Opini

Aswaja Dari Teologi Sampai Ideologi Gerakan (bagian II)

NU Online  ·  Senin, 2 Juni 2003 | 03:35 WIB

Abdul Mun'im DZ
Bagian II


Elaborasi konsep jamaah ini merupakan tindakan revolusioner karena yang dimaksud jamaah tidak hanya sawadil a'dlham (mayoritas urnat) terutama elite ulama atau intelektualnya yang ada seperti Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya. Jamaah yang dikembangkan dalam pengertian baru ini mencakup keseluruhan pemikiran kontemporer yang dipandang maslahah (relevan) dengan gerakan penegakan keadilan dan emansiapasi sosial. Maka untuk membongkar stuktur penindasan dan pola eksploitasi yang berkembang dewasa ini, maka Aswaja menggunakan teori sosial yang ada baik teori strukturalisme, teori kritis dan sebagainya. Kalau teori modernisasi bermotif untuk mendominasi, maka teori kritis ini bertujuan melakukan emansipasi, karena itu teori yang belakangan ini banyak digunakan kalangan NU dalam menjalankan aktivitas pemikiran dan sebagai sarana gerakan pembaruan sosial.

<>

Perubahan orientasi bagi suatu mazhab atau aliran itu sangat wajar, di tengah perubahan zaman, hampir semua mazhab, aliran pemikiran mengalaminya. Hal itu ditempuh agar pemikiran tersebut terus relevan dan semakin besar. Mungkin bagi kelompok tekstualis hal itu dianggap bid'ah karena harrifunal kalima 'an ina,radhi 'ihi mengubah format ajaran dianggap sesat dan kesalahan besar. Tetapi perubahan ini oleh kalangan pembaru termasuk pembaru Aswaja dianggap sebagai keharusan agar Aswaja tidak kehilangan relevansi dap mampu mengemban tugas profetiknya, untuk mengemansipasi rakyat dari berbagai macam kesulitan, agar hidup mereka sejahtera, dengan demikian Aswaja menjadi ajaran yang hidup, bukan sekadar warisan sejarah.

Tafsiran atas setiap ajaran, mazhab dan aliran, bukanlah monopoli generasi pendirinya, melainkan milik generasi di masing-masing zaman, karena itu setiap generasi berhak memformat gagasan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya. Maka bisa kita rumuskan bahawa Aswaja sekarang ini adalah apa yang sudah kita rumuskan dan praktekkan selama ini (ma ana `alaihi wa ash-habi) artinya tidak hanya apa yangdilakukan nabi dan sahabat, tetapi termasuk apa yang kita upayakan bersama, hanya saja masih butuh reformulasi lebih matang dan butuh artikulasi lebih mendalam, agar sosoknya semakin kelihatan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya reformulasi yang terus menerus, pada setiap generasi.

Karena Aswaja lahir dari pergumulan sosial, maka sikap kerakyatan menjadi orientasi gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang mereka jalankan. Situasi politik dan sosial sejak zaman orde baru hingga masa reformasi ini banyak mengalami perubahan, tetapi tidak mengarah pada perbaikan yang membawa keuntungan bagi rakyat, baik bidang politik apalagi dalam bidang ekonomi yang semakin melemah. Reformasi hanya membawa perubahan artifisial, hanya mengganti aktor, tetapi tidak mengubah struktur politik lama, banya perbaikan secara tambal sulam, itupun dilakukan kelmpok lama yang ingin melindungi keselamatan dirinya. Format negara juga belum diubah, sehingga power relation (relasi kuasa) yang lama masih terus berjalan, yang menempatkan pernerintah atau negara sebagai peneritu segala kebijakan, sementara rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tiidak mendapatkan akses kekuasaan. Sementara kalangan elite masih mendminasi kekuasaan baik dalam membuat peraturan dan menentukan arah kebijakan poltik dan ekonomi. Persentuhan dengan persoalan nil itulah sang mendorong kalangan NU merumuskan Aswaja yang selarna ini dihayati sebagai landasan Akidah itu. menjadi ideologi perjuangan untuk memperbaiki struktur sosial. Gerakan ini semakin menemukan relevansinya ketika ekspansi kapitalisme global semakin agresif, sehingga menggasak sumber-sumber kemakmuran rakyat kecil hingga ke pelosok desa, ini yang dialami oleh pengerak Aswaja yang mendampingi rakyat di desa-desa.

Ketika politik tidak lagi beorientasi kerakyatan, seperti sekarang ini, maka dengan sendirinya seluruh kebijakan, terutama kebijakan ekonomi dan politik yang dihasilkan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Ketika harus merespon kebijakan free market (pasar bebas) yang dipropagandakan kapitalisme global melalui World Bank, IMF dalam bentuk WTO, Apec dan sebagainya, maka dengan mudah politik yang elitis ini merespon gagasan liberalisme yang lagi trendy itu agar dianggap sebagai negara modern. Padahal kebijakan tersebut secara total membabat potensi ekonomi rakyat. Terbukti saat ini ekonomi rakyat baik di sektor pertanian, perdagangan dan kerajinan, disapu bersih oleh produk asing yang mulai dipasarkan secara bebas, sementara rakyat tidak mendapatkan perlindungan dari negara dari ancaman yang mematikan itu.

Pola-pola pendampingan rakyat yang dilakukan oleh kalangan Aswaja yang berorientasi kerakyatan seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis sosial NU, baik yang bergerak dalam bidang pemikiran maupun pengembangan masyarakat, walaupun belum mampu menandingi gencarnya ekspansi kapitalisme neo liberal yang difasilitasi oleh rezim yang berkuasa. kalangan akademisi di k