Opini

Dilema Kewajiban Memilih Pemimpin dan Menjaga Jiwa di Tengah Pandemi

Jum, 30 Oktober 2020 | 06:00 WIB

Dilema Kewajiban Memilih Pemimpin dan Menjaga Jiwa di Tengah Pandemi

Ilustrasi virus corona (Covid-19). (Foto: NU Online)

Oleh Riswadi


Pandemi covid-19 masih belum berakhir, bahkan semakin hari mengalami pasang surut pasien terkonfirmasi positif. Penambahannya perhari pada kisaran 4.000 s.d. 4.500 orang. Begitu juga jumlah yang mengalami sembuh maupun yang menjadi korban kematian. 


Keputusan KPU bersama pemerintah, Pilkada serentak akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yakni 9 Desember 2020. Walaupun desakan dan tekanan dari berbagai pihak untuk penundaan. Adakah formulasi baru penyelenggaraan Pilkada serentak agar dapat menjamin ketakutan dan kekhawatiran masyarakat dari penularan covid-19 saat pemungutan suara?


Sebagai contoh, kekhawatiran tersebut secara terbuka disampaikan tokoh nasional Azyumardi Azra melalui akun Twitternya @Prof_Azyumardi, beliau memutuskan untuk golput demi alasan kemanusiaan. “Saya golput Pilkada 9 Desember 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah korona atau terinfeksi Covid-19,” tegas Azra. 


Kekhawatiran dan ketakutan calon pemilih terhadap penularan covid-19 selalu menghantui, namun disisi lain dalam memilih pemimpin juga kewajiban bagi seorang yang beragama. Saat inilah sikap dilematis antara “takut mati” atau “takut dosa”, akankah ada fatwa organisasi agama yang akan dikeluarkan untuk menjadi pedoman umat. 


Agama Islam menjelaskan terkait memilih pemimpin, dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Imam al-Mawardi yang dikutip oleh Syamsul Yakin (2020) bahwa kepemimpinan adalah suatu tema yang bertujuan menggantikan kenabian. Fungsi dari kepemimpinan adalah menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Dengan demikian mengangkat pemimpin untuk penduduk yang tinggal dalam satu negara hukumnya wajib berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama.


Rasulullah SAW juga menegaskan dalam sabdanya: “JIka ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin nya.” (HR. Abu Dawud dan Abu Hurairah).


Jelas sekali bahwa Rasulullah SAW memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya memilih seorang pemimpin, dalam kelompok kecil saja diperintahkan untuk memilih salah seorang pemimpin, apalagi dalam lingkup desa/kelurahan, kabupaten/kota, gubernur dan pemimpin negara.


Termasuk juga pemimpin dalam keluarga dan diri sendiri sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “setiap diri adalah seorang pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”


Bayangkan, apabila dalam suatu daerah tidak ada pemimpinnya maka akan terjadi kekacauan, tidak ada pengaturan dalam pembangunan dan sosial, serta tidak ada pengambil keputusan apabila terjadi permasalahan di masyarakat.

 

Bahkan, ‘hukum rimba’ bisa saja berlaku kalau tidak ada yang mengatur jalannya pemerintahan. Maka dalam hadits lain Rasulullah SAW. menegaskan, “Tidak halal (dibenarkan) bagi tiga muslim yang berdiam disuatu tempat, kecuali apabila mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud)


Dengan adanya kepemimpinan masyarakat merasa aman, tenteram, dan damai serta dapat menjalankan perintah Allah swt. bekerja, belajar, beribadah dan aktivitas lainnya. Begitu pentingnya peran seorang pemimpin dalam menjamin keselamatan, ketenangan dan kesejahteraan rakyatnya. Betul saja Imam Ghazali menyatakan bahwa ada empat syarat dalam memilih pemimpin.


Pertama, najdat (memiliki cukup kekuatan dan berwibawa). Kedua, kifayah (memiliki kemampuan dalam menyelasaikan segala persolan). Ketiga, wara’ (tutur kata, perilaku selalu berhati-hati dan menjaga etika, akhlaq dan moral). Keempat, ilmu (memiliki keluasan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu pemerintahan).


Oleh karena itu, sebagai muslim sejati memilih pemimpin wajib hukumnya dalam kerangka untuk menjamin kesejahteraan umat, keamanan daerah, dan dalam rangka ketenangan dan kedamaian menjalankan syariat agama.


Namun sebagai pemilih, untuk memastikan calon pemimpin yang akan dipilih memiliki syarat tersebut tentu harus melalui uji publik dan track record (rekam jejak) yang baik. Sehingga tidak “membeli kucing dalam karung”. Asal pilih, asal coblos, atau asal ‘nomer piro wani piro’ (NPWP: nomor berapa berani bayar berapa). Kalau sudah seperti itu maka rusaklah demokrasi kita. 


Di sisi lain, Islam juga mengajarkan bahwa memelihara, menjaga dan mempertahankan jiwa atau nyawa juga wajib. Salah satu dari maqashidus syariah adalah hifdzun nafs (memelihara jiwa). Kewajiban menjaga jiwa ini merupakan kewajiban yang mendasar dalam perwujudan akidah seorang muslim. Karena sebagai hamba dituntut untuk ikhtiar (usaha) dalam menjaga kehormatan diri dan keluarga. Apabila tidak ada jaminan aman dari penyelenggara pemilu terkait penularan covid-19 maka kita perlu mempertimbangkan untuk datang ke TPS.


Contoh nyata sudah kita ketahui bersama, anggota KPU, Panwas, dan penyelenggara pemilu ditingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan di kecamatan dan desa ada yang dinyatakan  positif covid-19 oleh pihak yang berkompeten. Dan yang mengejutkan ada beberapa calon kepala daerah yang meninggal dunia akibat keganasan covid-19. Kalau tetap akan dilaksanakan sebagaimana jadwal, sudahkah diantisipasi model dan pola pemilihan yang aman dari penularan covid-19.


Skenario apa yang disiapkan penyelenggara pemilu, apabila petugas PPK, PPS dan Panwas saat pelaksanaan tanggal 9 Desember 2020 secara massif menjalani isolasi mandiri bahkan ada yang menjadi korban meninggal saat hari pemungutan suara. Atau adakah perbedaan pelaksanaan pemungutan suara antara zona hitam, merah, kuning dan hijau. Menurut hemat penulis perlu disiapkan opsi-opsi yang terencana dan keamanan yang tinggi. Mumpung masih ada waktu dalam mempersiapkan sebelum hari pemungutan.


Kalau perlu di zona hitam dan merah diantar ke rumah-rumah pemilih agar lebih aman dari pengumpulan massa dalam jumlah yang banyak. Atau undangannya dibuat shift (dibedakan jamnya). Bahkan kalau perlu dipecah menjadi dua TPS agar mengurangi jumlah pemilih di tempat tersebut. walaupun secara anggaran pasti akan membengkak. Atau disiapkan kaos tangan plastik sekali pakai bagi pemilih, hanya saja seperti apa tinta celupnya. Dilema memang.


Penulis yakin penyelenggara mengalami “dilema” dan calon pemilih juga “dilema” antara ‘takut dosa’ dan ‘takut mati’.


Ibadah yang wajib atau seharusnya dilaksanakan di rumah ibadah saja boleh “dialihkan atau digantikan” di rumah, masak pilkada nggak boleh. Atau kalau perlu sholat istikharah antara memilih pemimpin saat pilkada serentak atau menjaga jiwa diri dan keluarga serta masyarakat dari potensi penularan covid-19 saat pemungutan suara. 


Adakah fatwa saat pemungutan suara untuk masing-masing zona, atau bahkan tidak wajib bagi yang berada di zona hitam dan merah. Sebagaimana beribadah di rumah ibadah. Kita tunggu.

 

 

Penulis adalah Dosen di IAIN Samarinda, tinggal di Loa Janan Kutai Kartanegara