Opini

Cara Bersalam-salaman yang Egaliter seusai Shalat

NU Online  ·  Kamis, 31 Agustus 2017 | 05:00 WIB

Oleh Muhammad Ishom

Di banyak masjid sering diadakan salam-salaman atau jabat tangan antara para jamaah dan para tokoh terutama sang imam dan sang khatib seusai ibadah shalat dilaksanakan. Shalat itu bisa berupa shalat Jumat, shalat Idul Fitri, atau shalat Idul Adha. Di daerah tertentu dimana masyarakat cenderung egaliter, seperti di beberapa wilayah Banyumas, sang imam dan jajarannya mendatangi para jamaahnya untuk memprakarsai jabat tangan.

Sudah berkali-kali saya melaksanakan jamaah shalat Id di Masjid Al-Ikhlas di Desa Pahojean, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Seusai jamaah shalat yang ditandai dengan imam mengucapkan salam dua kali–ke kanan lalu ke kiri—sang khatib tidak lama setelah itu naik ke mimbar untuk memyampaikan khutbahnya.

Seusai khutbah, sang imam berdiri dan berjalan menuju jamaah dengan diikuti sang khatib dan ketua ta’mir masjid di belakangnya. Mereka bergerak dan berjalan menuju anggota jamaah yang berada di ujung paling kanan pada shaf pertama. Bersamaan itu seluruh jamaah berdiri berjajar secara rapi di shaf masing-masing. Jika shaf depannya ada yang terlalu longgar maka diisi oleh orang yang berada di shaf belakangnya hingga setiap shaf cukup rapat dan rapi. Segera setelah itu dimulailah salam-salaman sambil bersama-sama melantunkan shalawat.

Dari orang pertama yang berada di ujung paling kanan pada shaf pertama sang imam terus bergerak menuju orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang tetap diikuti sang khatib dan ketua ta’mir masjid. Di belakang ketua ta’mir masjid adalah sang muadzin dan orang pertama dari jamaah di ujung paling kanan pada shaf pertama yang sudah selesai berjabat tangan dengan sang imam dan jajarannya, yang kemudian disusul oleh orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya di shaf pertama hingga rombongan itu sampai pada orang terakhir di shaf pertama di ujung paling kiri.

Dari shaf pertama sang imam yang diikuti jajarannya dan rombongan jamaah di belakangnya terus bergerak berjalan menuju orang yang berada di ujung paling kiri pada shaf kedua. Rombongan besar yang dipimpin sang imam itu terus bergerak berjalan menuju dan melewati orang per orang di shaf kedua hingga mereka sampai pada orang paling ujung kanan. Dari situ rombongan terus bergerak menuju shaf berikutnya hingga akhirnya sampai pada orang terakhir di shaf terakhir. Ketika orang terakhir bersalaman dengan orang disampinya persis, maka selesailah sudah ritual salam-salaman itu yang melibatkan seluruh jamaah tanpa kecuali.

Dengan cara seperti itu para anggota jamaah tidak perlu mengantre dengan berbaris memanjang, apalagi berebut antrian dengan berdesak-desakan untuk berjabat tangan dengan sang imam dan jajarannya. Mereka cukup menunggu di tempat dimana mereka berada yang umumnya tidak jauh dari tempat mereka menunaikan shalat berjamaah. Sang imam beserta sang khatib dan sang muadzin sudah pasti akan sampai kepada mereka ketika saatnya telah tiba.

Menurut saya, cara bersalam-salaman seusai shalat berjamaah seperti yang dipraktikkan di Masjid Al-Ikhlas di Desa Pahonjean Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap itu sangat baik dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama, dalam konteks orang berjamaah shalat, pihak yang kemungkinan melakukan kesalahan atau sesuatu yang kurang disuka pihak lain adalah sang imam, yakni misalnya ketika imam mengimami jamaah shalat terlalu cepat atau sebaliknya terlalu lama. Atau imam kadang lupa akan bacaan surah yang dibacanya, atau pula imam kadang lupa sudah berapa raka’at jamaah shalat yang dipimpinnya. Kesalahan-kesalahan ini manusiawi. Namun mengaku salah dan kemudian mendatangi para anggota jamaah untuk memprakarsai bersalam-salaman tentulah sangat mulia karena sekaligus menunjukkan sikap rendah hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.  

Kedua, selain imam orang kedua yang juga ada kemungkinan melakukan kesalahan adalah khatib, yakni misalnya khatib terkadang menggunakan kata-kata yang terdengar “nylekit” atau bahasa yang kasar dalam khutbahnya. Atau khatib terkadang salah dalam mengutip ayat-ayat Al-Qur’an atau matan Hadits. Kesalahan-kelasahan seperti ini juga maunsiawi. Namun mengaku salah dan kemudian mendatangi para anggota jamaah untuk turut memprakarsai bersalam-salaman tentulah juga sangat mulia sebagaimana dilakukan sang imam.

Apa yang dipraktikkan di Majenang Cilacap tersebut menunjukkan masyarakat di sana cenderung egaliter. Cilacap memang termasuk wilayah Karesidenan Banyumas. Ahmad Tohari, budayawan Nahdliyin asal Banyumas pernah menyatakan bahwa Banyumas memiliki budaya yang dikenal sangat egaliter, salah satunya tercermin dalam Bahasa Panginyongan atau ngapak yang berakar pada tradisi masyarakat Jawa kuna yang tidak berkasta (Suara Merdeka, 15/2/16). Egalitarianisme seperti itu ternyata juga dipraktikkan di dalam masjid, yakni dalam cara mereka bersalam-salaman seusai berjamaah shalat sebagaimana diuraikan di atas.

Singkatnya, egalitarianisme Banyumas yang terwujud dalam bersalam–salaman di masjid seusai shalat menunjukkan berlakunya prinsip kesetaraan dimana pihak yang (mungkin) bersalah dengan rendah hati mendatangi para jamaah untuk memprakarsai bersalam-salaman. Cara seperti ini jarang terjadi di masjid-masjid khususnya di Surakarta karena tradisi di kota ini cenderung tidak egaliter karena kuatnya pengaruh tradisi Keraton. Para jamaahlah yang harus aktif bergerak dan berjalan mendatangi para tokoh tersebut untuk bersalam-salaman meski harus dengan berdesak-desakan dan bahkan kadang berebut kesempatan awal untuk mengantri.


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta