Indonesia kembali menangis dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah baru-baru ini. Lebih dari lima ribu nyawa melayang dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Mereka bukan hanya kehilangan jiwa dan benda-benda/ material lainnya, namun juga menyisakan kepiluan, kebalauan, dan kepanikan yang begitu mendalam. Derita itu tentu akan membawa trauma tersendiri jika tanpa disikapi dengan kedewasaan berfikir. Maka melewati kejadian besar seperti itu, chaos biasanya diikuti dengan semacam aktifitas penenangan jiwa (soul searching), yang bisa membawa kita kepada iman yang lebih kuat, atau justru krisis teologis yang mengguncang.
Secara material, bencana itu sudah pasti akan menyedot energi dan materi yang demikian banyak dan tak pernah direncanakan sebelumnya. Semuanya harus ditangani secara darurat, termasuk merehabilitasinya. Padahal, kalau saja peristiwa bencana tidak terjadi, segala pembiayaan itu bisa digunakan untuk secara perlahan melakukan perbaikan kondisi sosial dan ekonomi di daerah lain yang tertinggal. Tapi apa boleh buat. Solidaritas kita sebangsa dan setanah air memang harus diwujudkan dengan kepedulian untuk mengatasi masalah bersama, termasuk berkorban untuk membantu saudara-saudara yang terkena musibah.<>
Bencana alam dan berbagai bentuk kecelakaan yang membawa korban jiwa manusia dan materi memang sering berada di luar kendali dan jangkauan pemikiran manusia biasa. Terbukti, fokus utama yang menjadi sorotan belakangan ini adalah meletusnya gunung Merapi. Namun, fakta bicara lain bahwa ada kekuatan lain “di atas sana” yang menghendaki terjadinya gempa di kedua wilayah itu. Manusia hanya bisa menafsir atau mereka-reka berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan dengan segala kenisbiannya.
Komitmen untuk berbagi bersama
Bencana-bencana yang terjadi di Indonesia seolah tiada berhenti, silih berganti dari satu tempat ke tempat lainnya. Peristiwa yang maha dahsyat seperti bencana alam dan tsunami di Aceh beberapa waktu lalu, kemudian disusul gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah kembali menjadi batu asah kepedulian dan komitmen kita untuk berbagi bersama. Mereka yang menderita akibat gempa membutuhkan uluran tangan dari saudara-saudaranya untuk meringankan beban pederitaan mereka. Peristiwa itu sekaligus menjadi taruhan sejauh mana perwujudan komitmen kita untuk berbagi dan membantu para korban akan terlaksana.
Tindakan-tindakan moral seperti pengiriman bantuan, baik medis, makanan, maupun pakaian merupakan asas-asas nilai yang meneguhnya kita sebagai manusia bermoral. Hal ini menunjukkan bahwa kita berkewajiban untuk menjunjung tindakan-tindakan suci tersebut yang secara esensial berguna buat diri kita sendiri dan juga orang lain. Di sinilah nilai-nilai moral mendapatkan ruang kehadirannya.
Berdasarkan noktah di atas, manakala tujuan hidup tertinggi manusia adalah kedekatan diri pada Tuhan, maka suatu tindakan bernilai moral bilamana mendatangkan kedekatan Ilahi seperti mengirimkan bantuan kepada para korban gempa. Tindakan itu tentu menjadi prinsip nilai-nilai moral tanpa harus mempertanyakan komentar agama. Sebab, baiknya keadilan dan buruknya kezaliman sudah bisa diukur dengan pertimbangan akal sebagai anugerah tertinggi yang Tuhan berikan kepada kita. Dengan demikian, komitmen untuk berbagi bersama akan terwujud.
Aplikasi nilai-nilai moral
Pembahasan nilai dan mengenal esensinya merupakan salah satu permasalahan yang sejak dahulu menyedot banyak perhatian para filosof (moral). Semua berusaha sedemikian rupa untuk menemukan satu standar penilaian moral. Sehingga, kita mengetahui secara yakin akan sejumlah tindakan yang bernilai moral seperti membantu meringankan para korban gempa yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Bencana itu seolah menagih simpati jiwa kemanusiaan kita untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral. Mungkin seseorang mengetahui benar akan nilai-nilai tersebut, tetapi ia enggan untuk menyesuaikan perilakunya dengan bertindak sesuai dengan prinsip dan nilai moral yang suci itu. Rasa canggung untuk membantu para korban boleh jadi karena kerdilnya daya nalar dan keimanan yang ia miliki. Alih-alih membantu para korban, ia malah asyik memanfaatkan peristiwa memilukan itu sebagai momentum untuk mencari keuntungan sendiri.
Meski demikian, suara hati manusia-tanpa harus memandang agama dan kepercayanaan seseorang-akan bicara bahwa tindakan-tindakan yang merugikan tersebut merupakan tindakan jahat dan tidak berperikemanusiaan. Para korban sedang menjerit meminta pertolongan, sementara ia yang kehilangan komitmen kemanusiaannya tanpa merasa bersalah dan berdosa larut dan suasana hati yang tamak/serakah.
Pada dasarnya, egoisme dan mementingkan diri sendiri dalam setiap kasus seperti yang dicontohkan di atas adalah bagian persoalan serius akhlak yang melilit sebagian manusia. Namun, kita harus optimis bahwa masih banyak kita jumpai orang-orang yang setia pada nilai-nilai moral dan norma-norma agama bukan hanya karena kefanatikannya pada kebenaran dan kecintaan pada Tuhan.
Apalagi kesadaran agama yang menjadi spirit untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral seperti keimanan kepada keadilan Ilahi, kenyataan hari kebangkitan dan hari pertanggungjawaban. Maka, kebanyakan manusia akan memiliki komitmen pada prinsip dan nilai moral bahwa derita para korban adalah derita kita bersama.
Begitu banyak manusia yang tunduk pada tuntutan-tuntutan moral hanya karena menanti surga, sebagaimana mereka menjalankannya hanya karena kekhawatiran akan Jahanam dan ancaman siksa. Tentu dalam hal ini, agama punya peran sebagai pendorong untuk menerapkan nilai-nilai moral. Dengan membawakan janji-janji terbesar di balik tindakan baik seperti membantu para korban gempa, agama lebih memungkinkan aktualisasi nilai-nilai moral. Bahkan ada sejumlah pesan moral seperti pengorbanan diri dan mementingkan orang lain yang hanya bisa dijustifikasi rasionalitasnya dengan ajaran-ajaran agama.
Terlepas dari itu semua, segala macam tindakan yang dilakukan manusia tidak sepenuhnya bernilai moral. Seperti seseorang yang makan dan minum dengan motif pemuasan insting lapar dan haus, atau bahkan seorang ibu yang menimang, menyusui, dan membelai kasih bayinya hanya karena dorongan insting keibuanya. Maka, nilai moral merupakan kepentingan yang diperoleh jiwa manusia lewat tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan suprainsting hewani, yakni tuntutan-tuntutan yang mengajak manusia kepada pengenalan dan pengalaman yang khas seperti keberanian, kedermawanan, keadilan, dan lain sebagainya.
Dalam kerangka interaksi sosial, aplikasi nilai-nilai moral adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi, karena keadilan dan tatanan sosial bersemayam dalam nilai-nilai moral yang bertanggungjawab. Untuk itu, peristiwa gempa yang begitu memilukan, di dalamnya tersimpan oase harapan untuk menata kembali masa depan mereka yang lebih baik.
Penulis adalah wartawan NU Online
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
6
Sunnah Puasa Ayyamul Bidh di Pertengahan Bulan Dzulhijjah 1446 H Hari Ini dan Esok
Terkini
Lihat Semua