Opini ISLAM NUSANTARA DI EROPA (6)

Dendang Shalawat di Universitas Amsterdam

NU Online  ·  Selasa, 3 April 2018 | 10:01 WIB

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Meski masih dalam suasana libur Paskah, namun hari itu suasana Universitas Amsterdam terlihat ramai. Gedung pertunjukan kampus yang berkapasitas 200-an tempat duduk penuh sesak oleh pengunjung yang mayoritas orang Indonesia.

Mereka datang dari berbagai kota di Belanda: Leiden, Utrech, Wageningen, dan sebagainya. Di antara mereka ada juga beberapa orang bule, termasuk Prof Harry A. Poeze, Prof Dr Ruard Ganzelvoort, dekan Fakultas Teheoligia Vrije University (VU), Amsterdam, dan beberapa dosen serta peneliti dari kampus.

Ini terjadi karena hari itu di universitas riset terbesar di Eropa dan tertua ketiga di Belanda (dibangun tahun 1632) ada acara Performance Arts of Religous Music Ki Ageng Ganjur sebagai rangkaian dari kegiatan Islam Nusantara Roadshow to Europe. Selain menampilkan Ki Ageng Ganjur dalam acara ini juga ada Screening Movie dan Diskusi tentang sejarah tokoh Tan Malaka dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari.

Pagelaran di Universitas Amsterdam ini dibuka oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Belandan, I Gusti Agung Wesaka Puja. Saat memberi sambutan, Duta Besar RI, menyatakan bahwa ini adalah acara yang unik dan menarik karena menggabungkan dimensi akademik dengan seni budaya, khususnya seni musik. Menurutnya musik bisa menjadi sarana komunikasi yang efektif, khususnya dalam menyebarkan Islam. Dengan cara ini Islam bisa tampil secara indah dan bisa menenbus seluruh lapisan masyarakat.

Setelah dibuka, langsung dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter. Film dokumenter yang berdurasi 30 menit itu menggambarkan perjalanan Tan Malaka waktu menuntut ilmu di Belanda. Di film tersebut ditunjukkan tempat bersejarah Tan Malaka saat belajar di Belanda, sekolah, tempat kos, perpustakaan, buku-buku dan dokumen yang terkait dengan sosok Tan Malaka.

Selesai pemutaran film dilanjutkan diskusi yang dipandu Yance Arizona, mahasiswa Ekonomi Universitas Amsterdam, dengan narasumber Prof Poeze, ahli Tan Malaka dan Aminudin Siregar (Ucok), mahasiswa S3 Sejarah Seni Rupa Universitas Amsterdam yang juga Ketua Lesbumi PCINU Belanda.

Pemikiran penting yang muncul dalam diskusi ini di antaranya pelunya menggali pemikiran keislaman Tan Malaka karena menurut Poeze Tan Malaka pernah menyetakan dirinya sebagai Muslim. Yang dia tolak dari agama adalah mistisismenya karena bisa membuat manusia terjebak dalam sikap irrasional. Penggalian keislaman Tan Malaka bukan untuk klaim sebagaimana yang terjadi pada Gadjah Mada atau Brawijaya yang justru bisa menjadi alat legitimasi kaum islamist.

Sebaliknya, penggalian keislaman Tan Malaka justru dimaksudkan untuk menunjukkan wajah lain Islam melalui pemikiran dan sikap kritis dalam menghadapi kedzaliman. Islam yang tidak terpenjara oleh teks dan simbol, tidak terjebak dalam ritus dan formalisme ibadah. Penggalian pemikiran dan sikap keislaman Tan Malaka akan bisa menjadi counter atas gerakan kaum Islamis puritan yang suka main klaim atas keislaman para tokoh hanya sekadar untuk melegitimasi gerakan mereka.

Dalam film dokumenter kedua dipaparkan biografi Mbah Hasyim, mulai genealogi biologis, sosiologis sampai sanad keilmuan, kiprah perjuangan dan pergerakannya baik di dunia politik maupun pendidikan keagamaan (pesantren). Pagi para peneliti dan akademisi, fim yang berdurasi 1 jam ini sangat menarik karena kaya daya dan informasi. Namun cukup membosankan bila untuk hiburan.

Diskusi membahas film ini dipandu oleh Abdul Karim dengan narasumber Syahril dan saya. Sebagai mahasiswa S3 yang sedang meneliti wajah Islam dalam film Indonesia, Syahril menjelaskan ada pergeseran tampilan wajah Islam dalam film Indonesia sebelum dan sesudah reformasi.

Sebelum reformasi wajah Islam ditampilkan hanya menjadi pengusir hantu dengan gambaran yang mustis. Pasca reformasi wajah Islam lebih beragam, mulai yang simbolik formal dengan tampilan yang glamour sampai yang historis kritis seperti film Sang Kiai, Sang Pencerah termasuk film dokumenter yang diputar kali ini

Saya menjelaskan paling tidak ada empat hal penting yang bisa dicatat dari film dukumenter Mbah Hasyim; pertama, teritegrasikannya Islam dengan faham kebangsaan, artinya hubungan Islam dan kebangsaan sudah selesai. Kedua, adanya kontektualisasi makna Jihad, di mana membela dan mempertahankan tanah air agar umat Islam bisa menjalankan syariatnya dengan tenang menjadi bagian dari jihad. Inilah yang melahirkan semboyan hubbul wathan minal iman, NKRI, dan Pancasila harga mati.

Ketiga, menjelaskan peran dan pengorbanan para kyai dan santri dalam mempertahankan dan membela NKRI, merawat kebinekaan dan menjaga persatuan. Keempat, film ini menujukkan nilai-nilai dasar Islam Nusantara yaitu toleran (tasamuh), tawazun (seimbang) dan tawassuth (moderat) dalam melakukan amar makruf nahi munkar.

Selain itu, saya melalui film ini menjelaskan bahwa terlihat ciri-ciri utama Islam Nusantara yaitu, mengutamakan kearifan (hikmah/wisdom) daripada tuntutan syariah yang legal formal; menggunakan madzhab dalam memahami Islam; menggunakan tradisi dan budaya sebaga alat (washilah) dan metode (manhaj) dalam mengajarkan Islam dan menjaga sanad keilmuan secara ketat dan jelas.

Dalam penampilannya, Ki Ageng Ganjur membawakan lagu-lagu shalawat dengan berbagai bentuk aransemen: rock, jazz, qasidah dengan sentuhan etnik yang menarik. Penampilan kali ini cukup memukau para penonton yang memenuhi gedung teater Universitas Amsterdam. Lagu-lagu dan tata musik yang ditampilkan tidak saja enak dinikmati tetapi mampu menyentuh emosi. Hal ini dibuktikan dengan antusias penonton dalam merespon setiap lagu yang dinyanyikan.

Suasana mendadak pecah ketika Ki Ageng Ganjur mencoba menyanyikan lagu dangdut. Semua penonton langsung turun ke depan panggung bergoyang bersama. Bahkan bule-bule yang dari awal sudah menggerak-gerakan kakinya sambil duduk langsung berbaur di depan panggung ikut bergoyang bersama, termasuk dekan Fakultas Teology Vrijk University yang dari awal menyimak setiap shalawat yang dibawakan Ki Ageng Ganjur. Suasana saat itu benar-benar meriah. Rasa haru, rindu, bahagia dan gembira bercampur menjadi satu.

Dalam komentarnya, Prof Poeze menyatakan bahwa ini musik yang sofisticate karena selain mengandung unsur hiburan juga sarat dengan pesan religius. Sementara Prof Ruad Ganzelvoort menyebutkan bahwa dunia saat ini, termasuk Indonesia dan Belanda sedang menghadapi problem kemanusiaan, pluralisme dan ancaman sektarianisme dan musik bisa menjadi kunci untuk menbuka dialog, seperti yang terjadi saat ini.

Atas kesuksesan acara ini, kita perlu memberikan apresiasi dan acapan terima kasih pada teman-teman PPI Belanda dan Amsterdam, Pengurus PCINU Belanda, Gus Fikri dan Kiai Hasyim yang telah bekerja keras menyelenggarajan event ini. Juga pihak KBRI, khususnya Pak Dubes Puja yang sudah mensupport dan memfasilitasi penuh serta pihak Universitas Amsterdam yang telah mebyediakan tempat. Berkat kerja keras dan kebaikan mereka semua alunan shalawat bisa bergema di Universitas Amsterdam. Moge God Zegenen...!

Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.