Opini

Dialektika Seorang Gus

NU Online  ·  Ahad, 31 Juli 2016 | 06:00 WIB

Oleh Muh Shodiq Masrur

“Gus, aku ingin bercerita tentang bangsa yang dulu pernah disebut sebagai bangsa yang santun dan ramah dalam figur macan Asia,” ungkapku sambil membungkukkan badan.

“Silakan, Nak. Dengan senang hati telinga ini aku persembahkan untukmu, anak muda.”

“Sebenarnya begini, Gus. Aku bangga dilahirkan di Indonesia. Semua bangsa lain aku rasa tak sekaya dan beragam seperti kita. Tapi bangsaku punya kekayaan seperti itu. Dalam segi penamaan saja sudah banyak perdebatan.

Banyak yang menyebutkan bangsa Indonesia adalah kawasan Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang). Itu juga hanya penyebutan dari bangsa India. Beda halnya penamaan dari bangsa Arab dengan penyebutan kawasan Jaza’ir Al-Jawi. Sedangkan penamaan kepulauan Hindia itu sebutan dari bangsa Eropa.

“Terus, ada masalah dengan itu, Nak?”

“Sebentar, Gus. Aku belum selesai bercerita.”

“Panjenengan pasti tahu Gus. Dari sebagian masyarakat pribumi di sana, tentunya ada yang belum mengenal bangsanya. Ada pula barangkali yang lupa dengan warna benderanya sendiri. Dan ada juga lho, Gus, yang menghina lambang negara kita; Pancasila. Itu yang bikin aku prihatin. Sebabnya kenapa, Gus?”

“Itu minat bacanya kurang, Nak! Sampean tahu kan, orang pribumi itu daya minat bacanya kurang sekali. Seperti orang-orang yang seusia sampean juga malas untuk baca."

“Gitu, Gus? Tapi kok aneh ya...”

“Namanya juga panggung sandiwara, Nak. Tapi sampean perlu ingat, bagi siapa saja yang usianya sudah terbilang tidak muda lagi, apalagi yang sudah berstatus orang tua, mbok ya sekali-kali ngaca dan mbaca. Siapa tahu ada beberapa kabel putus di dalam kepala yang menyebabkan kedewasaan serta kebijaksanaan itu tidak bisa berfungsi sebagai mestinya."

“Benar juga, Gus. Kemarin paman kita, Anies Baswedan, pernah menyatakan begitu juga. Bahwa masyarakat pribumi sangat kurang minat bacanya dibandingkan dengan negara-negara lain. Itu pun tidak bisa menyalahkan pemerintah. Dari segi mana ingin menunjuk pemerintah sebagai kambing hitam. Di pusat kota pun sudah disediakan perpustakaan yang cukup besar. Itu pun dilengkapi dengan fasilitas umum untuk memanjakan pengunjung. Apalagi koleksi bukunya. Jangan ditanya. Sama halnya dengan punya panjenengan Gus.”

“Perlu disayangkan pula. Sudah minat bacanya kurang. Masyarakat pribumi masih saja suka berkomentar yang tidak jelas. Sial!”

“Nak, tenanglah. Ternyata sampean baru tahu. Bangsa kita lebih pandai dalam memainkan peran sebagai komentator di panggung kehidupan”

“Dengan perihal semacam itu? Gus...”

“Iya! Anak muda.”

“Itu semua hasil warisan nenek moyang bangsa kita, Nak.”

Yang tidak pernah mewariskan budaya membaca. Mudahnya begini; dulu yang ada masyarakat pribumi sudah terbiasa mendengar berbagai dongeng secara lisan yang diceritakan oleh orang tua. Sehingga tidak ada kebiasaan membaca.

“Ooh! Gitu tho Gus...”

“Pantes saja! Masyarakat pribumi mudah tersulut emosi. Mereka gampang untuk dihasut sama pihak yang punya kepentingan atas nama rakyat ataupun agama.”

Belum tahu duduk perkaranya, sudah seenaknya menyalahkan golongan lain atau yang lebih parah; menganggap dirinya paling benar. Seakan baru dapat kabar kebenaran dari Tuhan. Padahal jarang baca!

“Bagi aku itu konyol! Gus...”

“Yha! Namanya juga lagi memainkan peran, Nak”

Biar kelihatan seru saja untuk dipandang. Agar para penonton tidak bosan dalam menjalani hidup di panggung permainan sandiwara.

“Lho? Gus...”

“Jangan kaget, anak muda! Sebenarnya mereka tahu; setiap agama itu benar menurut penganutnya. Karena jika tidak benar, tentunya tidak akan ada yang memeluknya. Hanya saja yang sering jadi masalah itu terkadang kita lebih sering seperti kanak-kanak yang tengah saling berebut benar dengan perkelahian. Itu saja sebenarnya, Nak.”

“Sampean perlu tahu, Nak! Sebenarnya agama kita mempunyai tiga pilar ibadah. Salah satunya adalah cinta. Maka kita harus berusaha membiasakan diri, beribadah dengan rasa cinta. Karena Tuhan menciptakan bumi dengan Mahabbah.”

“Yhaa! Ujung-ujungnya perihal cinta juga, Gus”

“Dasar anak muda! Sebenarnya penamaan kata cinta itu sesuatu yang sangat agung dan sama sekali bukan suatu perkara yang bisa dibikin main-main. Sebab cinta telah setua usia bumi ini. Atau barangkali lebih tua, seperti Tuhan kita sebagai dzat terdahulu "al-waduud" yang berasal dari kata al-wudd yaitu al-hubb (cinta).

“Gus? Panjenengan baper,” ucapku sambil tersenyum simpul.

“Husss! Sampean itu.”

“Maaf, Gus,” sahutku dalam percakapan sambil megang tengguk kepala.

“Dibawa nyantai saja anak muda! Saya sudah tak cukup muda untuk mudah marah hanya persoalan yang sepele itu”

“Siap! Gus.”

“Lantas? Aku harus bersikap yang bagaimana untuk menanggapi persoalan yang semacam tadi biar adanya rasa saling toleransi secara humanisme.”

“Ya! Diingat-ingat saja. Tutur kata yang dulu pernah disampaikan oleh Simbah kita; Mustofa Bisri. Beliau dulu menyampaikan bahwa beragama sebenarnya sudah sesuai dengan kebiasaan masyarakat pribumi.”

“Mudahnya begini anak muda! Biar gampang dipahami oleh sampean; misalnya soal hormat kepada tetangga, menghormati orang yang lebih tua maupun hormat kepada yang muda. Perihal semacam itulah cara beragama biar tidak salah jalur.”

“Hal yang semacam itu punya tujuan apa buat Tuhan, Gus?”

“Itu anak muda. Tujuan yang tidak lain hanya untuk menyenangkan Tuhan. Dengan seorang ‘abd (hamba) memahami hasil ciptaan-Nya itu berarti sama pula dengan mengenal Tuhan.”

“Aku masih bingung dengan pemaparan panjenengan, Gus.”

“Namun dari apa yang aku baca dari beberapa sumber, Gus. Sebenarnya beragama secara doktrin saja belum cukup. Ada sisi-sisi yang harus diterima secara rasional. Hanya saja kita yang harus membiasakan diri dengan banyak baca biar kesannya tidak terlalu egois dalam menyikapi perbedaan di setiap agama,” sahut aku untuk meyakinkan.

“Atau bisa dikatakan juga Gus. Mengajak masyarakat pribumi untuk lebih bijak bergama sejak dini dengan memperbanyak sumber bacaan,” ucapku kedua kalinya.

“Nah! Itu baru anak muda yang cerdas.”

Perbanyaklah sumber bacaan dari segala mata angin. Dan saya titip pesan! Jangan pernah bergeser sedikit pun penghambaan dan pengabdian sampean kepada-Nya. Sebab halaman hidup itu jauh lebih banyak dan lebih luas dari halaman buku.

“Jadi! Tidak usah sampean belagu, anak muda”

“Nggeh Gus...”

“Wejanganne Panjenengan matursuwun. Kulo nyuwun pamit undur diri”

"Tunggu! Nak"

“Dari hal itu sampean perlu tahu; dengan berakhirnya dialog itu pun hari telah berganti pagi. Beserta kopi yang mulai lengket menempel erat di bibir semut-semut hitam. Yang tak pernah tahu betapa kelamnya kehidupan anak manusia. Tanpa adanya buku bacaan yang didampingi sepiring mendoan beserta cabe-cabe yang masih muda.

Itu pun sekadar kehidupan yang berisi ketidakpastian. Dan bukankah yang berkaitan dengan semua itu, hanya berbagai kisah di antara secangkir kopi?


Penulis adalah Alumnus (Program Keagamaan) MAN 1 Surakarta. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta