Opini

Hari Anak Nasional: Dilema Anak +62 di Masa BDR

Kam, 22 Juli 2021 | 22:00 WIB

Hari Anak Nasional: Dilema Anak +62 di Masa BDR

Ilustrasi: NU Online

Oleh Aan Widiyono 

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah atau mempengaruhi segala aspek kehidupan sehari-hari dari anak usia dini hingga orang dewasa. Sebagaimana kita ketahui, di era saat ini wabah pandemi Covid-19 masih melanda di tanah air yang mana masih belum kita ketahui sampai kapan berakhir. Pandemi ini mengakibatkan adaptasi kebiasaan baru terhadap berbagai aktivitas apapun. Seperti dalam bidang pendidikan dengan mengalami perubahan aturan dan kebijakan dalam proses pembelajaran, yaitu penerapan belajar dari rumah (BDR) secara online.

 

Kondisi ini mengakibatkan anak harus menggunakan laptop, komputer, dan gadget sebagai sarana belajar. Pemakaian gadget bagi anak, terkadang mengalami penyimpangan-penyimpangan jika tidak ada kontrol penuh dari orang tua. Pemakaian gadget secara berlebihan dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak sehingga membuat orang tua takut dan khawatir terhadap laju perkembangan anak.

 

Pemanfaatan gadget bagi anak diibaratkan sebagai bilah pisau bermata dua dalam pembelajaran. Jika dimanfaatkan sesuai peruntukannya dan pemakaiannya tidak berlebihan, gadget dapat menjadi sarana media pembelajaran online untuk berkomunikasi dan menyalurkan materi. Namun, jika pemanfaatan secara berlebihan dapat memberikan dampak buruk bagi perkembangan dan kesehatan anak. Berdasarkan Widiyono (2020) pembelajaran online dapat memanfaatkan berbagai aplikasi, seperti Ruang Guru, Zenius, Zoom Meet, Google Classroom, Google Hangouts, Quipper, Quizizz, Edmodo dan juga masih banyak aplikasi yang lainnya yang dapat bermanfaat untuk mendukung pembelajaran tetap berlangsung.

 

Selain itu, pengaruh positif BDR bagi anak dalam memanfaatkan internet dapat membuat anak lebih mendalami teknologi sejak usia dini, pembelajaran lebih fleksibel, dan dapat dilakukan dimana saja dengan menggunakan sistem daring, dapat hemat biaya transportasi, materi dapat di-save dan diputar ulang  jika  kurang  dipahami, anak  dapat menggali pengetahuan dan sumber informasi secara  luas.  

 

Tantangan proses BDR idealnya tetap dapat mengakomodasi kebutuhan belajar anak untuk mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan jenjang pendidikannya. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kesiapan pendidik, kurikulum, ketersediaan sumber belajar, serta dukungan jaringan yang stabil. Penerapan BDR saat ini belum dapat disebut ideal dikarenakan masih terdapat berbagai hambatan yang dihadapi. Hambatan ini sekaligus menjadi tantangan dalam pelaksanaan di lapangan. Hambatan pelaksanaan BDR berkaitan dengan kesiapan SDM, regulasi yang berubah ditingkat pemerintah daerah, kurikulum yang belum baku, dan keterbatasan sarana dan prasarana dengan penerapan teknologi dan jaringan internet.

 

Menurut Fieka Nurul Arifa (2020) terdapat banyak keluhan baik dari pendidik, peserta didik, maupun orang tua terkait pelaksanaan BDR. Banyak pendidik yang mengeluhkan terbatasnya ketersediaan sarana teknologi, kemampuan pengoperasian maupun keterbatasan jaringan internet di beberapa daerah. Di sisi lain sejak diberlakukannya BDR, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sekitar 213 pengaduan BDR baik dari orang tua maupun siswa (Kompas, 14 April 2020).

 

Pengaduan tersebut berkaitan dengan: pertama, penugasan yang terlalu berat dengan waktu yang singkat. Kedua, banyak tugas merangkum dan menyalin dari buku. Ketiga, jam belajar masih kaku. Keempat, keterbatasan kuota untuk mengikuti pembelajaran daring. Dan kelima, sebagian anak tidak mempunyai gadget pribadi sehingga kesulitan dalam mengikuti pembelajaran daring.

 

Selain BDR memberikan manfaat dan hambatan bagi anak, kenyataan di lapangan masih ditemukan penyalahgunaan gadget dalam pembelajaran yang mengakibatkan kecanduan dengan gejala perasaan mudah gelisah, mudah marah, hingga muncul beberapa masalah dalam kesehatan. Berbagai masalah kesehatan anak akan kecanduan gadget, seperti: pertama, kurang tidur, yang mana jika sering terjadi dapat mengakibatkan perkembangan otak pada anak tidak optimal, bahkan menghambat kinerja otak. Untuk itu, diharapkan orang tua memantau waktu tidur anak, supaya asupan perkembangan otak anak dapat optimal dengan istirahat yang cukup;

 

Kedua, masalah psikologi anak, kecanduan gadget dapat mengganggu kesehatan mental anak seperti anak sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan, risiko depresi, kepribadian bipolar, kurangnya rasa perhatian, gelisah dan perilaku masalah lainnya. Pada tahap ini seharusnya orang tua lebih memperhatikan perilaku anak terhadap lingkungan sekitar, jika terjadi gejala yang mengkhawatirkan, disarankan orang tua dapat berkonsultasi pada ahli psikologi.

 

Ketiga, penyakit mata, anak-anak yang kecanduan gadget sangat rentan mengalami permasalahan di mata. Hal ini terjadi karena menatap layar ponsel atau gadget dalam kurun waktu yang lama menyebabkan kelelahan pada mata, mata kering, gangguan penglihatan, mata merah dan masalah lainnya. Pada tahap ini, diusahakan orang tua selalu mengontrol aktivitas anak dalam menggunakan gadget, jika mengalami penyimpangan dapat segera dinasehati dengan hal-hal positif.

 

Keempat, kegemukan, fitur gadget yang menarik dapat membuat anak malas gerak sehingga dapat berdampak pada tumbuh kembang seperti obesitas atau kelebihan berat badan. Karena anak yang mengalami kecanduan gadget, anak menjadi malas bergerak atau lebih sering berbaring di atas kasur. Harus diketahui bahwa obesitas pada anak dapat meningkatkan risiko penyakit jangka panjang bahkan bisa mengalami stroke dini dan serangan jantung. Tahap ini diharapkan orang tua sering memberikan edukasi dan nasihat terhadap bahaya penggunaan gadget yang berlebihan, di sisi lain orang tua diharapkan selalu menyadarkan anak untuk dapat menjaga pola hidup sehat sehingga dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya.

 

Kelima, anti sosial, masalah ini dapat terlihat dari asyiknya bermain gadget sehingga anak kurang memperhatikan nasihat orang tua dan rasa empati yang berkurang. Kondisi lain yang dapat diamati seperti anak menjadi malas sehingga bangun lebih  siang. 

 

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa proses BDR terhadap anak saat ini masih perlu perhatian dari beberapa elemen seperti pemerintah, pihak sekolah yaitu guru, dan orang tua. Kesinambungan beberapa elemen tersebut dapat menjadikan anak sebagai generasi penerus bangsa yang berkarakter kuat dan berdaya saing dalam segala hal. Untuk itu, pemerintah perlu mengatasi hambatan yang terjadi selama BDR, baik dari sisi regulasi, peningkatan kesiapan pendidik, serta perluasan jaringan dan akses sumber belajar, agar dapat berjalan secara efektif.

 

Selain itu, guru harus memiliki kemampuan dalam berinovasi supaya dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat memberikan kemudahan dan kebermaknaan bagi anak. Elemen yang terpenting dalam BDR adalah orang tua. Untuk itu, peran orang tua harus dapat mengawasi anak dengan baik dalam proses BDR karena anak masih dalam tahap labil  dan  masih  sangat  membutuhkan adanya bimbingan dalam menjalankan pembelajaran berbasis online agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

 

Penulis merupakan Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara. Selain itu, ia juga menjadi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Desa yang tergabung dalam Profesi Pendamping  Desa di bawah naungan Kemendesa, dan aktif bidang sosial, keagaamaan.