Opini

Gelar Pahlawan Layak bagi KH Masykur

NU Online  ·  Selasa, 22 Mei 2018 | 22:00 WIB

Gelar Pahlawan Layak bagi KH Masykur

KH Zainul Arifin dan KH Masykur sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Agama dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo (1953-1955))

Oleh: Ario Helmy

Bagi keluarga besar Pahlawan Kemerdekaan Nasional KH Zainul Arifin, pencalonan mitra pejuang dakwah, militer dan politik KH Masykur sebagai Pahlawan Nasional merupakan kabar yang sudah lama dinanti-nantikan. Kiai Masykur bahu membahu dengan Zainul Arifin berjuang lewat laskar santri Hizbullah di mana Arifin merupakan panglimanya dan laskar Kiai Sabilillah di bawah komando Kiai Masykur. Di bidang politik kedua kiai berbagi tugas dengan Kiai Masykur di lembaga eksekutif sebagai Menteri Agama dan Zainul di legislatif bermula sebagai anggota Badan Pekerja KNIP hingga menjadi Ketua DPRGR menjelang akhir hayat. 

Latihan Perang Tanah Liat

Zainul Arifin dan Kiai Masykur adalah lulusan pelatihan semi militer Hizbullah angkatan pertama di Cibarusah yang berlangsung tiga bulan lamanya awal tahun 1945 diikuti sekira 500 tokoh pemuda santri. Latihannya berdisiplin tinggi dan sangat berat. Yang diulang-ulang ialah latihan perang-perangan dengan senjata dari kayu. Selain itu juga dilatihkan teknik perang gerilya dan pembuatan bom molotov. Dilangsungkan di daerah bertanah liat pelbagai kesulitan medan dan penyakit malah menguatkan fisik dan mental baja para pesertanya. Dibekali semangat Bushido ala Jepang, rasa cinta tanah air dan semangat bela negara menggelora di antara para peserta.

Selesai pelatihan angkatan pertama, Zainul Arifin dan Masykur berpisah karena berbagi tugas. Kiai Masykur dan Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI guna mempersiapkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan Zainul Arifin selaku Panglima Hizbullah bertugas mengomandani pelatihan spiritual di Mesjid Kauman, Malang. Pasukan Santri Hizbullah digembleng kedisiplinan spiritual langsung di bawah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah dan kiai-kiai sepuh lainnya.

Sementara di BPUPKI persiapannya apabila pemindahan kekuasaan berlangsung damai, pelatihan spiritual Hizbullah di Malang siaga mengantisipasi jika peperangan harus berlangsung demi merebut kemerdekaan yang sudah di depan mata. Begitu tekun dan disiplinnya pasukan Hizbullah bertekad bulat menyiapkan diri untuk berjihad, sampai-sampai para pesertanya tidak menyadari kalau Proklamasi Kemerdekaan sudah dikumandangkan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Zainul Arifin segera kembali ke Jakarta untuk bergabung dengan tokoh-tokoh bapak bangsa lainnya. NU kemudian bergabung dengan Partai Masyumi.

Resolusi Jihad

Pembagian tugas di pusat pemerintahan terjadi lagi. Wahid Hasyim memasuki lembaga eksekutif sebagai Menteri Negara sedangkan Zainul Arifin duduk di Badan Pekerja (BP) KNIP cikal bakal Parlemen RI. Kiai Masykur kembali ke PBNU. Situasi berubah ketika Belanda mengekor Tentara Sekutu ingin kembali menjajah Republik yang baru beberapa bulan berdiri. Di pemerintahan pusat terjadi perbedaan kubu: antara yang ingin berunding dengan yang siap berperang mempertahankan kemerdekaan.

Sebagai Laskar yang paling siap berperang, Hizbullah cenderung memilih mempertahankan kemerdekaan habis-habisan di medan perang. Ini dibuktikan dengan dikerahkannya seluruh potensi pesantren untuk langsung terjun ke pertempuran dengan dibentuknya pasukan kiai-kiai pesantren Sabilillah dibawah Kiai Masykur dan pasukan Mujahidin di komandani Wahab Chasbullah. Hal ini ditempuh setelah terjadi kekisruhan di Surabaya yang mendesak KH Hasyim Asy'ari untuk mengeluarkan Resolusi Jihad pada 23 Oktober 1945.

Di tengah kebingungan pemerintah pusat yang masih merasa lemah karena belum terbentuk Tentara Nasional resmi, berlangsunglah pertempuran Surabaya 10 November yang melibatkan langsung pasukan-pasukan Hizbullah, Sabilillah dan Mujahidin dengan persenjataan apa adanya termasuk katapel.

Lahir di Pengungsian

Bahu membahu terjun langsung ke medan perang mempererat persahabatan antara Zainul Arifin dan Masykur. Di masa-masa berlangsungnya Agresi Militer I dan II kedua kiai harus bergerilya di gunung-gunung dan hutan-hutan sebagai bagian dari Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD) selama berbulan-bulan di bawah komandan Jenderal Sudirman.  KPPD merupakan bagian dari Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang dibentuk di Bukit Tinggi ketika Sukarno dan petinggi-petinggi negara lainnya ditangkap Belanda di Yogyakarta.

Dalam situasi gerilya itu, Kiai Masykur menawarkan Zainul Arifin untuk mengungsikan keluarga besarnya ke rumah keluarganya di Singosari, Malang. Ketika itu istri Zainul, Hamdanah sedang hamil besar anak kesembilan. Di saat Zainul dan Masykur bergerilya itulah Hamdanah melahirkan Siti Aisyah Maulida Arifin dengan pertolongan keluarga Masykur.  Lebih dari itu, anak perempuan Zainul Arifin yang mulai remaja Siti Lies Adawiyah harus disembunyikan di bubungan atap rumah setiap kali ada tentara sekutu yang mendatangi desa-desa mencari wanita-wanita untuk diperkosa. Keadaan begitu menekan Hamdanah Zainul Arifin tidak cukup mengeluarkan ASI bagi bayinya, atas pertolongan keluarga Kiai Masykur bayi diberi air susu kambing. 

Partai Mandiri

Ketika akhirnya Belanda mengakui kedaulatan NKRI di awal 1950, Zainul Arifin kembali bertugas di DPRS, sedangkan Kiai Masykur pun kembali ke PBNU. Keduanya merasa sangat kehilangan ketika mentor mereka Wahid Hasyim wafat karena kecelakaan lalu lintas pada 19 April 1953. Padahal sebelumnya NU sudah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik terpisah yang mandiri. Masykur masuk ke dalam Kabinet menggantikan Kiai Wahid. Zainul sendiri akhirnya memangku jabatan wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I selama 1953-1955 dimana Kiai Masykur menjadi Menteri Agama.

Kabinet ini menjadi pusat perhatian dunia ketika berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Usai konferensi, Arifin dan Masykur ikut rombongan Presiden Sukarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi. Di Tanah Suci, selain mendampingi Sukarno beraudiensi ke Raja Abdul Aziz, Zainul Arifin dan Masykur diterima wakil perdana menteri Arab Saudi, Pangeran Faisal di istananya di Riyadh sebagai Waperdam dan Menteri Agama.

Pemilu Perdana

Presiden Sukarno sempat memanggil Zainul Arifin dan Kiai Masykur ke istana menjelang Pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Secara khusus Presiden meminta keduanya melakukan pendekatan khusus terhadap Pasukan DI/TII untuk tidak membuat kekacauan selama berlangsungnya pesta demokrasi itu. Kedua kiai kemudian menyebarkan selebaran dari pesawat ke segala penjuru wilayah Jawa Barat berisi imbauan untuk menjaga suasana aman dan tertib selama Pemilu. Akhirnya Pemilu berlangsung tertib, aman dan terkendali.

Zainul Arifin dan Kiai Masykur sama-sama duduk di Majelis Konstituante berdasarkan hasil Pemilu. Keduanya dengan gigih membela kubu Islam untuk membendung pengaruh komunisme dan kebatinan yang ingin menancapkan pengaruhnya lewat UUD. Sayang akhirnya terjadi deadlock dalam Majelis. NU sendiri akhirnya bergabung dengan kubu nasionalis dengan menerima Pancasila sebagai falsafah negara. Namun, suasana mencekam sudah telanjur meliputi situasi di luar sidang hingga akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD '45.

Presiden juga mencetuskan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang mendapatkan dukungan tentara. Zainul Arifin bersedia mendampingi Presiden sebagai Ketua DPRGR. Kiai Masykur kembali ke PBNU. Posisinya sebagai Menteri Agama digantikan KH Saufuddin Zuhri. Hingga akhirnya terjadi peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno ketika sedang melakukan solat Idul Adha di lapangan terbuka Istana Negara. Presiden selamat, namun peluru mengenai dada Zainul Arifin membuatnya tersungkur bersimbah darah.

Luka-luka yang dideritanya tidak pernah pulih benar hingga akhirnya sang Panglima Santri Hizbullah wafat sepuluh bulan kemudian dalam usia 53 tahun. Tinggallah mitra seperjuangannya, sang Panglima Laskar Kiai Sabilillah KH Masykur terus berjuang mengabdi negeri hingga akhirnya Masykur sendiri wafat dalam usia sangat lanjut pada 1992.

Kiai Masykur, berjuang secara militer, politik sembari berdakwah bersebelahan dengan Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI KH Zainul Arifin. Sudah selayaknya KH Masykur dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Keluarga besar KH Zainul Arifin sepenuhnya mendukung. Karena bukankah "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya?"