*Abdullah
Jakarta, NU.Online
Perlahan sektor pertanian tebu akan gulung tikar. Para petaninya sudah melirik komoditas penggantinya. Apakah pilihan yang direncanakan mereka akan berhasil ? Belum tentu. Pilihan-pilihan itu tak kalah peliknya. Berbagai persolan mengenai kesesuaian lahan dengan komoditi, permodalan, pupuk, ada tidaknya pembeli, dan normal tidaknya sistem distribusi. Jika mereka memutuskan secara emosional. Akibatnya sudah bisa dibayangkan. Kebuntuan ! Mereka yang sudah jatuh akibat krisis sektor industri gula ini, bisa pula ketiban tangga.
Toh, kita tidak bisa menyalahkan rencana mereka. Tingkat harga jual gula yang lebih rendah dari biaya produksi, membuat mereka tak henti-hentinya merugi. Serbuan gula impor dengan harga lebih murah, namun kualitasnya tinggi menjadi penyebabnya. Nafas para petani tebu kian sesak saja. Padahal mereka yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini berjumlah puluhan ribu, tersebar di daerah pertanian Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera. Anehnya Pemerintah seakan tak terusik. Kita pun dibikin prihatin dan bertanya-tanya. Apakah memang keberadaan pertanian tebu dalam hal ini dengan Pemerintah yang berkuasa tidak memiliki relevansi? Padahal kita semua mafhum. Ihwal dipilihnya mereka di bidang ekonomi adalah untuk mewujudkan kemajuan ekonomi rakyat. Untuk itu seyogyanya Pemerintah berpikir dan bekerja keras. Malah, petani yang terpuruk ini dibiarkan saja menangisi nasibnya. Dicuekin, dan terpaksa harus mencari jalan keluarnya sendiri.
Di tengah krisis yang membelenggu para petani tebu dan industri gula itu. Belum juga ada kebijakan yang membuat para petani tebu bisa bernafas lega. Malah kebijakan impor gula dibuka lebar-lebar. Siapa yang diuntungkan? Siapa lagi kalau bukan produsen gula asing. Mereka pun mengamini. Normal, nggak ada kelainan dari usaha produsen asing untuk memasarkan gulanya. Tetapi apakah kita bisa menganggap sehat kebijakan Pemerintah yang mencekik petani mereka sendiri. “Lho, ini kan untuk melindungi konsumen, dan petani. Gula harus diimpor, karena harga gula terus membumbung tinggi,” Kata Rini M.S. Soewandi sebagaimana dikutip Majalah Mingguan Tempo (9 Maret 2003, hal. 90-91). Kepala Badan Urusan Logistik, Widjanarko Puspojo justru menganggap jalan impor lebih menguntungkan dibanding akibat yang ditimbulkan penyelundupan gula.
Semua itu nggak lebih dari argumen basi. Termasuk kekurangan pasokan gula nasional sebesar 1,3 juta ton per tahun dari total kebutuhan 3,1 juta ton. Lucunya alokasi impornya 2 ratus ribu ton lebih besar dari kebutuhan nasional. Kenapa dianggap basi? Kita kembalikan saja dengan relevansi keberadaan Pemerintahan itu sendiri. Impor seharusnya kebutuhan jangka pendek sebagai solusi krisis. Bukan malah bergantung terus menerus kepada impor.
Oke, kita bisa mafhum jika petani tebu harus memecahkan sendiri krisis yang membuat mereka merugi. Asalkan sumber penyebab krisis itu dari petani sendiri. Untuk memastikan siapa yang menjadi biang krisis. Kita harus lebih dahulu mengetahui posisi pertanian tebu dan industri gula nasional di Indonesia? Apakah mereka menjadi pemain tunggal dalam memenuhi kebutuhan gula nasional? Jika benar selayaknya mereka menyelesaikan sendiri krisis itu. Toh, mereka menjadi pemain tunggal dari hulu sampai hilir. Jika tidak, berarti ada produsen asing yang mengekspor gula mereka ke Indonesia. Tidak peduli siapa atau berasal dari negara mana ? yang menjadi pertanyaan bagaimana kualitas gula dan harganya ? Apakah produsen lokal mampu bersaing dalam kualitas dan harga ? Ini penting mengingat sebuah persaingan bebas baru bisa dinilai adil jika antara pihak-pihak yang bersaing memiliki keunggulan yang sama. Inilah masalahnya, para petani tebu dan industri gula nasional, bukan pemain tunggal.
Pemerintah sudah semestinya memberikan perlindungan kepada petani dan industri gula lokal. Lho, apakah fair memberikan perlindungan di era perdagangan bebas? Kita bisa menjawabnya dengan mengenali terlebih dahulu apa saja yang menjadi penyebab krisis itu sendiri.
Sedikitnya ada empat (4) faktor struktural yang menjadi biangnya. Pertama, pemberlakuan program liberalisasi ekonomi pada 1990-an; Kedua, BM impor gula yang terlalu rendah di dunia; Ketiga, kapasitas penggilingan yang terlalu kecil dibanding bahan baku yang siap olah; Dan keempat, miskinnya laboratorium pertanian dalam pengembangan varitas tebu unggul.
Dalam sejarah industri gula di Nusantara, krisis yang menimpa industri gula sudah pernah terjadi pada 1880-an. Saat itu harga gula jatuh di pasaran Eropa, karena munculnya g
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua