Opini

Habib Ali Kwitang, NU, Banser dan Betawi

Jum, 15 Desember 2017 | 06:35 WIB

Oleh Ahmad Fadli HS
Ribuan manusia memadati area Kwitang pada Rabu-Kamis 13-14 Desember 2017 untuk menghadiri Majelis Rauhah, Ziarah Kubro dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Majelis Taklim Habib Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta Pusat. Kegiatan yang digelar setiap tahun di akhir Kamis bulan Rabiul Awal itu memang selalu dihadiri oleh para ulama, habaib, pejabat dan para jamaah dari berbagai daerah.

Ada yang menarik dalam Majelis Rauhah, Ziarah Kubro dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kwitang tahun ini, yaitu dengan dilibatkannya Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan FPI sebagai panitia bersama. Tentu saja keterlibatan GP Ansor/Banser dan FPI dalam acara tersebut menimbulkan berbagai tanggapan. Ada yang bergembira, terharu, simpati. Bahkan ada juga yang "nyinyir dan plintir".

GP Ansor selama bulan Rabiul Awal memang kerap kali mengadakan atau dilibatkan dalam Maulid Nabi di berbagai tempat. Di antaranya adalah GP Ansor Jakarta Timur mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Kamis 23 November di Pondok Pesantren Al-Hamid Cipayung dengan mengundang Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf Sala, Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Jindan bin Novel Bin Salim Jindan. Sehari setelahnya, Jumat, 24 Nov GP Ansor Jakarta Pusat dilibatkan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Kemayoran Bershalawat yang dihadiri oleh Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dan para habaib lainnya kemudian Banser DKI Jakarta dilibatkan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Taushiyah Kebangsaan di Silang Monas yang dihadiri oleh Habib Lutfhi bin Yahya dan para habaib lain.

Partisipasi Banser dalam tiga maulid nabi sekala besar di atas yang dihadiri para ulama dan habaib itu tampaknya menjadi perhatian Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dan kemudian mengajak agar GP Ansor dan Banser juga bisa terlibat dalam Maulid Nabi Muhammad SAW di Kwitang. Tentu saja bagi GP Ansor itu merupakan kehormatan yang sangat luar biasa dan dengan senang hati menyambutnya.

GP Ansor dan Keluarga Besar NU sangat memahami bahwa Habib Ali Al-Habsyi Kwitang semasa hidupnya memiliki ikatan emosional dengan NU dan sangat berperan dalam mengembangkan NU dan Islam Ahlisunnah wal Jamaah di tanah Betawi.

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dilahirkan di Kwitang pada 20 Jumadil Akhir 1286 H/20 April 1869 M. Ayahnya, Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi adalah kelahiran Petak Sembilan Semarang, seorang bangsawan kaya dan ulama terkenal saat itu. Ayahnya kemudian pindah ke Jakarta dan menikah dengan Nyai Salmah binti Haji Ali, seorang putri asli Betawi yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang).

Habib Ali Al-Habsyi dan KH Ahmad Marzuqi (Guru Marzuqi) adalah salah satu tokoh penting di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di tanah Betawi. Ketika belajar di Mekkah, Guru Marzuqi berteman dengan KH Hasyim Asy’ari. Guru Marzuqi langsung tertarik ketika mendengar bahwa temannya, KH. Hasyim Asy’ari, mendirikan NU di Jawa Timur. Namun sebelum memutuskan untuk mendirikan NU di Jakarta, Guru Marzuqi pergi ke Jombang untuk mengetahui visi misi dan ajaran NU.  Begitu mengetahui bahwa NU memiliki kepahaman yang sama dengan masyarakat Betawi di bidang akidah Islam Ahlisunnah wal Jamaah dan setelah bermusyawarah dan meminta restu Habib Ali Al-Habsyi, Guru Marzuqi mendeklarasikan NU pada tahun 1928 di Jakarta dan ia sebagai Rais Syuriyah NU DKI Jakarta hingga wafat pada 1934.

Habib Ali Al-Habsyi lalu memerintahkan segenap murid muridnya untuk membantu perjuangan NU dan terjun langsung dalam organisasi tersebut. Murid-murid Habib Ali banyak sekali bahkan boleh disebut hampir sebagian besar ulama NU dan Betawi berguru kepada Habib Ali, di antaranya Muallim Thabrani Paseban, KH Abdul Hadi Pisangan, KH Zayadi Muhajir Klender, KH Thohir Rahili Bukit Duri, KH Abdurrazak Makmun, KH Ismail Pedurenan, KH Muhammad Naim Cipete, KH Abdul Rasyid Ramli, KH Rahmatullah Shidiq, KH M Syafi’i Hadzami, Dr KH Nahrawi Abdul Salam, dan lain-lain.

Hubungan antara Habib Ali dan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali, kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya kepada orang lain, lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umum PBNU saat itu, KH Idham Khalid yang kerap kali datang ke masjidnya. Sedangkan KH Abdullah Syafi’i yang saat itu masih muda dan gagah menjadi tokoh Partai Masyumi. Pada pemilu 1955 di Jakarta, NU dan Masyumi bersaing merebut massa pemilih. Kendati berbeda partai, hal itu tidak mempengaruhi hubungan antara guru dan murid, dan sesama murid. Ada beberapa ulama Betawi kendati bermadzhab Syafi’i dan berpaham Ahlisunnah wal Jamaah tetapi menjadi aktivis Masyumi, seperti KH Nur Ali dan lain lain.

Hubungan Habib Ali Al-Habsyi dengan para pendiri NU terjalin dengan baik. KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah jika berada di Jakarta hampir dipastikan bersilaturahmi ke rumah Habib Ali Al-Habsyi atau mengikuti pengajian Ahad pagi di Majelis Taklim Habib Ali Al-Habsyi. Silaturahmi juga dilanjutkan oleh anak dan cucu KH Hasyim Asy'ari seperti KH Wahid Hasyim yang sering berkunjung ke Kwitang dengan mengajak anaknya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang masih kecil saat itu. Bahkan Gus Dur saat kecil sempat "ngalap berkah" dengan membaca dan mengkhatamkan beberapa kitab kecil di hadapan Habib Ali dan disaksikan oleh ayah Gus Dur,  KH Wahid Hasyim. Maka tak heran ketika menjadi Presiden RI, Gus Dur masih sering berziarah ke makam Habib Ali Al-Habsyi dan menghadiri pengajian di majelis taklim Kwitang.

Habib Ali Al-Habsyi juga sangat dekat dengan H Abdul Manaf bin H Muhammad Jabbar, tokoh NU dan pengusaha Betawi yang tinggal di Batu Tulis Jakarta Pusat. H Abdul Manaf di samping sahabat dan murid Habib Ali juga kakek dari H Fauzi Bowo, yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta dan pernah menjadi Ketua PWNU DKI Jakarta.

Pada Ahad 20 Rajab 1388 atau 13 Oktober 1968 sekitar pukul 20.45 Habib Ali Al-Habsyi wafat dalam usia 99 tahun Masehi atau 102 tahun Hijriyah. Ia dimakamkan di samping Masjid Ar-Riyad, Jalan Kembang VI, Kwitang, Jakarta Pusat. Al-Fatihah...

Sawah Besar,  Jumat, 15 Desember 2017.


*) Penulis adalah Ketua GP Ansor Jakarta Pusat