Oleh: Ahmad Yahya
Tantangan yang dihadapi Islam saat ini sungguh tidaklah ringan. Citra dan nama baik Islam kerap kali dipertaruhkan akibat sikap dan pemikiran keliru dari sebagian orang. Islam ialah agama pembawa kedamaian dan pembawa rahmat bagi seluruh alam (Islam rahmatan lil alamin).
Islam moderat yang didengungkan oleh banyak kalangan dan pemerintah tentunya bukan hanya sebatas konsep dan wacana belaka, akan tetapi wajib diimplementasikan di tataran kehidupan. Ia harus menjadi gerakan dengan teladan nyata dari para pemimpin, ulama, dan para cendekia bahwa Islam benar-benar mengedepankan tasamuh dan toleransi dan kejamaahan. Upaya membawa Islam sepenuhnya ke jalur wasathiyah bukanlah hal yang mudah. Selain soal pemahaman, keadilan juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan diciptakan.
Salah satu yang menyita perhatian banyak kalangan adalah generasi millenial, mereka sering menjadi perbincangan dalam segala aspek, baik dari segi pendidikan, norma-norma, kesadaran sosial, kondisi mental, termasuk ketergantungan terhadap penggunaan tekhnologi dan yang termasuk didalamnya adalah para mahasiswa di perguruan tinggi.
Problem tersebut diatas menjadi salah perbincangan hangat dari halaqah ulama beberapa waktu lalu yang diselenggarakan kerja sama Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng dengan mengangkat tema Peluang dan Tantangan Dakwah Generasi Millenial di Hotel Grasia Semarang, Jum’at (13/7).
Salah satu rekomendasi dan catatan dari halaqoh ulama tersebut yang disampaikan oleh Mantan Gubernur Jateng Ali Mufidz sekaligus Ketua Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng adalah memberikan tawaran kepada rektor perguruan tinggi se-Jateng untuk mengevaluasi kurikulum dan silabus mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pasalnya jumlah materi SKS Pendidikan Agama Islam (PAI) yang disampaikan kepada mahasiswa diperguruan tinggi sangatlah minim. Materi Al Qur’an dan Hadits dan pengetahuan Islam moderat atau Islam wasatiyyah harus juga disampaikan kepada para mahawiswa. Maksud dan tujuan dari evaluasi tersebut tidak lain hanyalah untuk mewujudkan kualitas generasi muda yang lebih religius dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (SM.14/7/18).
Hasil sidang pleno Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) 22 Desember 2006 tentang Panduan Penilaian Kelompok Agama dan Akhlak Mulia menetapkan bahwa Pendidikan Agama, termasuk PAI pada semua jenjang atau satuan pendidikan, dimaksudkan untuk peningkatan potensi atau kemampuan spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika (baik-buruk, hak-kewajiban), budi pekerti (tingkah laku), dan moral (baik-buruk menurut umum) sebagai perwujudan dari pendidikan.
Alokasi waktu Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ditetapkan sebagai salah satu mata kuliah dasar umum (MKDU) dengan bobot 2 SKS tentunya tidak dapat mengakomodir penguasaan materi secara penuh. Padahal selama ini yang diharapkan dari bobot mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut adalah: (1) Mahasiswa menguasai ajaran Islam dan menjadikan sumber nilai, pedoman dan landasan berfikir dan berperilaku dalam menerapkan ilmu dan potensi yang dijalaninya. (2). Menjadikan capital intelllectual yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia dan berkepribadian Islami (Elan Sumarna, 2009).
Tantangan selama ini yang menjadi persoalan dalam evaluasi Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah: Pertama, acap kali adanya perbedaan persepsi tentang batasan materi-materi yang tidak dapat dievaluasi seperti keimanan, kendati sesungguhnya Al-Qur’an telah mengisyaratkan karakter orang-orang yang beriman. Kedua, perumusan Pendidikan Agama Islam (PAI) terlalu ideal dan terkesan kurang jelas sehingga sulit diukur keberhasilannya. Hal ini dapat dipahami karena secara psikologis umumnya orang masih menganggap bahwa agama adalah ajaran 'ideal' dan universal dan memang bagaimanapun agama adalah ajaran ideal dan universal, minimal bagi pemeluknya. Namun disisi lain, pandangan idealitas dan universalitas ini menjadi tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi terlalu ideal dan terlalu luas.
Ketiga, secara umum masih ditemukan persoalan klasik yaitu pengajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di perguruan tinggi yang berfikir ekstrim, memahami agama hanya sebatas teks saja (tekstual), bukan kontekstual, maka dari itu sejumlah kejadian aksi terosisme di Indonesia tidak lepas ditemukannya fakta paham radikal yang berembrio lewat kampus.
Menurut penulis, apa yang tawarkan oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng menjadi catatan penting dan sebuah solusi untuk mewujudkan Islam moderat kepada generasi penerus bangsa. Salah satunya adalah dengan mengevaluasi kurikulum dan silabus PAI di perguruan tinggi. Evaluasi kurikulum merupakan salah hal penting untuk menentukan taraf kemajuan seseorang dalam memahami agama. Dan apa yang menjadi persoalan bagi bangsa dan negara atas munculnya paham radikal setidaknya dapat diminimalis serta terwujud generasi Muslim yang memahami Islam secara moderat, dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penulis adalah peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Sosial Masyarakat IMAN Institute. Tinggal di Kota Semarang.