Opini

Demokrasi Kaum Khawarij

Ahad, 3 September 2017 | 00:00 WIB

Oleh Muhammad Anas

“Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.” (Abraham Lincoln)

Kata-kata yang menggetarkan jiwa dari Abraham Lincoln ini cukup memberikan arti yang mendalam tentang demokrasi. Hingga akhirnya menjadi sebuah pijakan dasar dalam membentuk suatu masyarakat yang demokratis. Meskipun terkadang kata demokrasi menjadi sebuah slogan pemerintahan yang otoriter sekalipun. Namun demokrasi juga telah memberikan umat manusia secercah harapan baru, yaitu kebebasan.

Demokrasi bukanlah sebuah wahyu yang jatuh dari langit. Hukumnya tidak abadi dan terus mengalami perkembangan semenjak tercetusnya di negara Yunani. Bahkan di negara kelahirannya sendiri pun, demokrasi mengalami kejatuhan dan mengubah masyarakatnya menjadi feodal.

Meskipun demokrasi lahir dari tradisi Barat, namun bukan berarti di negeri Timur tidak mengalami suatu bentuk tatanan masyarakat yang demokratis. Di negeri Arab, sekitar abad ke tujuh masehi, demokrasi mendapatkan momentumnya ketika kaum dari tanah pedalaman Arab (badui) mendeklarasikan sebuah sistem kepemimpinan (khilafah) berdasarkan asas kebebasan. Menurut mereka, pemimpin (khalifah) tidak harus berasal dari kabilah (suku) tertentu. Kaum ini menamakan dirinya Khawarij.

Terbentuknya Khawarij


Kaum Khawarij pada umumnya merupakan kumpulan sahabat simpatisan setia pendukung Ali bin Abi Thalib r.a. namun pada akhirnya justru memusuhinya lantaran Ali menerima arbitrase (at-tahkim) dari pihak seteru Ali, yaitu kubu Mu’awiyah. Hal ini terjadi ketika dalam peperangan Shiffin, sebuah perang yang alot antara kubu Mu’awiyah dan Ali demi memperebutkan tampuk kekuasaan yang telah jatuh di tangan Ali setelah kematian Usman r.a.

Akhirnya kaum Khawarij memisahkan diri dari upaya jalan tengah (at-tahkim) tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan. Kaum Khawarij menuntut Ali untuk menarik kembali persetujuan arbitrase dengan Mu’awiyah tersebut, namun Ali menolaknya. Hal inilah yang pada akhirnya membawa keluar kaum Khawarij dari kubu Ali.

Kemudian kaum Khawarij pergi menuju tanah Kufah, sebuah kota di Irak, dan bersinggah di perkampungan Harura’, serta memilih Abdullah bin Wahab ar-Rasibi sebagai pemimpinnya yang bukan berasal dari suku Quraisy.

Nama Khawarij sendiri disandarkan pada sebuah kejadian ketika mereka mengeluarkan diri (khuruj) dari kubu Ali, sehingga membentuk golongan baru dan memisahkan diri dari kelompok Ali dan Mu’awiyah. Namun ada golongan dari Khawarij yang berpendapat bahwa nama Khawarij berasal dari sebab keluarnya (khuruj) mereka di jalan Allah. Mereka berpegang kepada firman Allah :

“Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (QS. An-Nisa’ [4] : 100).

Demokrasi yang Terpinggirkan


Meskipun tanah Arab tak memiliki tradisi berdemokrasi yang mapan, namun semangat dalam berdemokrasi di negeri gurun pasir ini diupayakan oleh kaum Khawarij. Demokrasi Khawarij mendapatkan banyak pengikut, terutama dari sebagian tentara Ali serta orang-orang pedalaman tanah arab (badui).

Hal ini tak asing lagi mengingat kaum Khawarij berasal dari pengikut setia Ali dan kemudian menyempal dan membentuk kubunya sendiri. Karenanya, kaum Khawarij jelas memiliki kedekatan dengan tentara Ali dan mampu mengambil hati mereka.

Yang unik dari sistem kepemimpinan (khilafah) dan demokrasi kaum Khawarij adalah bahwa pemimpin(khalifah) wajib dipilih oleh orang-orang yang merdeka (bukan budak). Dan pemimpin boleh berasal dari suku Quraisy ataupun selainnya, bahkan orang non-Arab dan budak sekalipun dapat dipilih sebagai pemimpin.

Jelas ada perbedaan antara demokrasi Yunani dan demokrasi yang diusung oleh kaum Khawarij. Demokrasi Yunani kala itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, para budak dan wanita sama sekali tidak dapat merasakan demokrasi. Sedangkan demokrasi kaum Khawarij berasaskan kebebasan asalkan dipilih oleh orang-orang yang merdeka, kaum budak tetap tak dapat menikmati demokrasi secara utuh.

Meskipun begitu, kaum Khawarij tetap menggantungkan pilihannya kepada suara mayoritas, walaupun jika yang terpilih seorang budak sekalipun. Pada akhirnya dalam dua periode kepemimpinan Islam (khilafah) yang berada di tangan dinasti Bani Umayyah dan dinasti Abbasiyah, kaum Khawarij mampu menjadi oposisi bagi kedua dinasti besar tersebut, meskipun dengan kekuatan minoritas.

Namun sayangnya, demokrasi kaum Khawarij menjadi terasing dan tercampur dengan paham-paham ketuhanan, sehingga membuat demokrasinya tidak dapat berkembang secara massif. Hal ini disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dalam tubuh kaum Khawarij sendiri dan mengakibatkannya terpecah belah menjadi beberapa golongan. Mengingat kebanyakan dari kaum Khawarij adalah orang-orang Arab pedalaman (badui) yang memiliki watak keras dan tempramen, sehingga tak jarang terjadi perseteruan di dalam kaumnya sendiri.

Meskipun begitu, sumbangsih terbesar kaum Khawarij merupakan jasa yang besar bagi umat Muslim. Karena menyentuh aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya, seperti kebebasan nurani, kesadaran pluralisme, musyawarah, serta kejujuran dan pemufakatan (konsensus). Terutama tentunya di bidang demokrasi yang secara tulus disumbangkan oleh kaum Khawarij agar umat Muslim tak mudah terperdaya dengan slogan-slogan demokrasi yang diselubungi otoritarianisme.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.


Sumber bacaan:
- Kitab Fajr al-Islam ; Ahmad Amin
- Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani; A. Ubaidillah dan Abdul Razak

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (Studi Keislaman) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta