Oleh Victor Rembeth
"Allahumma la tusallith ‘alaina bidzunubina man laa yakhafuka walaa yarhamunaa.” Demikianlah ajakan doa yang dinyatakan KH Said Aqil Siroj untuk menghadapai Pilkada serentak 15 Februari 2017. Doa tersebut berarti, “Ya, Allah, ya, Tuhan kami, jangan kuasakan atas kami, karena kesalahan-kesalahan kami, penguasa yang tak ‘takut kepada-Mu’ dan tak ‘berbelas kasihan’ kepada kami.”
Doa tersebut sangat relevan untuk memberi amunisi spiritual kepada siapa pun. Doa Ketua Umum PBNU dan seluruh Nahdliyin ini menjadi acuan yang pas bagi seluruh anak bangsa untuk sebuah kebaikan bersama kebangsaaan.
Dalam doa itu jelas harapan untuk memilih pemimpin yang tepat untuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara bangsa. Harapan doa yang pertama adalah sebuah keharusan bagi pemimpin untuk ‘takut kepada Tuhan’ yang maha kuasa. Hubungan vertikal kepada sang pencipta ini memang sulit untuk dicarikan indikatornya. Kerajinan melakukan ritual-ritual ibadah dan tebar pesona kesalehan tidak selalu menghasilkan spiritulitas yang benar dalam hubungan Tuhan-manusia.
Malah tak jarang mereka yang terlihat luar biasa beragama, namun terjebak dalam kasus-kasus yang sangat berlawanan dengan tontonan kesucian yang dilakukan dalam keseharian. Ini sudah tentu berlaku pada semua pengikut agama.
Ironisnya, malah orang bisa tidak lagi ‘takut akan Tuhan’ ketika dengan mudah memakai sumberdaya yang dianugerahkan sang Pencipta untuk merugikan orang lain. Yang kerap terjadi adalah bukan lagi pencucian uang (money laundering), tetapi malah usaha pencucian dosa (sin laundering), dengan menggunakan uang dan materi yang didapat dengan tidak halal untuk, maaf, menyuap Tuhan.
Kendati kita semua yakin bahwa usaha ini sia-sia, namun yang terlihat di mata manusia adalah peragaan kebaikan dan kedermawanan dimana hanya yang bersangkutan tahu bahwa ia mendapatkannya dengan cara menentang kehendak Tuhan. Takut akan Tuhan adalah sebuah niatan, usaha dan perilaku hidup yang berusaha menjaga komunikasi dengan Yang Maha Kuasa sehingga tidak gegabah melakukan tindakan ritual menjadi kosong tanpa menjaga komitmen untuk taat dan patuh kepada-Nya. Pemimpin dengan kualitas seperti inilah yang pasti diharapkan dalam doa ini.
Harapan kedua adalah ketika doa dilantunkan untuk pemimpin yang ‘berbelas kasihan’ kepada warganya. Sebuah harapan yang sangat mulia untuk bisa memilih seorang pemimpin yang tidak keblinger hanya mementingkan kepentingan golongannya, kelompoknya, keluarganya apalagi dirinya sendiri. ‘Belas kasihan’ adalah panggilan hati yang berusaha melihat semua orang tidak menjadi korban dalam berbagai pengambilan keputusan sang pemimpin. Idealnya ketika ia menjadi pemimpin, ia tidak lagi melulu berpikir kelompoknya atau keluarganya saja, tetapi mampu menjadi pengayom bagi semua tidak terkecual.
Nah, dalam hal inilah doa ini menjadi sangat relevan, ketika justru sudah banyak contoh kasus pemimpin yang “kejeblos” menjadi maruk mengutamakan niatan jahat untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Apalagi diimbuhi kepentingan politik, maka menghalalkan segala cara untuk menjaga kekuasaannya, sang pemimpin bukan saja lupa diri, tetapi dilupakan melihat orang lain sebagai warganya untuk penumpukan kekayaan, kuasa dan pengaruh.
Berbelas kasihan kepada sesama apalagi kepada warga yang dipimpinnya adalah nilai luhur kemanusiaan. Dengan modal ini, seorang akan melihat manusia lain sebagai teman seperjalanan dalam kehidupan. Semua perbedaan yang ada karena takdir, bisa dengan manis dikurangi karena tangisan manusia lain seberapa pun berbedanya adalah tangisan ke”sesama”an. Kesamaan demi kesamaan inilah yang membuat seorang pemimpin bisa bijak memanusiakan manusia lain.
Ketika pembedaan semakin keras membuat manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya dalam persaingan tribalisme akut, maka belas kasihan akan menjadikan pemimpin sadar bahwa, idealnya ia harus bisa memperhatikan setiap manusia dengan bela rasa yang kental untuk menguatkan dan menerima. Memartabatkan manusia lain haruslah menjadi prioritas utama seorang pemimpin yang diharapkan oleh doa tulus ala Nahdliyin ini. Indonesia yang dikembalikan kepada “khittah” Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda harus disatukan karena belas kasihan.
Menariknya yang kita hormati Kiai Said Aqil Siroj sebagai representasi resmi Nahdliyin mengkaitkan ulasannya per 10 Februari 2017 ini dengan semangat NU yang ingin memproduksi diskursus Nusantara sebagai ijtihad tiada henti. Ketika ia mengutip Gus Mus dengan menyatakan, ”Warga NU itu orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia”, ia kembali menegaskan bahwa ada aspek keindonesiaan yang tidak bisa ditinggal tanggalkan dalam keagamaan manusia Indonesia. Ruh keindonesiaan ini dimulai dari Islam dan perlu juga dielaborasi dan dihidupi oleh semua agama tidak terkecuali. Kita Indonesia menjadi pemersatu dalam upaya-upaya menggunakan hak pilih siapa pun sebagai pribadi, tapi sekaligus juga harus dihidupi oleh siapa pun pemimpin yang terpilih.
Ketegasannya ia nyatakan dengan lantang kepada siapa pun yang tidak menghidupi empat pilar PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45) untuk, “Kalau tetap ngotot ya cari negara atau planet lain. Jangan di Indonesia.”
Sungguh sebuah representasi keislaman yang ‘kaffah’ disandingkan dengan keIndonesiaan yang utuh disajikan dalam komunikasi publik menjelang Pilkada dengan judul “Ketua Umum PBNU: Warga NU silakan pilih nomor berapa saja, asal bertanggung jawab”. Sebagai organisasi masa terbesar di negara ini, imbauan dan ajakan yang didasari doa tulus ini menolong setiap anak bangsa menggunakan hak pribadinya sebagai warga negara untuk tidak terjebak kepada sentimen apa pun selain niatan tulus untuk menghidupi semangat kebangsaan.
Hingar-bingar Pilkada dalam pertarungan publik di dunia nyata maupun maya yang terbelah dengan menggunakan sentimen-sentimen sektarian, bahkan juga memakai umat Nahdliyin atau umat beragama apa pun, baginya harus dikembalikan kepada marwah kebangsaan, yaitu kewajiban konstitusi. Kewajiban konstitusi untuk memilih dan dipilih adalah hak pribadi yang sederhana dan mendasar sekali. Ajakan kepada warga NU ini pasti sangat tepat diberikan kepada siapa pun anak bangsa yang hidup untuk berkebangsaaan dalam upaya-upaya muamalah bersama untuk kebaikan. Kembali Islam dan pengaruh baiknya hadir di jagat raya kali ini dalam Negara Bangsa Republik Indonesia.
Pada saat panutan semakin sulit dicari, kebingungan menjadi gorengan para politisi buruk dan fitnah bertebaran dimana-mana untuk menghalalkan segala cara bagi kemenangan berkekuasaan, terang ajakan memilih yang memakai hak pribadi ini sangatlah mencerahkan sekaligus melegakan.
Bagi NU kehati-hatian untuk tidak bidzunubina (sebab kesalahan kami), karena pemilih yang asal pilih karena hal-hal lain selain kemaslahatan bersama dan kebaikan bangsa akan juga memilih pemimpin yang ngawur. Semua elemen bangsa kembali diingatkan oleh kearifan Islam Indonesia dalam wujud Nahdlatul Ulama dengan santun untuk menggunakan hak pilih. Indonesia kembali diberikan hadiah bernilai untuk tetap melanjutkan kehidupan kebangsaan. Hati nurani setiap pemangku kepentingan disegarkan dan diraih kembali untuk menyatu sebisa mungkin kendati masih bisa berbeda dengan pilihan.
Kita semua bisa bersepakat bahwa doa NU adalah doa Indonesia. Doa ini tepat waktu dan tepat sasaran untuk menghadirkan Indonesia yang bermartabat, pilihan yang sehat, kewargaan yang menghormati kebinekaan dan hati nurani yang dicerahkan untuk tidak salah memilih.
Terima kasih Nahdatul Ulama, teruslah mengislamkan Indonesia dengan Islam kebangsaan yang santun dan memartabatkan. Panggilan Rahmatan lil 'Alamin sedang terus berkarya dalam kebaikan untuk kejayaan Indonesia Raya.
Selamat memilih Indonesia, tanpa rasa takut, dengan nurani. Tinggalkan kebencian dan fitnah untuk kebersamaan.
Penulis adalah Rohaniawan Kristen, Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI)
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua