Opini

Anak Singkong Impor Singkong

NU Online  ·  Senin, 12 Januari 2004 | 20:47 WIB

Oleh : Andi Irawan*

Ternyata, bahkan setelah 68 tahun merdeka, bangsa kita masih belum terampil mengisi perutnya sendiri.  Kita masih mengimpor bahan-bahan pengisi perut dalam jumlah yang sangat gigantic. Berikut data singkatnya (yang baru-baru ini dirilis oleh sebuah harian nasional): beras, 2 juta ton per tahun (menempatkan Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia); gula, 1,5 juta ton per tahun (kita adalah pengimpor kedua terbesar di dunia); dan kedelai, 1,3 juta ton per tahun (terbesar di dunia).  Komoditas pertanian lain yang juga masih diimpor oleh Indonesia dalam jumlah tidak tanggung-tanggung: garam (1,2 juta ton per tahun), gaplek (0,9 juta ton per tahun), jagung ( 1 juta ton per tahun), kacang tanah (0,8 juta ton per tahun), kacang hijau (0,3 juta ton per tahun), gandum (4,5 juta ton per tahun), dan daging sapi (450.000 ekor per tahun).

<>

Mengingat kondisi lahan pertanian kita, mungkin kita masih bisa memaklumi kalau Indonesia masih mengimpor gandum dan kedelai sebesar itu (apalagi kita masih suka makan Indomie dan membubuhi apa saja dengan kecap). Tapi, secara psikologis, rasanya susah menerima kenyataan bahwa kita masih mengimpor beras, singkong (gaplek), gula, garam, jagung, kacang tanah, kacang hijau, dan daging sapi dalam jumlah yang tidak tangung-tanggung.  Wajar jika kita bertanya: Apa sih susahnya menanam singkong di Indonesia? Apa sih susahnya menghasilkan garam dalam jumlah cukup di negara yang banyak laut dan matahari seperti Indonesia?  Apa susahnya beternak sapi, menanam tebu, kacang hijau, dan lain sebagainya?

Dari perspektif ekonomi, kenyataan ini juga agak sedikit membingungkan.  Menurut teori comparative advantage (keunggulan komparatif ), Indonesia yang dikaruniai Tuhan sumber daya alam yang besar seharusnya menjadi eksportir utama komoditas primer tersebut dalam pasar dunia, bukan malah menjadi pengimpor besar atau malah terbesar untuk komoditas beras, yang notabene merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia.  Sayangnya, keunggulan komparatif bukanlah satu-satunya faktor yang membentuk profil perdagangan internasional sebuah bangsa, apalagi ditengah-tengah arus besar liberalisasi perdagangan internasional seperti yang kita arungi saat ini (suka atau tidak suka). 

Ada faktor lain, yaitu keunggulan kompetitif/daya saing.  Alih-alih menjadi pengekspor, kalau produk kita itu tidak mampu bersaing di pasar internasional, kita hanya menjadi net importir.  Faktor lain adalah produktifitas. Kalau produktifitas menghasilkan produk-produk pertanian itu rendah, sementara disisi lain pertumbuhan jumlah “perut dan mulut” yang harus disumpal tinggi, ya sudah…impor saja, daripada nanti rakyat melakukan revolusi!  Impor adalah langkah yang paling mudah dan gampang bagi sebuah pemerintah yang malas untuk membenahi sektor pertanian, meski itu memboroskan devisa untuk sesuatu yang sebetulnya bisa kita penuhi sendiri. 

Kemalasan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memahami prioritas dan keunggulan komparatif bangsa sendiri.  Daripada duit kita hamburkan untuk beli beras dan gaplek, akan berguna kalau duit itu kita belanjakan untuk sektor pendidikan, kesehatan, fasilitas publik, dan juga untuk impor teknologi atau profesor top atau mengirim anak-anak muda berbakat Indonesia guna menuntut ilmu di luar negeri (guna membenahi daya saing kita, bukan untuk gagah-gagahan!).

Kita adalah “anak singkong” (baca: bangsa pertanian dan bahari), tapi lucunya kita masih impor singkong.  Apa tidak malu dengan perkataan Joshua: “Jeruk kok makan jeruk?”

***

Kalau ditelusuri lebih jauh, persoalan di atas bukan hanya sekedar persoalan ekonomi, tapi juga berpotensi menjadi masalah national security.  Keamanan nasional saat ini seharusnya tidak hanya dipahami sebagai military security.  Ketergantungan pangan yang akan mengancam ketahanan pangan (food security) juga harus mulai dipikirkan secara serius sebagai masalah keamanan nasional.   Kalau tidak, meski kita secara formal sudah putus hubungan dengan IMF, tidak menutup kemungkinan kebijakan-kebijakan strategis bangsa ini dapat didikte oleh negara-negara yang menjual beras dan gaplek ke kita. 

Dalam hal keseriusan memikirkan national security, kita harus mencontoh keseriusan Singapore. Tidak hanya membangun armada lautnya (jumlah kapal selam Singapore lebih banyak daripada yang dimiliki Indonesia, meski luas wilayah lautnya jauh lebih kecil dibanding Indonesia), Singapore selama 1 dasawarsa terkakhir ini secara serius telah mengembangkan teknologi yang mampu merubah limbah air domestik menjadi air yang siap minum, sehingga ketergantungannya terhadap pasokan air minum dari Malaysia (yang sering dipakai Malaysia sebagai senjata dalam forum-forum diplomatik dengan Singapore mengenai isu-isu sensitif) menjadi berkurang.

Sebaliknya, pemerintah kita lupa (warisan 32 tahun rejim Suharto ya