Opini

Belajar Cinta Kemanusiaan dari Gus Dur

Sel, 23 Oktober 2018 | 00:00 WIB

Oleh M. Naufal Waliyuddin

Di Indonesia ini, siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur? Tokoh bangsa yang digadang-gadang sebagai Bapak Pluralisme dan “Pejuang Kemanusiaan” ini menyabet banyak sekali penghargaan atas kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian yang ia perjuangkan. 

Putra dari KH. Wahid Hasyim sekaligus cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini lahir di Jombang, 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman “Addakhil” (yang bermakna Sang Penakluk). Namun karena Addakhil kurang dikenal, maka digantilah dengan nama Abdurrahman “Wahid” yang dinisbahkan ke nama ayahnya.

Ketika ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama, Gus Dur kecil ikut pindah ke Jakarta pada tahun 1949. Di sana ia diajarkan oleh Sang Ayah agar membaca majalah, buku-buku non-Muslim, karya sastra dan koran untuk memperluas pengetahuan Gus Dur sendiri.

Tetapi kemudian terjadi tragedi. Pada April 1953 KH. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Setelah itu Gus Dur melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, namun di tahun tersebut ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya kepada KH. Ali Maksum di Pesantren Krapyak.

Selulus dari Yogyakarta, Gus Dur lanjut ke Pesantren di Magelang, dan di sana ia mampu menyelesaikan masa studi yang seharusnya selama empat tahun, menjadi dua tahun. Pindah lagi ke Pesantren Tambakberas, Jombang, sekaligus menjadi guru dan kelak menjabar kepala sekolah madrasah sambil berkiprah sebagai jurnalis di Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

“Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” (Gus Dur)

Presiden RI ke-4 kita satu ini juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan mendapatkan beasiswa dari Kementrian Agama pada tahun 1963. Di sana Gus Dur bertemu dengan Gus Mus (KH. Ahmad Musthafa Bisri).

Belum berselang lama di Mesir, Gus Dur merasa kecewa dengan metode pendidikan dan materi yang memang sudah ia kuasai sejak di Pesantren. Akhirnya ia pun pindah ke Irak dan di sana mendapat beasiswa di Universitas Baghdad. Lulus dari Irak, Gus Dur lanjut berkelana ke negeri Belanda karena ingin belajar di Universitas Leiden.

Dalam kesaksian sahabatnya, Gus Mus, setelah Gus Dur hilang dari Mesir dan hijrah ke Irak, Gus Dur sempat mengirimkan surat ajakan kepada Gus Mus untuk menyusul ke Belanda. Katanya, dalam surat Gus Dur, Gus Mus disuruh mencari utangan untuk segera ke Belanda. Karena di Belanda, tulis Gus Dur, ada pekerjaan yang lumayan: Tukang Ngepel Kapal.

Dari cuplikan perjalanan dan proses Gus Dur, dapat kita cermati bahwa beliau adalah sosok yang tidak berhenti berjuang, berkarya dan menikmati hidup ini dalam hati yang penuh dengan kedamaian.

Apalagi Gus Dur pun masyhur dengan sisi jenakanya. Sense of humor Gus Dur sangat tinggi dan bahkan kisah-kisah kelakarnya tidak sedikit yang terkenang di benak masyarakat. Terutama jargonnya yang populer itu: Gitu aja kok repot!

“Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat.” (Gus Dur)

Sebagai pejuang kemanusiaan, Gus Dur tidak pernah membeda-bedakan seseorang dari latar-belakangnya. Gus Dur tidak memandang manusia itu melalui kacamata agama, politik, suku, partai, ormas dan atribut-atribut lainnya. Fokus perhatian Gus Dur adalah manusia dan kemanusiaan itu sendiri. (KH Husein Muhammad, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, 2012)

Mantan ketua umum PBNU ini menjadi pembela kemanusiaan sepanjang hidupnya. Gus Dur tidak memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, bagi kebanyakan tokoh, kalangan elit dan kerabatnya, hanya Gus Dur semata, yang pernah menjadi Presiden Indonesia dan setelah turun dari jabatannya, ia masih tetap ‘melarat’.

Hidup Gus Dur tetaplah sederhana sebagaimana sebelumnya. Tidak peduli jadi presiden, kyai, ataupun rakyat biasa, Gus Dur masihlah bersikap rendah hati. Mengayomi rakyat-rakyat kecil di kampung-kampung, mengisi pengajian dan menghibur hati mereka. 

“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.” (Gus Dur)

Bagi Gus Dur, perbedaan dari segi apapun itu adalah keniscayaan. Tugas kita hanyalah mensyukurinya, menghargai dan menikmatinya sebagai suatu berkah—bukan musibah. Teladan yang dicontohkan Gus Dur dalam menghargai umat lain tercermin dalam pembelaannya terhadap umat Kong-Hu-Chu.

Yangmana pada masa itu, para pemeluk Kong-Hu-Chu masih mengalami deskriminasi di Indonesia. Gus Dur meresmikan mereka menjadi agama yang diakui secara nasional. Sikap toleran yang lain dari sosok Gus Dur juga dapat dilihat bagaimana perlakuannya kepada orang-orang yang dulu menjadi saingan politiknya.

Meskipun telah beberapa kali dibenci dan disakiti orang karena keputusannya yang sering kali kontroversial, Gus Dur tetap menyayangi mereka-mereka yang pernah menyakitinya itu. Sebab hanya dengan kasih sayang, toleransi dan perdamaian antar sesama manusia lah bangsa Indonesia ini dapat bertahan dan sejahtera.  

“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali.” (Gus Dur)

Sepanjang hidupnya, Gus Dur senantiasa konsisten mengusungkan semangat dalam bekerja untuk kemanusiaan, ketuhanan dan perdamaian. Karena perjuangannya itulah Gus Dur telah meraih sejumlah penghargaan kelas Internasional dalam berbagai bidang.

Tidak kurang dari 7 gelar Doktor Honoris Causa diberikan kepada Gus Dur, di antaranya; Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai (Tokyo, Jepang), Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya (Israel), Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk (Seoul, Korea Selatan), Doktor Kehormatan bidang Ilmu Humaniora dari Universitas Sorbonne (Paris).

Namun, dari sederet prestasi yang beliau torehkan tersebut, sama sekali tidak membuat Gus Dur tinggi hati dan hidup jemawa. Gus Dur tetaplah Gus Dur yang toleran. Gus Dur tetap menjadi sosok panutan dengan gaya hidup, rumah, hingga ruang-tamunya yang tetap dan masih sederhana. Tetap menjadi figur teladan yang setia menghibur hati masyarakat yang terpinggirkan dan tersisihkan. Istiqamah dalam membela kaum-kaum yang dilemahkan dan dikucilkan.

“Kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam yang marah.” (Gus Dur)


Penulis adalah pemuda asal Mojokerto, alumni CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Prodi Tasawuf Psikoterapi angkatan 2013