Oleh A. Hasyim Muzadi
Deklarasi Kyoto
Nahdlatul Ulama (NU) sejak awal berdiri 1926 tidak terlepas dari problem-problem global, yang ketika itu setidaknya menghadapi dua tantangan besar, yaitu persoalan imperialisme dan paham keagamaan. Menghadapi tantangan imperialisme, NU membangun basis pertahanan di pesantren-pesantren yang ada di pedesaan.
Walhasil, banyak kader yang jadi pioner perjuangan kemerdekaan, termasuk Bung Tomo. Santri Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari dengan pekik "Allahu Akbar"-nya itu berhasil mengusir pasukan sekutu di Surabaya.
Dalam konteks keagamaan, NU membentuk Komite Hijaz yang mengutus KH A. Wahab Hasbullah dan Syaikh A. Ghonaim Al Amir untuk menyampaikan surat kepada penguasa negeri Hijaz dan Najed -sekarang kerajaan Saudi Arabiyah, yaitu Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman As Su'ud.
Surat Komite Hijaz tersebut setidaknya meliputi empat hal; diberlakukan kebebasan bermazhab, diperbolehkan ziarah ke tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuron dan lainnya, meminta diumumkan ke seluruh dunia mengenai tarif haji, dan meminta seluruh hukum yang berlaku di Hijaz agar dijadikan sebagai UU.
Komite Hijaz diterima dan langsung mendapat jawaban dari Raja Su'ud bahwa kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Baitul Haram, Makkah dari mazhab apa pun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat ziarah.
NU dengan Komite Hijaz-nya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab agar memberikan ruang kebebasan dalam bermazhab di dalam Islam. Sebab, Makkah dan Madinah yang ada di kawasan tersebut merupakan kota suci bagi seluruh umat Islam di dunia, bukan hanya milik kelompok umat Islam yang berpaham Wahabi.
Visi NU Global
Islamo fobia masih menjadi pandangan yang mainstream di kalangan masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat (AS). Adalah pandangan dari Samuel Huntington, ilmuwan Harvard University yang juga dikenal sebagai think tank Gedung Putih AS, yang mempertegas hal ini, bahwa pascaperang dingin yang ditandai dengan tumbangnya Tembok Berlin, dunia akan menghadapi clash of civilizations, benturan antar peradaban, terutama Barat vis a vis Islam.
Maka, tatkala terjadi tragedi tumbangnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2001 di AS, ketegangan Islam v Barat semakin mencapai titik klimaks. Apalagi, Presiden AS George W. Bush menyebut-nyebut pelaku serangan ini adalah teroris Al Qaidah yang dikomando Usamah bin Laden, pengusaha asal Arab Saudi.
Deklarasi perang terhadap terorisme oleh Bush semakin menyuburkan sikap negative thinking terhadap Islam. Maka, Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, kekerasan, fundamentalis, lusuh, diktator, ortodok, tidak menghargai pluralisme, dan sejenisnya.
Harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam seperti itu muncul akibat pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak secara sistematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan streotipikal dan pejoratif tersebut.
Dalam kondisi Islam yang terpuruk seperti itulah, NU kembali ingin memberikan kontribusinya dengan mengadakan tabayun atau klarifikasi langsung kepada tokoh-tokoh kunci dunia. Intinya, Islam tidak bisa digeneralisasi dengan melihat segelintir kelompok Islam yang kebetulan radikal dan fundamentalis.
Bahwa radikalisme dan fundamentalisme, senantiasa ada dalam agama apa pun tidak terkecuali dalam Kristen dan Yahudi. Melihat Islam jangan hanya melihat Taliban di Afghanistan, lalu digeneralisasi.
Kami ke AS awal 2002, empat bulan pasca-Tragedi WTC. Pergi ke Thailand Maret-April 2005, juga empat bulan pasca pembantaian 84 warga muslim Thailand selatan oleh militer setempat yang terjadi pada bulan Ramadan. Di AS yang mayoritas Kristen dan Yahudi dan di Thailand yang mayoritas Buddha dan Hindu, kami jelaskan Islam moderat dan rahmatalil'alamin sebagaimana dipraktikkan NU di Indonesia selama ini. Islam ala NU terbukti dalam sejarah berabad-abad lamanya dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain non-Islam.
Praktik Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia dan juga merupakan muslim terbesar di dunia menegakkan agama Islam tidak dengan cara-cara kekerasan.
Islam datang di Indonesia pada abad XII M, dengan cara-cara damai lewat perdagangan dan proses akulturasi dan akomodasi terhadap kultur dan tradisi lokal, yang tidak memberangus budaya dan tradisi lokal, sehingga nyaris tidak terjadi ketegangan dengan penduduk lokal.
Mengambil spirit Komite Hijaz, NU ingin menegaskan visi globalnya bahwa Islam moderat yang rahmatal lil'alamin (penebar kasih sayang bagi semesta alam) harus diperkenalkan ke seluruh dunia untuk terciptanya suasana damai dan aman sehingga memungkinkan peningkatan kualitas hidup umat manusia, bebas dari segala penindasan dan hegemoni, demi menegakkan prinsip kejujuran dan keadilan serta penghargaan yang tinggi terhadap martabat kemanusiaan.
Hal sama kami lakukan ketika kami berkunjung ke Tahta Suci Vatikan, di Roma Italia. Kepada mereka semua, kami menyatakan wajah Islam yang sebenarnya bukanlah yang dipresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal, melainkan wajah yang penuh dengan keramahan dan penghormatan pada pluralisme, sebagai manifestasi ajaran Islam yang rahmatal lil'almien.
Deklarasi Kyoto
Isi Deklrasi Kyoto -World Conference of Religions for Peace (WCRP), di Kyoto, Jepang 29 Agustus 2006- antara lain menegaskan bahwa Religions for Peace harus menjadi salah satu suara utama multiagama dunia dan pelaku perdamaian. Masyarakat multiagama harus bekerja sama guna penguatan komunitas-komunitas keagamaan untuk mengatasi konflik, membangun perdamaian dan menegakkan keadilan dan memajukan umat beragama secara berkesinambungan.
Multiagama bersatu menghindari dan mengatasi kekerasan dalam semua bentuknya dan meyakini kekuatan multiagama untuk melangkah menuju visi bersama menciptakan rasa aman bersama. Masyarakat multiagama akan menggerakkan komunitas keagamaan di seluruh dunia mendorong pendidikan untuk keadilan dan perdamaian, menghapus kemiskinan dan membangun kemajuan untuk generasi mendatang.
Atas dasar Deklarasi Kyoto inilah, kami mengajak seluruh komponen di WCRP agar terus memperkuat hubungan antarumat beragama sehingga dapat menghindari konflik umat/agama. Agama juga harus benar-benar dilepaskan dari konflik di beberapa wilayah dan bagian di dunia ini. Islam mengajarkan nilai-nilai agama yang bersifat universal dan menjunjung tinggi toleransi masyarakat yang pluralistik, moderat, dan perdamaian. Islam merupakan berkat bagi semua bangsa.
Wallahu'alam Bishshawab
Dr KH A. Hasyim Muzadi, ketua Umum PBNU, president World Confrence of Religion for Peace (WCRP)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Cerpen: Tirakat yang Gagal
5
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua