Aksi dan Reaksi: Indikasi Menuju Fundamentalisme Beragama
NU Online · Senin, 13 Februari 2006 | 07:26 WIB
Oleh Saaduddin Annasih*
SEBAGAIMANA dalam hukum kausalitas, setiap ada aksi pasti ada reaksi, inilah yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Dengan -aksi- beredarnya karikatur yang telah menyentuh penghinaan terhadap pribadi nabi Muhammad SAW dan agama Islam, secara otomatis memicu reaksi kemarahan dan ketidakrelaan para pemeluk agamanya di seluruh dunia. Paling tidak, reaksi mereka terhadap hal (aksi) tersebut adalah sangat wajar mengingat simbol sakral bagi umat Islam telah dihina.
<>Adalah Jyllands Posten salah satu media cetak di Denmark yang secara sengaja membuat karikatur berdasarkan imaginasi illustratif-negatifnya terhadap syakhsiah (pribadi) Muhammad SAW dan menyebarkannya dengan dalih kebebasan pers. Disertai keengganan semula pemerintah Denmark dan pihak Jyllands Posten untuk secara resmi menyampaikan apologinya kepada masyarakat muslim, sangat jelas beraura pemaksaan faham “kebebasan pers “ versi barat terhadap publik, khususnya masyarakat muslim.
Padahal bagi mereka (kalangan barat) mempersoalkan kesahihan (pembantaian yang dilakukan Hitler terhadap yahudi) yang disebut mengorbankan 6 juta jiwa dianggap tindak pidana. Dan hal ini merupakan secuil dari sekian banyak bentuk kepongahan hegemoni Barat beserta zionismenya terhadap dunia Islam.
Dalam kasus ini mereka (barat) telah berhasil menemukan “momentumnya” -yang ke sekian kali diperolehnya- dalam menciptakan terhadap Islam yang justru disebabkan ulah sebagian pemeluknya sehingga hal tersebut berada di luar kewajaran dan melampaui batasan-batasan yang ada, karena secara tidak cerdas mereka mensiasati sikap dan reaksi terhadapnya, terbukti dengan kebrutalan dan tindakan anarkhis sebagian pemeluk agama Islam yang telah terjadi di Syria Libanon dan negara-negara lainnya, pengrusakan dan pembakaran gedung Kedutaan Besar Denmark dan Norwegia pun terjadi.
Dari sini, ada beberapa hal yang lebih menarik untuk dicermati sehingga bisa dijadikan pelajaran dengan harapan bisa mencerdaskan kita (umat Islam) dalam bersikap:
Ghirah (semangat) keberagamaan
Setelah sekian lama agama bisa diterima oleh manusia -karena memang manusia membutuhkannya- dan lebih merupakan ukuran normatif-doktriner, sedikit banyak -terlepas dari gaya dan cara memahaminya- berpengaruh pada pola pikir dan hidup para pemeluknya. Dengan keyakinan bahwa agama (Islam) adalah produk tuhan yang diyakini kebenarannya, menjadikan pemeluknya berafiliasi (intima’) kepada Islam secara “intim” yang secara otomatis “menelurkan” ghirah terhadapnya. Reaksi masyarakat Islam diatas –terlepas dari tindakan anarkhis- adalah salah satu bentuk ungkapan ghirah keberagamaan (Islam) mereka.
Namun, perlu diketahui juga bahwa tidak selamanya ghirah keberagamaan mengandung nilai positif, hubungan emosional yang telah telah terjalin antara Islam dan pemeluknya terkadang mengalahkan rasio (yang merupakan bagian dari agama, seperti diungkapkan dalam hadis nabi : addiinu ‘aqlun, falaa diina liman laa ‘aqla lahu sehingga batasan-batasan yang telah digariskan oleh Islam bisa terabaikan.
Oleh karena itu -menurut hemat saya- umat Islam sekarang harus lebih memberdayakan tathwiir al mahaaraat (Skills development) dalam pemahaman teks-teks keagamaan pada lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal, yang bisa menggiring ghirah keagamaan mereka ke arah yang positif dan pada akhirnya manifestasi ajaran Islam tidak keluar dari mainstream yang telah dibangunnya.
Berbicara tentang manifestasi ajaran agama tidak bisa terlepas dari berbicara bagaimana cara memahami teks-teks keagamaan itu sendiri, sehingga dirasa perlu untuk mengungkapnya berdasarkan fenomena dan kondisi faktual yang ada di tengah-tengah masarakat muslim sekarang ini. Pertama, masyarakat muslim yang secara wajar dalam memahami teks-teks keagamaan, dalam arti pemahaman mereka terhadap ajaran-ajaran Islam sesuai dengan ruh-ruh Islam yang telah dipraktekkan nabi Muhammad SAW sebagai agama yang hanifiah samhah, penuh damai, elastis, toleran dst.
Pemahaman mereka tidak terbentuk dari reaksi emosionalnya terhadap “dunia luar” yang mengalahkan rasionya sehingga terwujudlah karakter pemahaman yang tidak rigid, literalis dan tidak kebablasan (bayna al ifraath wa attafriith).
Kedua, Masyarakat muslim yang tidak secara wajar memahami teks-teks keagamaan, karakter pemahamannya terlihat rigid, literalis, tak kenal kompromi dst. karena rasio me
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
6
Sunnah Puasa Ayyamul Bidh di Pertengahan Bulan Dzulhijjah 1446 H Hari Ini dan Esok
Terkini
Lihat Semua