Opini

Hindari Operasi Intelijen Bermodus Operasi Mlliter

NU Online  ·  Senin, 12 Mei 2003 | 11:03 WIB

Oleh: Hendrjit

Rencana operasi militer ke Aceh, mencemaskan banyak pihak. Yang paling mengemuka, tentunya kemungkinan berulangnya skema Daerah Operasi Militer (DOM) dalam rencana operasi militer yang kemungkinan akan dilancarkan pada 15 Mei mendatang. Tentunya setelah ada keputusan presiden secara resmi berupa keputusan presiden atau secam inpres. Dan setelah dikonsultasikan kepada presiden.

<>

Pada sisi lain, kekhawatiran para pihak atas kemungkinan aksi militer yang bermuara pada terjadinya kembali praktek ala Daerah Operasi Militer, memang perlu dicermati secara lebih seksama.

DOM yang muncul pada era Suharto sejak 1989 hingga 1998, sebenarnya bukan merupakan suatu konsekwensi logis dari suatu keputusan pemerintah dalam mendeklarasikan suatu perang konvensional atau serangan milliter terbuka, yang ditujukan kepada suatu kelompok pemberontakan atau yang lebih dikenal sebagal the insurgent group.

Sebagaimana penilaian beberapa pakar hukum dalam mental sepak-terjang tentara dalam skema DOM, DOM sebenamya bukan suatu status legal yang memberi legalisasi atas suatu serangan militer atau suatu perang konvensional pihak pemerintah atas apa yang disebut sebagai pemberontak atau the insurgent group itu tadi.

Namun tragisnya, meski tidak ada status legal atas dilancarkannnya suatu operasi militer atau perang konvensional secara resmi, pada prakteknya operasi militer di beberapa daerah rawan atau 'the traubled area' terjadi bukan saja di Aceh, namun juga di Papua (lrian Jaya) dan Timor Timor.

Maka, apa yang selama ini dikenal sebagal operasi jaring merah di Aceh atau operasi pemulihan keamanan di Timor Timor, pada hakekatnya merupakan suatu operasi militer yang bermodus operasi intelijen yang tertutup dan pada akhirnya, membuka peluang ke arah penyalagunaan kekuasaan dengan memakai dalih operasi militer.

Padahal, dengan tidak adanya suatu status legal yang melegalisasikan adanya suatu situasi yang mendorong pemerintah untuk melancarkan suatu perang konvensional terhadap apa yang disebut sebagai the insurgent group, maka operasi militer yang terjadi kemudian pada prakteknya yang dijadikan sebagal kedok untuk apa yang disebut sebagai the brutal counter-insurgency operation.

Dari istilahnya itu sendiri, sudah mengandung kontradiksi. Di dalam berbagai literature yang ada mengenai kontra pemberontakan atau counter-insurgency, militer dan intelijen sebagai elemen kunci dalam skema operasi semacam ini, terkandung misi untuk memenangkan pikiran dan perasaan rakyat. To win the heart and mind of the people. Jadi ketika suatu counter-insurgency dilakukan secara brutal oleh aparat keamanan, maka counter-insurgency tersebut secara ironis justru semakin menggelembungkan kekuatan GAM balk dari segi simpati dan legitimasi di mata rakyat Aceh, bahkan juga dari segi jumlah pasukan.

Kabamya, pasukan GAM sempat mencapai 2000 sampal 30000 pasukan, termasuk jumlah persenjataannya. Meski fakta ini telah dibantah sendiri oleh Panglima TNI Endriartono Sutarto.

lni bisa tedadi karena DOM pada prakteknya telah menjadi kedok dari suatu operasi militer yang bukan merupakan konsekwensi logis dari suatu perang konvensional yang dinyatakan secara terbuka oleh pemerintah.

Dalam skema yang sebenarnya merupakan ciri khas rejim Suharto, operasi militer sebagai operasi kontra pemberontakan, pada prakteknya intelijen merupakn the hardcore dari apa yang kita kenal selarna ini sebagai DOM tersebut.

Padahal dalam skema perang konvensional, meskipun pada penerapannya lebih mengedepankan perang gerilya karena pemberontak yang jauh lebih kecil jumlahnya menerapkan konsepsi perang gerilya, tetap saja militer yang merupakan the hardcore dari operasi semacam ini.

Dengan kata lain, operasi intelijen dan peranan aparat intelijen, sepenuhnya merupakan unsur yang membantu design operasi yang digariskan militer (Supporting element). Dalam skema seperti itu, intelijen yang mengemuka adalan combat intelligent atau inteiijen tempur.

Namun dalam setting politik era Suharto di mana intelijen justru menjadi manifestasi kekuasaan tentara dalam politik, maka operasi militer telah tersubordinasi dalam agenda politik rejim yang termanifestasi dalam arahan para aparat intelijen. Meski pada kenyataannya, para petingi intelijen yang bermain di Aceh sejak 1970-an hingga 1998, semuanya adalah