Opini

CPNS-ku Sayang, Malang

NU Online  ·  Sabtu, 11 Februari 2006 | 06:31 WIB

Oleh Siti Soraya Devi Zaeni

Indonesia dengan potensi kekayaan nusantara yang terhampar rasanya ironis, berbicara jumlah angka pengangguran yang tiap tahunnya semakin bertambah. Pertambahan pengangguran terdidik, jumlahnya jauh lebih tinggi dibanding penganguran berlatar belakang pendidikan sekolah menengah, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2005  menunjukkan bahwa dari total jumlah pengangguran tahun 2005 sebanyak 9,13 juta (9,06 persen), sedangkan 5,5 persennya adalah pengangguran dari kaum intelektual/terdidik.

<>

Optimalisasi potensi sumber daya menjadi ‘PR’ utama bangsa yang harus segera diselesaikan. Sehingga penataan strategis berbangsa lebih terarah dan terkawal pada orientasi membangun kesejahteraan bangsa, khususnya pada wilayah penguatan, pengelolaan, pengolahan dan pengembangan potensi daya dan upaya, bukan pada karakteristik mayoritas general-personal masyarakat yang pasif.

Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdampak pada berbagai sendi kehidupan dan mahalnya kebutuhan pokok masyarakat, merupakan indikator tingginya tingkat kesulitan ekonomi bangsa, yang semakin nyata bagi masyarakat. Hal itu terlihat dari tuntutan hidup yang tidak luput dari tuntutan kebutuhan materiil dan minimnya lapangan kerja yang tersedia.

Fenomena ramai dan maraknya generasi muda untuk berbondong-bondong, saling sikut, saling berlomba dengan ‘berbagai cara’ memperoleh lapangan pekerjaan bukanlah hal yang aneh di mata kita. Antrian panjang hingga kerusuhan pada setiap kali penyelenggaraan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) kerap kali terjadi di berbagai tempat.

Sebegitu sempit jugakah potensi generasi muda bangsa? Sehingga harus berusaha keras dan menghalalkan segala cara? Ataukah, kotak persoalan  ini telah lama dibentuk oleh pemuda itu sendiri ? Ataukah juga dibentuk oleh seluruh komponen bangsa Indonesia? Atau bahkan dunia luar?

Indonesia, sebagai negara berkembang, bahkan negara ‘terkaya’ tidaklah tergolong jauh terbelakang dibanding negara tetangga lainnya; baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya potensi. Semestinya pengangguran sebagai subyek utama dari persoalan bangsa ini tidak lagi menjadi topik utama atau persoalan yang harus diselesaikan banyak pihak apalagi dengan serentetan tarik menarik kebijakan dan 'kambing hitam' dari anak persoalan bangsa.

Tidak asing rasanya telinga kita mendengar istilah Indonesia sebagai negara eksportir terbesar tenaga kerja buruh kasar. Lebih ekstrim lagi disebut negara bangsa kuli/ babu (Taufik Ismail, KOMPAS, 11 Agustus 2002).  Betapa tidak, mayoritas dari berbagai elemen pun meng’imani’nya demikian. Betapa naifnya, suatu kelompok yang telah begitu besar memberikan kontribusi devisa riil kepada bangsa ini, Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) layaknya komunitas proletariat yang harus senantiasa memperoleh sikap sinisme berlebih.

Hasil studi Clignet (1980); menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia disebabkan angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Minimnya minat kerja ke luar negeri dari pemuda-pemudi, masyarakat berlatar belakang pendidikan akademik/terdidik, tidak dapat terelakkan, mengingat asumsi TKI/TKW baik dari dunia luar maupun di dalam negeri sendiri hanyalah sebagai manusia kelas bawah; bisa kita lihat perlakuan berbagai oknum terhadap mereka;  di bandara, di penampungan, di berbagai tempat umum prosedur yang harus mereka lalui, terkadang dari masyarakat kita sendiri, bahkan penguna jasa mereka, memberikan perlakuan yang kurang senonoh dan kadang nyaris tidak manusiawi.

Mari kita buka bersama kotak  persoalan  yang ada dalam benak pemuda dan masyarakat Indonesia kebanyakan, untuk berorientasi dan membuka paradigma berpikirnya dalam membaca peluang dan kesempatan agar lebih prospek, mandiri, progressif dan agresif tentunya. Sehingga cara pandang kita dalam melihat dunia karier/lapangan kerja tidak terbatas atau melulu normatif domain kultur yang baku dan tendensius.

Pernahkan kita bertanya: kenapa negara-negara tetangga yang mengirim tenaga kerja ke luar negeri, di mana bila kita bandingkan mutu dan kualitas, baik dari segi pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari lulusan sekolah/perguruan tinggi bisa jadi kualitasnya di bawah kita, justru nampak lebih bermartabat?

Sadarkah kita bahwa persepsi negatif tenaga kerja kita di luar negeri telah melahirkan preseden buruk yang berskala besar