Opini

Al-Maidah 51 dalam Konteks Bernegara

NU Online  ·  Ahad, 5 Februari 2017 | 05:30 WIB

Oleh R Ahmad Nur Kholis

Sidang kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama telah berlangsung beberapa kali. Sidang ini sebagai tindak lanjut setelah dirinya dijadikan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Saya dengar ada sekitar 34 orang kuasa hukum yang mendampingi pak Ahok dalam persidangan perdananya ini.

Sedari dulu semenjak menjadi Gubenur DKI Jakarta melanjutkan tugas Jokowi, setiap sepak terjang pak Ahok memang selalu menjadi perhatian publik. Hal ini terutama karena tindakannya yang bisa dibilang tangkas dan tegas. Juga karena perkataan-perkataannya yang dalam istilah orang Jawa hampir bisa dikatakan tanpa tedeng aling-aling.

Namun demikian, pada persidangan kali ini, rupanya menjadi hal yang paling menyita perhatian masyarakat. Hal ini karena penetapan Ahok  menjadi tersangka dan persidangan kali ini tidak bisa tidak adalah dipengaruhi (setidaknya secara psikologis) oleh adanya gelombang massa yang cukup besar banyaknya. Terjadi dalam dua gelombang, cukup menegangkan pada gelombang pertama dan agak sedikit lunak pada gelombang kedua.

Semua pihak bisa dipastikan sudah mengetahui permasalahannya. Yakni masalah dugaan penistaan agama yang dituduhkan beberapa kalangan terhadap mantan Bupati Belitung itu. Tepatnya terkait dengan QS Al-Maidah ayat 51.

Terjemahan QS Al-Maidah adalah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Saya secara pribadi memiliki penafsiran sendiri terhadap ayat di atas. Dalam persepsi saya, penafsiran ini akan lebih sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini, di mana rasa kebangsaan menjadi kian menurun. Uraian berikut ini semoga menjadi sumbangan bagi penambahan kecintaan kita akan tanah air.

Dari konteksnya (asbabun nuzul), ayat ini turun berkenaan dengan dua orang sahabat Nabi yang mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi dan Nasrani untuk ikut membantu berperang melawan Nabi. Salah satu di antara dua orang sahabat tersebut kemudian tidak ikut membantu, melainkan memilih diam di rumah. Sedangkan yang lain memilih melaporkan perihalnya sendiri kepada nabi dengan tujuan ingin bertobat. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, agar seorang Muslim tidak bekerja sama dengan agama lain untuk merongrong agamanya sendiri. Demikianlah setidaknya apa yang termaktub dalam buku Asbabun Nuzul karya K.H.O. Shaleh, A.A. Dahlan, dkk.

Dalam sejarah Islam dikatakan bahwa Negara Madinah dibagun Nabi Muhammad dengan menyatukan berbagai unsur masyarakat yang telah ada sebelumnya. Di antaranya adalah beberapa suku yang menganut agama Yahudi dan beberapa suku pula yang menganut agama Nasrani di samping umat Muslim yang baru tumbuh. Kesemuanya bersatu dalam satu negara yang disebut dengan Negara Madinah dengan Piagam Madinah sebagai konstitusi yang disepakati bersama. Semuanya merupakan ‘ummatan wahidatan’ umat yang satu hak dan kewajiban dan satu fasilitas.

Dalam perjalanan politik bernegara, pada akhirnya masyarakat Yahudi dan Nasrani berkomplot untuk memberontak negara yang telah dibentuk. Konsensus yang sebelumnya disepakati menjadi ditentang. Kemudian Nabi mengambil kebijakan untuk mengusir mereka  keluar dari Negara Madinah.

Setelah terusirnya warga Yahudi dan Nasrani dari Negara Madinah maka praktis negara tersebut menjadi hanya milik orang Islam. Nabi Muhammad menjadi lebih mudah mengaturnya karena relatif lebih homogen. Kebijakan-kebijakan yang lebih bersendikan agama menjadi lebih mudah untuk diterapkan. Pada masa itu, berbicara negara adalah berbicara agama, demikian pula berbicara agama adalah berbicara negara. Keluar dari agama adalah juga keluar dari negara dan sebaliknya.

Dengan kenyataan seperti itu, maka Al-Qur’an kecuali dalam masalah hukum privat menjadi sarat dengan kebijakan politik kenegaraan. Nabi Muhammad sebagai seorang utusan Allah (dalam keyakinan umat Islam) setiap tindakan dan kebijakannya dalam mengatur negara senantiasa dibimbing oleh Allah. Demikianlah adanya sejarah Islam.

Terkait dengan Al-Maidah 51, jika dilihat dari sudut pandang kehidupan bernegara, maka dapat dilihat sebagai larangan memilih para pelaku makar atau pengkhianat negara sebagai kawan atau pemimpin. Dengan singkat kata adalah larangan memilih Warga Negara Asing (WNA) sebagai penyelenggara negara.

Dalam hal ini terlepas agamanya apa. Karena pada masa saat ini di mana bentuk negara-bangsa (nation-state) telah lahir (sejak tahun 1920 dan 1930-an). Negara-bangsa telah berbeda formatnya menjadi dibatasi batas teritorial-geografis. Berbicara agama bukan lagi berbicara negara, demikian pula sebaliknya.

Hal demikian ini, dalam kaitannya dengan kasus Ahok mengandung dua implikasi. Implikasi pertama terkait dengan pencalonannya sebagai gubenur. Implikasi kedua berkaitan dengan statemen beliau bahwa ayat 51 Surat Al-Maidah telah secara salah digunakan untuk kepentingan politik untuk menjegal calon yang bukan dari kalangan Muslim.

Pada implikasi pertama, jika menggunakan sudut pandang ini, maka pencalonan Ahok sebagai gubenur adalah salah satu hal yang sah-sah saja sebagai warga negara Republik Indonesia. Beliau bukanlah Warga Negara Asing di Indonesia. Dan bukan pula tahanan politik yang dibatasi hak-haknya oleh Undang-undang.

Sedangkan pada implikasi kedua, bagi saya, pendapat pak Ahok adalah benar juga adanya. Bahwa ayat tersebut telah dipahami secara salah untuk membatasi hak politik golongan dan agama tertentu. Hal demikian ini dalam hemat penulis adalah salah jika ditinjau dari sudut pandang kehidupan bernegara.

Upaya kontekstualisasi ajaran Islam inilah yang penulis rasa perlu sebagai wujud pengejawantahan pengamalan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis adalah mahasiswa semester akhir Pascasarjana Unisma, tinggal di Malang