Oleh : Badrul Munir
Dalam Al-Qur’an anak manusia dikelompokan menjadi 4 kelompok, bagian pertama, anak sebagai musuh orang tuanya (apabila anak kita menjerumuskan bapaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama):
<>
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.)” (QSAt-Tagobun ayat 14)
Kelompok kedua, anak sebagai fitnah atau ujian, Fitnah yang dapat terjadi pada orangtua bilamana anak-anaknya terlibat dalam perbuatan yang negatif (terlibat narkoba, pergaulan bebas, tawuran/kekerasan antar pelajar, penipuan, atau perbuatan lainnya yang membuat susah dan resah orang tuanya)
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS At-Tagobun ayat 15)
Ketiga, anak sebagai perhiasan, (bahwa orangtua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di depan masyarakat).
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi ayat 46)
Keempat, anak sebagai penyejuk mata (qorrota a’yun) atau penyenang hati, Mereka adalah anak-anak yang apabila disuruh untuk beribadah segera melaksanakannya dengan penuh kesadaran anak yang menghindari kemungkaran dan kemaksiatan, anak-anak yang baik budi pekerti dan akhlaknya, ucapannya santun dan tingkah lakunya sangat sopan, serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.hal ini dijelaskan dalam Allah dalam Al-Qur’an.
“Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqon ayat 74)
Tentunya kita sebagai orang tua kita berusaha membentuk anak-anak agar masuk ke dalam kategori yang keempat sehingga proses pembentukan anak sebagai qurrota a’yun dimulai saat dalam kandungan, saat anak lahir bahkan jauh sebelum itu yakni saat memilih (calon) istri, dan proses menuju pelaminan yang islami. Proses pembentukan ini terus kita lakukan sampai anak menjadi dewasa dan mandiri.
Namun melihat dunia anak-anak dalam beberapa tahun ini sungguh memiluhkan beberapa perilaku negatif yang muncul khususnya kekerasan baik kekerasan yang menjadikan anak sebagai korban maupun kekerasan yang melibatkan anak sebagai pelakunya.
Berita kekerasan anak yang memiluhkan dengan tewasnya siswa sekolah dasar di Kebayoran Jakarta akibat (diduga) dianiaya oleh teman sekelasnya. Suatu tindakan yang sangat disayangkan diakukan seorang anak SD yang masih polos tetapi sudah tega melakukan tindakan kekerasan sampai nyawa harus melayang.
Kekerasaan terhadap siswa sekolah bukan hanya kali ini saja beberapa rentetan kasus kekerasan terhadap anak sekolah terus memenuhi berita massa di Indonesia, baik kekerasan verbal, seksual bahkan kekerasan fisik yang berujung kematian seperti yang terjadi di Jakarta ini.
Kita harus berfikir ada apa dengan pendidikan kita selama ini, mengapa anak sekolah berubah menjadi seorang kriminal seperti ini. Apa yang menjadi penyebab kekerasan ini?
Paparan kekerasan terhadap anak
Usia 7-12 tahun menurut ilmu saraf adalah periode emas dimana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk. Perilaku manusia sangat tergantung dari kerja sekelompok otak di bagian otak yang disebut lobus frontalis dan parietalis (otak bagian depan dan ubun-ubun). Dan perilaku didasari oleh sistem memori yang terekam dalam otak manusia, bilamana memori yang terekam baik maka perilaku akan bersifat baik, begitu juga sebaliknya jika memori yang terekam jelek maka perilaku cenderung jelek.
Memori yang terbentuk tergantung dari stimulus (paparan) yang masuk secara terus menerus, stimulus bisa dalam bentuk visual, auditorial, taktil dari lingkungan sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di suatu area yang di sebut sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan emosi). Di dalam kehidupan yang serta modern ini paparan yang masuk kepada anak SD sangat variatif dan beraneka ragam, paparan itu terjadi sejak bangun tidur sampai tidur lagi.
Saat berangkat ke sekolah anak sudah terpapar kekerasan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas yang begitu masif dan hampir merata di seluruh pengguna jalan memberi paparan negatif ke otak siswa sehingga ada persepsi tentang pelanggaran aturan lalu lintas.
Saat di sekolah pun ada potensi paparan negatif masih ada, sistem pendidikan yang kurang bisa mengoptimalkan potensi anak didik seringkali menciptakan kekerasan tersendiri tanpa didasari oleh pengajar lainnya atau mungkin dilakukan oleh teman sebaya dalam pergaulan sehari-hari.
Acara di televisi juga sering menayangkan adegan kekerasan (film, sinetron, acara musik dan lainnya), satu penelitian menunjukkan anak sekolah di Indonesia yang menonton televisi rata-rata 5 jam sehari semalam (jauh di atas rata-rata siswa sekolah di ASEAN hanya 2-3 jam). Artinya anak akan sangat mungkin terpapar dengan apapun yang yang ditonton di televisi, apalagi tidak semua orang tua bisa mendampingi dan memberi informasi yang benar terhadap apa yang dinontonnya. Akhirnya anak mengambil kesimpulan sendiri terdapat apa yang ditonton termasuk adegan kekerasan yang dilihat di televisi. Sebuah penelitian yang melibatkan 3000 anak sekolah yang sering menonton televisi menunjukan adanya kecenderungan untuk bertindak anarkis.
Paparan lainnya adalah kekerasan dari permainan (game) dan seolah sudah menjadi kebiasaan semua anak bisa mengakses atau bermain game sesuai keinginannya. Dan permainan game tersebut sebagian besar mengandung adegan kekerasan (di samping adegan pornografi) dan mirisnya orang tua banyak yang tidak mampu mengontrol materi game yang sedang digandrungi anak anaknya. Hal ini dikarenakan selain kesibukan orang tua, juga mudahnya anak mengakses permainan tersebut.
Permainan yang mengandalkan kecepatan otak dan alat gerak untuk menghacurkan lawan tandingnya bila dimainkan terus-menerus dan tanpa bimbingan dari orang tua akan membentuk memori di otak yang bersifat “menghancurkan” lawan. Maka perilaku yang muncul adalah potensi menghancurkan “lawan”
Sedemikian banyak paparan negatif kekerasan terhadap anak kita bila tidak ditangani dengan baik yang akan berpotensi perilaku kekerasan yang siap “meledak” bila satu stimulus yang datang, walaupun stimulus tersebut sebenarnya tidak seharusnya menimbulkan kekerasan, tetapi karena akumulasi paparan negatif tersebut maka muncullah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siswa yang bisa berakibat fatal bagi korbannya.
Semoga kita semua bisa memberi bekal dan lingkungan terbaik bagi anak kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal di masa pertumbuhannya dan kelak bisa menjadi anak sholeh sholehah yang menjadi qurrota a’yun bagi kita orang tuanya...
* Dokter spesialis saraf RS Saiful Anwar, Dosen Fakultas Kedokteran Univ Brawijaya Malang
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
Terkini
Lihat Semua