Hubungan Simbiosis Pesantren dan Sekolah Formal
NU Online · Jumat, 10 Februari 2017 | 08:00 WIB
Perkembangan dunia pesantren dalam merespon tantangan multi-dimensional di era globalisasi berlangsung begitu cepat dan mudah diamati, terutama setelah era reformasi. Beberapa pesantren masih mempertahankan tradisi salafi dan di saat yang sama membentuk unit-unit pendidikan formal baru, seperti Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Madrasah Tsanawiyyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Unit-unit pendidikan baru tersebut menyajikan perpaduan antara pengkajian kitab-kitab salaf dan materi pelajaran umum (modern). Pengembangan ini dimaksudkan agar para lulusan pesantren salaf dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan berkualitas serta mampu bersaing secara kompetitif dalam intelektualisme pada bidang-bidang studi umum.
Meski demikian, sekolah formal di lingkungan pesantren ini tetap dilaksanakan tanpa meninggalkan aspek-aspek positif sistem pendidikan Islam salafi sebagai ciri khas pesantren (Dhofier: 1982). Pendidikan formal di sekolah dan nilai-nilai kepesantrenan berfungsi saling melapisi dalam membentuk kepribadian para siswa.
Tuntutan untuk memadukan antara yang salafi (tradisional) dan yang khalafi (modern) secara otomatis akan membawa tantangan tersendiri bagi dunia pesantren. Beberapa faktor seperti perkembangan sains-teknologi, penyebaran arus informasi serta perjumpaan budaya baru dapat menggiring kecenderungan masyarakat akademik di sekolah, termasuk para santri di dalamnya, untuk berfikir rasional dan inklusif.
Civitas akademika di sekolah formal akan dihadapkan pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk diikuti. Terlebih lagi, pilihan-pilihan baru tersebut seringkali dikemas dengan istilah yang mengandung nuansa propaganda yang meskipun dalam taraf tertentu masih bisa dibenarkan, seperti efisiensi, kemajuan, pencerahan, pembaharuan, dan sebagainya.
Pelan tapi pasti, hal ini bisa berdampak pada perubahan-perubahan yang menyangkut pola pikir dan pola hidup para santri yang mengikuti pendidikan di sekolah formal. Para santri ini secara perlahan akan bersikap progresif dan pragmatis sebagai respons atas tuntutan zaman. Gejala ini mesti direspon dengan baik oleh pihak sekolah.
Pendampingan di Sekolah
Perjumpaan aspek salafi dengan khalafi sebagaimana dijelaskan di atas perlu mendapatkan pendampingan yang baik dari pihak sekolah. Kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman melalui ilmu-ilmu umum dan di saat yang sama menjaga identitas kepesantrenan juga perlu mendapatkan perhatian yang proporsional.
Bagi sekolah formal, keberadaan pesantren dapat menjadi nilai lebih dalam rangka menawarkan alternatif model pendidikan yang sesuai kebutuhan zaman. Hal ini karena ukuran yang digunakan masyarakat dalam menilai lembaga pendidikan saat ini tidak lagi terpaku hanya pada keberhasilan dalam ilmu-ilmu umum atau modern, tetapi juga pada aspek moral dan spiritual.
Komitmen untuk menyertakan ciri khas pesantren dalam proses pembelajaran di sekolah akan turut menambah harga tawar sekolah di tengah masyarakat. Dalam hal ini, sekolah membekali para siswa agar lebih siap menghadapi dan mengantisipasi tantangan global yang beragam. Oleh karenanya, sekolah perlu merawat identitas kepesantrenan di lingkungannya.
Identitas ini dapat ditunjukkan dengan cara, misalnya, memasukkan kajian kitab kuning ke dalam mata pelajaran di sekolah. Tentu materi kitab yang dipilih harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kitab kuning seperti Ta’lim Muta’allim (akhlak) dan Fathul Qarib (fiqih) dapat digunakan sebagai preferensi, disamping kitab lain sesuai kesepakatan pengelola sekolah.
Selanjutnya, nilai-nilai kepesantrenan seperti sopan santun, kebersahajaan, kemandirian, kedisiplinan, dan istiqomah juga perlu ditonjolkan dalam keseharian di lingkungan sekolah. Sebagaimana maklum, nilai-nilai luhur tersebut terlihat jelas dalam denyut nadi aktivitas sehari-hari para santri.
Kehadiran nuansa pesantren di lingkungan sekolah ini dapat ditemukan, misalnya, di Madrasah Aliyah (MA) Fathul Huda yang bernaung di bawah Pondok Pesantren Fathul Huda, Karanggawang Demak. Tidak hanya kajian kitab kuning, sekolah ini juga menyelenggarakan kegiatan lain berciri pesantren, seperti tadarrus harian, khataman al-Quran dan istighotsah secara berkala oleh semua warga sekolah.
Keberhasilan sekolah formal dalam memadukan modernitas pendidikan dengan tradisi pesantren akan dapat memperkuat pembangunan peradaban Indonesia modern yang berakhlakul karimah. Melalui sekolah formal, tradisi pesantren yang pernah menjadi ujung tombak pembangunan peradaban Melayu Nusantara kini perlu tampil lagi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia di masa sekarang dan mendatang.
Akhirnya, sekolah formal berbasis pesantren harus juga berani meneguhkan kembali maqolah khas dunia pesantren dengan format baru: al-akhdzu bil Jadidil ashlah wal muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih, yaitu mengadopsi budaya baru yang terbaik atau memberi kemaslahatan dengan tetap menjaga tradisi lama yang luhur.
* Penulis adalah alumnus Pesantren Fathul Huda, Karanggawang Demak
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Inses dalam Islam: Dosa Terbesar Melebihi Zina, Dikecam Sejak Zaman Nabi Adam!
Terkini
Lihat Semua