Opini

Embrio Konflik Politik dalam Tubuh Umat Islam

NU Online  ·  Ahad, 1 April 2018 | 16:00 WIB

Embrio Konflik Politik dalam Tubuh Umat Islam

Ilustrasi (bing.com)

oleh: KH Nurul Huda

Segera setelah Rasulullah wafat, umat berkumpul di Tsaqifah Bani Sa'idah untuk menentukan siapa pemimpin setelah kemangkatan Sang Nabi. Tak perduli meskipun jenazah suci Sang Nabi melebihi dua hari belum dikebumikan.

Ketika itu, semua golongan merasa paling cocok memimpin, ragam argumentasi diajukan. Hadits 'al-aimmatu min quraisy', mengemuka. Pemimpin itu harus dari suku Quraisy. Membuat orang-orang Anshar Madinah ciut. Siapa yang berani membantah Sabda Nabi?"  

Sementara dari kalangan Quraisy juga muncul banyak kandidat. Sehingga, Umar ibn Khattab memutus perselisihan dengan membai'at Abu Bakar Ash-Siddiq. Semua menerima ketegasan Umar, tapi bibit perselisihan telah dimulai. Hanya tinggal menunggu waktu, kapan bom perpecahan itu meledak.

Pada saat yang sama, perselisihan di bidang tafsir dan hukum juga mulai menemukan momentumnya. Bagaimana tidak? Dulu, saat Rasulullah masih hidup, semua perselisihan diselesaikan oleh jawaban Nabi, sebab sabda beliau adalah risalah yang diwahyukan. 

Tapi  saat Nabi telah tiada, siapa penerjemah wahyu? Siapa pemegang otoritas tunggal atas wahyu? Bahkan, saat gagasan pengumpulan mushaf al-Quran diajukan, sehingga kemudian memunculkan mushaf induk (Mushaf 'Utsmani), merupakan kebijakan politis dengan sebuah langkah berani. 

Mengumpulkan semua mushaf yang ada, memusnahkan yang lain dan menyisakan satu sebagai mushaf induk. Ini benar-benar kebijakan yang fakta historisnya telah menutup peluang mushaf lain untuk dibaca oleh ummat Rasulullah
 
Lalu, bom waktu yang ditakutkan meledak juga, Khalifah Utsman harus menghadapi gelombang kudeta yang berujung dengan kematian. Jala persaudaraan telah robek besar, kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib menantu Rasulullah yang amanah penuh kearifan tak menghentikan kebencian dan kedengkian sebagian umat. 

Kelompok Muawiyah Ibn Abi Sofyan menjalani rencana busuk kudeta dengan perang shiffin, peperangan berakhir dengan kelicikan yang masih tersimpan dan terdokumentasi dengan sangat rapi dalam buku siroh. 

Umat segera terbagi menjadi tiga; kelompok pendukung Ali (Syi'ah 'Ali), pendukung Mu'awiyah (Syi'ah Mu'awiyah) dan Khawarij (yang keluar dari dua kelompok di atas). Fitnah Besar yang telah dimulai sejak Tsaqifah Bani Sa'idah menemukan momentumnya pasca Perang Shiffin.

Kasus arbitrase hasil kelicikan Amr bin 'Ash berbuntut panjang bukan hanya pada soal khilafah (kepemimpinan) tapi juga memasuki babak baru konflik di bidang ilmu kalam. Perdebatan mengenai batasan Muslim, Mukmin, Fasiq dan Kafir segera dimulai. 

Lalu di mana Amerika dan Israel saat itu? Di mana negara-negara Barat? 

Saat itu, janinnya Amerika dan Israel belum muncul ke permukaan. Meski sebagian muslim lain ada yg tetap keukeh mensimplifikasi bahwa Israel adalah Yahudi dan Amerika adalah Kristen.

Fakta bahwa ada sebagian kaum muslimin berfikir dan bertindak radikal, tak dapat dibantah. Hal tersebut merupakan konflik internal yang berusia sangat panjang. Hanya kebesaran hati untuk dapat menerima perbedaan yang bisa kita harapkan merajut kembali jala persaudaraan yang telah robek.

Kelompok Islam yang arogan mau menang sendiri dan kerap menyesatkan saudaranya yang lain tidak akan pernah jadi pemenang, fenomena mengkafirkan sepertinya tidak akan selesai besok pagi. Orang-orang yang memaksakan keyakinan mereka pun tidak akan pernah habis, mereka bahkan telah melembaga. Namun percayalah, mereka tidak akan pernah menjadi mayoritas.  

Menyatukan umat Islam dalam satu barisan laksana menegakkan benang basah, sebab masing-masing kelompok telah sangat lama bertikai dengan pembenaran teologis yang tidak akan pernah selesai. Keyakinan yang mengurat-akar apalagi telah terwariskan ke sekian generasi, akan menjadi 'agama baru' yang terus dibelanya.

Padahal Islam sendiri tak butuh pembelaan, ia sudah tinggi dan mulia, kesalehan sebuah golongan tidak mempengaruhi kemuliaan Islam, kemungkaran sebuah golongan juga tidak akan menghancurkan Islam. Al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih; Islam senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli. 

Pembelaan yang harus dilakukan seharusnya pada bentuk-bentuk pembumian nilai-nilai Islam yang peduli pada kemanusiaan, aplikasi nilai pelayanan, manifestasi kekhalifahan yang menyuarakan perdamaian dan keanggunan akhlaq Islam.


Penulis adalah pembimbing jama'ah umroh Rindu Haromain