Opini

Bulan P(em)anas(an) Jelang Ramadhan

NU Online  ·  Kamis, 12 Juni 2014 | 16:01 WIB

Oleh Ahmad Saifuddin

---Semenjak ditetapkannya calon presiden dan calon wakil presiden oleh masing-masing partai pengusung dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU), kampanye mencari massa dan pendukung pun sangat gencar dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Berbagai cara dilakukan, mulai cara yang beretika sampai cara yang tidak beretika yang sering dinamakan dengan black campaign dan seringkali dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.<>

Berbagai stasiun televisi juga sudah gencar menayangkan iklan tentang capres dan cawapres. Terlebih lagi, beberapa stasiun televisi swasta itu adalah milik dari beberapa pimpinan partai politik. Tidak hanya media televisi, tetapi juga media cetak dan surat kabar. Berita harian seringkali berkaitan dengan capres dan cawapres.

Pendidikan pemilih memang sangat penting untuk digalakkan, mengingat banyaknya penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 250 juta jiwa dan luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini membuat media cetak dan elektronik sangat berpengaruh untuk menyebarluaskan dan menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh pemilih. Namun, lagi-lagi validitas berita tentang capres dan cawapres pun tidak terlepas dari kepentingan politik yang terselubung. Sehingga, tidak jarang didapati berita yang saling menjatuhkan dan saling merugikan. Padahal, kondisi seperti ini justru bukan merupakan pendidikan pemilih yang sehat.

Tidak tertinggal juga mengenai “pertarungan dua madzhab” dalam Islam, yang saling mengklaim telah mendapatkan restu kiai dan pemuka agama demi memperkuat citra agamis capres dan cawapres yang tidak lain tujuan akhirnya adalah untuk merebut simpati rakyat yang tidak lagi bodoh. Ironisnya, beberapa kalangan agamawan turut terseret pada “permainan kotor” para elite politik tersebut. Dengan tanpa segan, oknum tersebut membawa-bawa nama institusi agama mereka untuk memperkuat posisi mereka. Bahkan, ada oknum agamawan yang mulai menggunakan ilmu “othak athik mathuk” sehingga tanpa segan mengobral ayat Al Qur’an dan Hadits untuk kepentingan politik yang sudah jelas tidak sehat itu.

Kondisi ini jelas membuat sepanjang bulan Juni-Juli ini menjadi “bulan panas”. Kondisi tidak sehatnya pertarungan politik ini sebenarnya tidak cocok dengan karakteristik masyarakat Timur (Indonesia dalam hal ini) yang suka akan keharmonisan dan keselarasan serta religius. Atau barangkali bangsa ini sudah kehilangan jati dirinya hanya untuk menuju kepentingan sesaat dan kepentingan kelompoknya.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah agama Islam, agama yang senantiasa mengajarkan rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), agama yang senantiasa mengajarkan pada etika (akhlaq) dan kelembutan, agama yang sebentar lagi akan menjalankan puasa wajib pada bulan Ramadlan.

Saat ini, umat Islam sudah menginjak pada bulan Sya’ban, bulan yang setelahnya adalah bulan Ramadlan. Pada bulan Sya’ban, ini umat Islam diajarkan memperbanyak puasa sunnah. Bisa dikatakan puasa ini adalah puasa pada bulan yang seringkali dilupakan oleh manusia.

“Dari Abu Hurairah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, aku melihatmu berpuasa pada satu bulan yang tidak sama dengan puasamu pada bulan-bulan yang lain. Rasulullah SAW bertanya, “Bulan apa yang engkau maksudkan itu?” Saya menjawab, “Bulan Sya’ban.” Rasulullah SAW bersabda, “Sya’ban adalah bulan di antara Rajab dan Ramadlan yang banyak dilupakan oleh manusia. Padahal pada waktu itu semua amal hamba diangkat dan aku senang ketika amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (HR. Baihaqi)

Selain itu, bulan Sya’ban juga bisa dikatakan sebagai “bulan pemanasan” untuk mempersiapkan diri memasuki bulan Ramadlan. Al-Hâfidh Ibn Rajab al-Hanbali berkata, “Karena bulan Sya’ban itu merupakan persiapan menghadapi bulan Ramadlan, maka semua amaliyah yang dikerjakan pada bulan Ramadlan juga dianjurkan untuk diamalkan pada bulan Sya’ban, seperti puasa dan membaca Al Qur’an. Tujuannya agar jiwa benar-benar siap untuk menghadapi bulan Ramadlan.” (Lathaiful-Ma’arif, 258)

Maka, sangat jelas bahwa bulan Sya’ban ini adalah “bulan pemanasan”, dimana pada bulan itu sekarang bertepatan juga dengan “bulan panas” yang berkaitan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun ke depan. Karena itu, hendaknya jangan sampai pemanasan untuk mempersiapkan diri menuju bulan Ramadlan dirusak begitu saja dengan kondisi politik yang saling menjatuhkan dan merugikan. Terlebih lagi, sebagian masa kampanye sudah masuk pada bulan Ramadlan. Jangan sampai hawa nafsu politik merusak ibadah-ibadah yang telah diniatkan dan dilaksanakan.

Hendaknya, saat ini juga digunakan oleh masing-masing pendukung serta tim sukses capres dan cawapres 2014—2019 dengan pemanasan yang baik. Misalkan, memberikan pendidikan pemilih yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia, mengajarkan pendidikan politik yang beretika kepada seluruh simpatisan dan pengurus partai politik serta tim sukses, menyampaikan visi dan misi masing-masing capres dan cawapres 2014—2019 sehingga masyarakat akan paham arah dan orientasi masing-masing capres dan cawapres.

Jangan sampai karakteristik masyarakat Indonesia yang religius dan harmoni ternodai. Jadikan bulan ini sebagai bulan pemanasan menuju Ramadlan, juga bulan pemanasan menuju pilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 yang sehat dan berkualitas, sehingga tidak ada lagi sikap saling menjatuhkan dan merugikan.

Ahmad Saifuddin, Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bergiat sebagai Wakil Sekretaris Bidang Teknologi, Informasi, Komunikasi dan Jaringan Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama Propinsi Jawa Tengah dan Sekretaris Lembaga Kajian Pemikiran Islam Darul Afkar Klaten.