologis, manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman fisik dan bukan makhluk fisik yang memiliki pengalaman spiritual.

Hal ini menjadikan spiritualitas sebagai aktifitas yang sebenarnya alamiah dalam kehidupan manusia. Namun demikian kealamiahan itu bukan serta merta tidak menimbulkan masalah. Pasalnya, penyakit kehampaan spiritual manusia modern menjadi kenyataan yang begitu kering akan kondisi-kondisi alamiah tersebut.

Spiritualitas, menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’i dalam melihat segala macam bentuk realitas baik dalam kehidupan empiris, maupun dalam dunia meta-empiris. Ibn ‘Arabi memberikan jalan bagi kita tentang bagaimana menyikapi dan mengelola kehidupan material.

Di era modern, seringkali satu bentuk kemajuan diiringi dengan satu bentuk kemunduran. Kemajuan rasionalisme menjadikan spiritualisme menjadi mundur, padahal dua hal ini tidak bersifat oposisif, melainkan satu bentuk kriteria yang harus ada dalam segenap kehidupan umat manusia.

Spiritualitas Ibn ‘Arabi memiliki arti penting dalam mencari jawaban atas kekeringan spiritual di era modern ini yang penuh dengan sifat-sifat materialisme, skeptisisme, dan dogmatisme kaku sebagaimana kaum fundamentalisme lintas Iman. Bukan sesuatu yang wajar jika dikatakan gejolak kemunduran spiritual ini sebagai prestasi kemajuan di era modern. Kenyataannya, kehampaan spiritual manusia modern membuat mereka kehilangan arah, orientasi kehidupan yang sempit, dan pandangan dunia yang terlalu mengedepankan sifat ke-material-an segala sesuatu.

Sebagai jawaban atas problem kekinian yang akut, kita semestinya belajar dan menengok masa lalu guna mencari titik temu atas kehidupan panjang yang bergejolak ini. Sebagai satu alternatif, tulisan singkat ini ingin menawarkan pemikiran spiritualitas Ibn ‘Arabi dan menjadikannya kontekstual untuk kita hari ini.

Sebagai suatu tawaran penting, Ibn ‘Arabi membagi spiritualitas dalam tiga karakteristik. Pertama, spiritualitas sebagai gerakan psikologis yang senantiasa berorientasi ke-Ilahi-an. Gerakan ini muncul dari satu keyakinan yang teguh dalam melihat ke-Esa-an Yang Maha Mutlak wujudnya. Dia sebagai sumber, sekaligus sebagai objek inspirasi, bahkan sebagai sentra orientasi.

Keyakinan semacam ini haruslah menjadi prinsip dasar dalam beragama. Gerakan ke-Ilahi-an ini harus bergerak pada dua arah sekaligus, seperti ungkapan Ibn ‘Arabi yang indah “Mengetahui kemajemukan makhluk dalam kesatuan, dan menyaksikan kesatuan di dalam kemajemukan makhluk, dengan tajjalinya: Yang Maha Esa pada yang banyak, dan yang banyak pada Yang Maha Esa”.

Kedua, spiritualitas sebagai gerakan integralistik. Tidak hanya sebatas fenomena psikologis, tetapi juga sebagai perwujudan ketaatan totalitas potensi insaniyah kepada syar’i dalam satu tujuan, yakni beribadah kepadanya. Dengan demikian, antara syariat dan hakikat memiliki hubungan integralistik yang tidak bisa dipisahkan seperti dua jiwa yang bersatu di hadapan cinta.

Ketiga, spiritualitas sebagai gerakan nilai. Nilai itu menjadi sikap moral positif, yang mengaktualisasikan penciptaan fitrah manusia sebagai citra Allah dalam bentuk penampilan manusia yang berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi Ibn ‘Arabi, pemaknaan spiritualitas akan menyalahi bahkan akan merusak nilai kemanusiaan, jika unsur-unsur potensi batin dalam diri manusia mengabaikan aspek-aspek mendasar dalam perjalanan spiritualitas.

Jadi, diplomasi spiritual harus mengedepankan beberapa aspek tertentu agar terhubung dengan yang Ilahi. Ini bukanlah satu-satunya jalan namun adakah jalan pintas yang lebih baik untuk menuju Tuhan selain dari pada mengedepankan sikap trans-personalisme Ilahi?. Orang tidak harus mencari guru tarikat atau sufi untuk mendekatkan diri dengan yang Ilahi. Tetapi mereka harus belajar dari orang-orang yang telah cukup pantas untuk berdialog dengan Tuhan.

Semakin kita berpaling dari yang Ilahi, semakin hati kita keruh dan bahkan kering. Kita tidak perlu atau seharusnya memotong tali keduniawian, tetapi yang diperlukan adalah mengendalikannya. Para guru sufi mengajarkan tentang sikap pengendalian ini. Menjadi sufi bukanlah dengan cara menjadi miskin dan menjaga jarak atas orotitas dunia, tetapi bagaimana bahkan dalam keadaan yang begitu pahit manusia bisa selalu bernafas seperti ruh Ilahi yang menghidupi jiwa-jiwa kematian.

Manusia hari ini harus bisa berdiri dan berkata “iya” terhadap spiritualitas, bukan sebagai kebutuhan tetapi sebagai jawaban. Tidak semua pertanyaan ada jawabannya, sementara setiap jawaban tidak selalu membutuhkan pertanyaan. Ada saat di mana manusia harus diam untuk merefleksikan apa kenyataan serius di kehidupan ini. Manusia modern hanya butuh beberapa saat untuk diam, memikirkan ulah tentang dari mana dan akan kemana kehidupan ini tanpa harus pusing dengan ini dan saat ini.

Rohmatul Izad, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta.