Oleh Darul Qutni
Hari Santri ditujukan agar para santri pesantren yang ada di seluruh Indonesia untuk senantiasa istiqamah mencintai tanah air Indonesia, menjaga Pancasila dan NKRI. Santri bersama elemen-elemen lainnya diharapkan terus menjaga kesinambungan perjuangan melawan kolonialisme dan neo kolonialisme di negara kita. Elemen-elemen itu seperti TNI, polisi, buruh, guru, petani, dan lain-lain yang juga telah memiliki harinya masing-masing. TNI pada 5 Oktober, polisi pada 1 Juli, buruh pada 1 Mei, petani pada 24 September, guru pada tanggal 25 November, dan seterusnya hari-hari elemen bangsa lainnya.
Semangat di balik penetapan hari santri nasional adalah semangat santri untuk melawan penjajahan dan kezaliman. Karena, Hari Santri ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, yang terinspirasi dari Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'arie. Fatwa itu kemudian mendorong pergerakan dan perjuangan ribuan santri untuk bertempur dan berjihad fii sabilillah pada 10 November 1945 mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang baru seumur jagung.
Kaum santri tidak perlu meminta perannya diakui oleh negara. Karena tanpa diakui, mereka pun telah berperan. Ketaatan para santri kepada kiainya adalah bagian dari nilai ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Dan taqwa adalah menjalankan perintah Allah SWT, sirran wa alaniyatan. Sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dilihat maupun tidak dilihat orang. Diakui maupun tidak diakui orang. Dipuji maupun tidak dipuji. Para santri tetap bertempur ikhlas karena Allah SWT dalam menjalankan fatwa Jihad kyainya dan ulamanya yang menyerukan perlawanan bersenjata kepada kaum penjajah.
Karena itu jika masih ada suara yang nyinyir dan sumbang tentang hari santri, maka para santri tidak akan peduli dengan suara-suara itu. Karena pada dasarnya, para santri Indonesia memang harus eksis dan memajukan dirinya untuk melawan penjajahan gaya baru, terutama di bidang kebudayaan dan ekonomi, serta lainnya. Inilah semangat hari santri yang sebenarnya. Santri yang sejati tidak akan terjebak pada acara yang seremonial saja. Ia akan menarik penuh semangat di balik hari santri itu sendiri.
Pada dasarnya, seorang santri adalah mereka yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam konteks Indonesia, santri, diambil dari kata Shastri, yang merupakan petapa di gunung yang mengkaji kitab Suci agama Hindu. Adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, atau lebih dikenal dengan Sunan Gresik, salah satu dari Walisongo yang kemudian mengubah tradisi shastri tersebut. Ia mengganti kitab suci agama hindu dengan kitab suci al-Qur'an untuk dikaji di gunung oleh para santri. Dakwah Islam pun berjalan damai. Umat hindu pun akhirnya berbondong-bondong masuk agama Islam lewat strategi dakwah yang lembut dan adaptif terhadap budaya agama lokal tersebut. Label dan kemasannya tidak diganti, tapi isinya yang diganti. Dapat dikatakan, bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim merupakan pendiri pesantren untuk pertama kali di Indonesia sebagai strategi dakwah Islam melalui kebudayaan.
Karena itu, semangat hari santri nasional, selain vitalisasi terus-menerus kebangkitan melawan kolonialisme modern, dan meneguhkan kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat, juga vitalisasi elan untuk memperdalam ajaran Islam untuk diterapkan dan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat. Semangat untuk mencintai ilmu dan ulama' dan menahbiskan diri dalam ilmu dan pengabdian kepada Allah SWT. Tak heran, jika Fatwa Jihad dan Perang Sabilillah yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'arie yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober, membuktikan kedalaman (tabahhur) dan kemanfaatan ilmunya yang sudah nyata-nyata dirasakan penting bagi keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Dengan memperingati dan mengingatkan Hari Santri Nasional, para santri dan bangsa ini diharapkan tidak lupa dengan perjuangan dakwah Wali Songo yang menyebarkan Islam dengan damai dan berkebudayaan, tidak lupa dengan peran pesantren, tidak lupa dengan semangat ulama dan para santri nusantara, untuk mempertahankan NKRI, tidak lupa dengan ajaran para shalihin leluhurnya, tidak lupa dengan ilmunya yang harus diamalkan. Amin.
Penulis adalah Sekretaris Lembaga Ta'mir Masjid (LTM) PCNU Depok