Opini

Belajar Dari Negeri Kinanah

NU Online  ·  Ahad, 2 April 2017 | 20:02 WIB

Oleh Muchlishon Rochmat

Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Begitulah kira-kira semboyan sebuah negara yang memiliki sistem pemerintahan demokrasi dimana yang berkuasa penuh atas sebuah negara adalah rakyat itu sendiri. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pada 11 Februari 2011 adalah hari kemenangan rakyat Mesir. Pada tanggal inilah mereka berhasil menggulingkan rezim otoriterianisme Hosni Mubarak yang berlangsung selama kurang lebih 30 tahun. Semua elemen bangsa Mesir berkumpul di Lapangan Tahrir dan meminta Presiden Mesir Mohammad Hosni Said Mubarak untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 

Selama tiga dasawarsa tersebut rakyat Mesir hidup di bawah pemerintahan yang menerapkan Undang-Undang darurat; dimana para pemimpin militer dan partai politik bisa bertindak sesuka hatinya, represif, menggarong duit rakyat dan membiarkan mereka hidup dalam kemiskinan, kebal hukum, melanggar hak-hak asasi rakyat, dan memberangus suara rakyat. 

Tanggal 12 Februari 2011 adalah hari pertama Mesir baru. Hari dimana kebebasan mereka yang sempat terberangus bisa didapat kembali. Rakyat Mesir bersorak gembira. Harapan untuk kembali membangun negerinya begitu membuncah di hati rakyat Mesir. Ini adalah salah satu revolusi yang sangat krusial bagirakyat Mesir karena berhasil lepas dari cengkeraman rezim militer yang otoriter. 

Setahun lebih setelah penggulingan Hosni Mubarok, pemerintah Mesir berhasil mengadakan pemungutan suara untuk memilih presiden baru yang dilaksanakan pada 23 Mei 2012. Mohamed Mursi berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan prosentase suara 51,73%. Tanggal 30 Juni, Mursi diambil sumpahnya sebagai Presiden Mesir.

Awalnya, masyarakat menilai bahwa sepak terjang Mursi akan membawa angin perubahan ke arah yang lebih baik bagi kemajuan Mesir. Bagaimana tidak, enam bulan setelah ia dilantik menjadi Presiden Mesir, Majalah Time edisi 10 Desember 2012 memasang foto Mursi sebagai cover sampul depan dan menyebutnya sebagai orang yang paling berpengaruh di negara-negara Timur Tengah (The Most Important Man in The Middle East). Penilaian Majalah Time tersebut didasarkan kepada keberhasilan Mursi dalam menyelesaikan konflik antara Israel dan Hamas. Mursi berhasil mengajak keduanya untuk menandatangi perjanjian genjatan senjata tanggal 21 November 2012.

Selama setengah memerintah, Mursi masih berjalan sesuai dengan rel nya (on the track). Rakyat Mesir pun semakin optimis kalau Mesir akan menjadi negara yang kuat dan kembali disegani oleh bangsa-bangsa lain. Tidak ada kecurigaan rakyat Mesir akan pemimpinnya tersebut.

Namun, kepercayaan rakyat Mesir kepada Mursi memudar saat sang presiden mengeluarkan Dekrit pada 22 November 2012. Dekrit tersebut menjadikannya sangat berkuasa. Yudikatif, legislatif, dan eksekutif ‘dipegang’ oleh Mursi seorang. Meski ia berdalih bahwa penerbitan Dekrit tersebut dimaksudkan untuk menjaga revolusi dan akan dihapus ketika konstitusi baru terbentuk. Namun penentangnya menganggap bahwa Mursi telah menancapkan kukunya sebagai seorang diktator. 

Rakyat Mesir pun terbelah menjadi dua; ada yang mendukung (pro) dan ada yang menolak (kontra). Yang mendukung (pro) adalah rakyat Mesir yang memiliki afiliasi dengan dengan Jamaah al-Ikhwanul al-Muslimin. Memang, Mursi adalah salah satu tokoh jamaah ini. Sebuah jamaah yang sempat dilarang dan dibekukan oleh pemerintah sebelumnya karena berideologi Islam politik dan memang berupaya untuk menjadikan Mesir sebagai negara yang berlandaskan syariat Islam. 

Sementara yang kontra adalah rakyat yang khawatir jika Dekrit tersebut tidak ditentang maka Presiden Mursi dan Jamaah al-Ikhwanul al-Muslimin akan membuat Konstitusi Negara Mesir yang berlandaskan kelompok tertentu (syariat Islam). Mereka menyadari bahwa rakyat Mesir itu heterogen, bukan hanya dari satu kelompok saja. Tuduhan rakyat Mesir tersebut bukan hanya isapan jempol belaka. Presiden Mursi banyak menempatkan anggota Jamaah al-Ikhwanul al-Muslimin di dalam posisi-posisi strategis di dalam pemerintahan. Ini juga yang memicu rakyat untuk melawan.

Belum genap satu tahun, rakyat Mesir kembali berkumpul di Lapangan Tahrir. Mereka mendesak Mursi untuk turun dari jabatan presiden. Pada hari Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan sebagai Presiden Mesir. 

Indonesia, Mau Dibawa Kemana?
Tahun 30-an, kelompok nasionalis seperti Soekarno dan kelompok Islamis seperti M. Natsir sudah berdiskusi tentang negara Indonesia ini mau dibawa kemana; negara nasionalis-sekuler atau negara yang berdasarkan syariat Islam. Mereka berdebat keras hingga akhirnya mereka menyepakati sebuah rumusan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara nasionalis yang mengedepankan nilai-nilai luhur agama (religious nation state). Indonesia bukan negara sekuler, juga buka negara yang berdasarkan agama tertentu.   

Selama beberapa tahun terakhir ini, seolah-olah masyarakat Indonesia terpecah ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang tetap teguh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang ingin merubah negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila ini menjadi negara yang berlandaskan syariat Islam. 

Indikasi perseturuan kedua kelompok tersebut kembali mencuat dan semakin meruncing. Salah satu puncak kulminasinya adalah Pilkada DKI Jakarta –dan bahkan pilpres 2019 nanti. Bahkan, yang bukan warga Jakarta pun ‘ikut campur’ dalam pertarungan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Mereka saling serang, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Kita semua tahu bahwa yang satu menyerang dengan dalih ibu kota negara muslim terbesar harus lah seorang muslim. Jangan sampai non-muslim menjadi pemimpin umat Islam karena itu haram hukumnya. Mereka juga melakukan berbagai macam kampanye agar warga Jakarta yang muslim mau memilih pemimpin yang seiman.  

Sementara yang lainnya juga tidak kalah garang. Mereka mencurigai bahwa jika ‘pasangan yang itu’ menang, maka Jakarta akan menerapkan hukum syariat Islam, kelompok-kelompok Islam radikal akan semakin menjamur, dan kecurigaan lainnya.

Sudahlah, buang semua itu kecurigaan-kecurigaan. Utamakan hormat dan toleransi antar satu dengan yang lainnya. Pondasi Negara Indonesia sudah dibangun dan disepakati para pendiri negeri ini (founding fathers). 

Kenapa negera yang mendapatkan julukan Negeri Kinanah tersebut melakukan revolusi dua kali hanya dalam waktu satu tahun?  Saya kira karena mereka belum menemukan ‘pondasi’ yang tepat untuk bangunan negaranya, antar anak bangsa Mesir saling curiga tanpa penyelesaian yang baik-baik, dan kurang kuatnya peran masyarakat madani (civil society) di Mesir. Mestinya, apa yang terjadi di Negeri Kinanah tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua.

Saya masih optimis, selama masyarakat madani (civil society) di Indonesia masih memiliki peran yang kuat –terutama ormas keagamaan sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Persatuan Islam, Math’laul Anwar, Al Irsyad, dan ormas Islam lainnya yang memiliki pandangan kebangsaan- maka tidak akan ada ‘perang saudara’ antar sesama anak bangsa Indonesia. Semoga.    

Penulis adalah Alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah