Opini SITI MUYASSAROTUL HAFIDZOH

Gus Dur dan Moralitas Pendidikan Kita

NU Online  ·  Kamis, 9 Januari 2014 | 12:00 WIB

Penghujung tahun dan awal tahun, nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu dalam ingatan kita. Haul wafatnya Gus Dur dihelat di berbagai tempat. Yang datang bukan saja para santri, melainkan semua kelompok lintas iman.
<>
Semua merasa memiliki Gus Dur, karena perjuangan Gus Dur yang tak kenal “kepentingan” kepada siapapun. Gus Dur bukan lagi milik istri dan anaknya, melainkan juga milik bangsa Indonesia. Gagasan dan perjuangan Gus Dur diberikan sepenuhnya untuk membangun Indonesia yang ia cintai.

Tentu saja, banyak sekali gagasan Gus Dur terkait bangsa ini. Salah satu gagasan pentingnya adalah soal pendidikan. Di tengah bangsa yang sedang kalut ihwal moralitas dan kualitas karakter dalam pendidikan, Gus Dur sebenarnya sudah memberikan pondasi pemikiran tentang bagaimana lembaga pendidikan mampu mencetak peserta didiknya menuju manusia yang ideal.

Bagi Gus Dur, manusia adalah ciptaan terbaik Tuhan yang bertugas menjadi khalifah dalam memakmurkan bumi ini. Karena ciptaan terbaik, maka pendidikan bagi manusia adalah langkah terbaik agar manusia merealisasikan tugas kekhalifahan yang disandangnya.

Pertama-tama, bagi Gus Dur, lembaga pendidikan harus mampu membangun basis dan pondasi. Basis itu adalah kearifan lokal. Di sini, yang dimaksud kearifan lokal oleh Gus Dur adalah nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan dalam ajaran agama. M. Sufyan Al-Nashr (2011) menjelaskan bahwa dalam bahasa Gus Dur, kearifan lokal itu disebut dengan pribumisasi Islam, di mana ajaran Islam dan tradisi lokal dijadikan sebagai landasan moral dalam nyata kehidupan.

Karena penanaman nilai-nilai moral dapat dilakukan melalui pendidikan, maka kearifan lokal (tradisi dan ajaran agama Islam) harus dijadikan ruh dalam proses pendidikan.

Di samping itu, adat istiadat dalam suatu tatanan masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma adat yang berlaku menjadi landasan moral dalam berperilaku. Mereka yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang biasanya lebih bersifat moral. Sedangkan ajaran agama sebagai pedoman hidup agar sesuai dengan tuntunan dalam kitab suci. Kearifan lokal yang terbentuk dari tradisi dan lokalitas ajaran mampu memberikan pelajaran hidup yang berguna bagi proses perkembangan kedewasaan seseorang, tentu saja melalui proses pendidikan.
 
Kurikulum yang Tepat

Untuk membangun manusia bermoral melalui pendidikan, maka kuncinya berada dalam kurikulum. Karena kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Proses pelaksanaan pendidikan berada dalam “kalender” kurikulum pendidikan. Gus Dur sadar dengan itu, sehingga ia juga merumuskan bagaimana kurikulum pendidikan mampu mengisi nilai moral bagi peserta didik. Menurut Faisol (2012), Gus Dur memiliki perspektif sendiri dalam soal kurikulum ini. Bagi Gus Dur, ada beberapa langkah bagaimana kurikulum mampu memberikan asupan ilmu dan moral.

Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam  mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).

Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik. Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building).

Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi. Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan  kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.

Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin   bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara  teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja (Faisal Akhmad: 2012).
 
Kembali kepada Populisme

Agenda besar pendidikan agar menemukan kembali hakekat moralnya adalah kembali kepada populisme. Bagi Gus Dur, pendidikan nasional kita terjebak dalam pergulatan dua pemikiran yang sulit disatukan: populisme dan elitisme. Populisme mendekatkan pendidikan kepada rakyat sehingga orientasinya untuk rakyat. Sementara elitisme berpandangan bahwa rakyat tidak tahu apa-apa, hanya kaum elite yang mempunyai ketrampilanlah yang dapat menentukan nasib suatu bangsa. Kedua hal tersebut adalah sesuatu yang seharusnya tidak terjadi karena bertentangan dengan demokrasi.

Yang seharusnya dilakukan saat ini adalah mensinergiskan elitisme dengan populisme dalam bingkai profesionalisme. Profesionalisme menurut Gus Dur berarti juga kesetiaan, serta tidak rancu dalam memahami sebab akibat, tentang arah dan pengarah. Dengan demikian, pengembangan paradigma pendidikan nasional yang benar dengan bersandar pada profesionalisme yang juga mempunyai akar-akar populis akan membuat pendidikan nasional menjadi lebih baik. Profesionalisme dalam pendidikan harus mengedepankan moralitas.

Pendidikan yang memiliki acuan moral yang benar dikaitkan dengan skill yang bagus akan mampu menghasilkan ilmuwan dan juga generasi bangsa yang hebat di masa depan.

SITI MUYASSAROTUL HAFIDZOH, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.