Opini

Akankah Indonesia Seperti Mesir?

Jum, 4 Oktober 2019 | 00:00 WIB

Akankah Indonesia Seperti Mesir?

Mahasiswa berdemonstrasi memprotes DPR terkait sejumlah RUU di Jakarta, 24 September 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Dalam perjalanan mengantar utusan resmi al-Azhar Mesir untuk Indonesia, Muhammad al-Husayni Farg, dia sempat bertanya, “Ada apa gerangan para mahasiswa keluar ke jalan dengan seragam almamater?” Saya jawab bahwa mereka akan melakukan aksi demonstrasi. Dia kemudian bertanya tentang tuntutan demo yang kemudian saya jawab bahwa mereka menolak pengesahan rancangan undang-undang. Dia kemudian bergumam, “Yah beginilah demokrasi, kamu bebas protes apa saja, dan saya (pemerintah) bebas melakukan apa saja” (ta’taridl ma tasya’ wa ana af’alu ma asya’). 
 
Berdemokrasi tidaklah mudah sebab ia terkait dengan benturan hak-hak individu dan kelompok. Hak berekspresi berbenturan antara satu dengan yang lain, dan hak menentukan nasib sendiri yang berbenturan dengan hak nasib orang lain. Karena semua punya hak untuk berbicara, maka yang lain juga punya hak yang sama untuk mendukung atau tidak. Benturan itu bisa antar-individu atau kelompok seperti antara mahasiswa dan DPR atau pemerintah, dan bisa intra-kelompok atau seperti di dalam kelompok mahasiswa sendiri. Mahasiswa punya hak untuk ikut demo dan tidak ikut, keduanya dijamin oleh demokrasi. 
 
Membiarkan terjadinya benturan-benturan itu bukan tanpa tujuan. Ia laksana sebuah logam besi, untuk menjadi bentuk yang diinginkan, kapak seumpama, ia harus dipukul terus-menerus hingga menjadi bentuk yang diharapkan. Logam perak atau emas, ia harus dipukul-pukul untuk menjadi cincin perhiasan. Permasalahannya adalah, untuk memukulnya perlu menggunakan ilmu. Setelah jadi bentuk tertentu, pukulan pun dihentikan, sebab kalau terus dipukul ia akan kehilangan bentuknya dan rusak. Jadi ada saatnya pukulan itu dihentikan, dan ada saatnya pukulan itu dimulai, dikeraskan dan dipelankan. Cincin tidak akan jadi tanpa benturan, dan cincin juga bisa rusak jika tidak ahli dalam memukul logam. 
 
Dalam konteks demokrasi, seseorang butuh ilmu dan keahlian. Tanpa keduanya, demokrasi tidak menemukan bentuknya dan yang terjadi hanyalah benturan-benturan luapan ekspresi yang dijamin konstitusi. Prof Muhammad Nuh, mantan menteri pendidikan nasional yang sekarang memimpin Dewan Pers Nasional, ikut mengkritik RUU yang melarang penghinaan presiden. Beliau mengatakan bahwa antara kritik terhadap presiden dan penghinaan atas presiden sangatlah tipis sehingga berpotensi memasung kebebasan pers.
 
Dalam argumen yang lain yang kontra RUU tersebut merujuk apa yang ada di Barat di mana memperolok presiden dengan membuat karikatur binatang untuknya diperbolehkan, mengapa di Indonesia dilarang? Di Barat bahkan kebebasan berekspresi adalah tanpa batas. Kalau di Indonesia memperdebatkan larangan penghinaan atas presiden tapi sepakat melarang penghinaan atas agama, maka di Barat untuk yang kedua pun (menghina agama), dibebaskan. Dan itu adalah simbol pembelaan atas manusia (eksistensialisme) dan terbebaskannya mereka dari kungkungan otoritas agama (gereja). Atau kalau seperti kata Nietzsche: Tuhan telah mati (dan sekarang manusia yang berkuasa). Kebebasan menghina agama adalah simbol pergeseran haluan hidup manusia dari yang semula demi tuhan (teosentrisme) menjadi demi manusia (antroposentrisme). 
 
Meniru Barat untuk membolehkan menghina presiden tanpa boleh menghina agama, dengan demikian seolah sebuah duplikasi yang tidak utuh. Tapi, sangat bisa dipahami karena memang tidak sama antara kebudayaan Indonesia dan Barat sehingga dimungkinkan tidak meniru secara menyeluruh. 
 
Kritik sebagai sebuah tradisi demokrasi juga berlaku untuk semua. Tidak hanya pemerintah yang harus mau dikritik, lembaga non-pemerintah, kelompok masyarakat, dan agama juga harus mau dikritik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Presedium Alumni (PA) 212, Parpol, kesemuanya juga harus siap dikritik sebagai wujud dari kebebasan berekspresi. Dengan kebebasan yang dijamin konstitusi, ia potensial menjurus pada penghinaan tatkala polemik dan pertarungan memanas. Caci maki dan umpatan liar menjadi jamak dan menimbulkan disharmoni sosial. Pertanyaannya, apakah kebebasan itu perlu dikendalikan demi harmoni sosial atau harmoni sosial dikorbankan demi kebebasan?
 
Mesir pasca penggulingan Muhammad Mursi dan naiknya Abdel Fatah El-Sisi menjadi contoh dari kebebasan yang dikekang demi harmoni sosial. Tentu hal itu merupakan kemunduran dari sisi demokrasi. Dibandingkan dengan masa Husni Mubarak, presiden yang berkuasa 30 tahun (1981-2011) yang dijatuhkan oleh revolusi rakyat Mesir, kebebasan di era kini tidak lebih baik. Pada era Mubarak terdapat koran oposisi, al-Sha’ab, yang seluruh isinya kritik terhadap pemerintah. Sementara saat ini, tidak ada. Apakah penggulingan Mubarak kemudian menjadi keliru dengan kualitas demokrasi yang menurun? Jawabannya, tentu tidak. Mubarak sudah seharusnya turun karena kelamaan berkuasa bukan karena membungkam kebebasan ekspresi. Kesalahan Mubarak persis sama dengan Soeharto. Keduanya tidak tahu caranya turun karena keduanya naik bukan dari pemilu. Untuk turun, keduanya harus mengadakan pilpres yang baik Mubarak maupun Soeharto belum pernah mengalami sebelumnya. 
 
Apa yang terjadi di Mesir yang tidak mengarah pada perubahan yang lebih baik dalam praktik demokrasi pasca penggulingan Mubarak tentu jangan terjadi di Indonesia pasca penggulingan Soeharto (1998). Kudeta atas Muhammad Mursi (2012-2013) presiden terpilih dari Ikhwanul Muslimin oleh militer menjadi titik balik demokrasi Mesir. Hal serupa (kudeta militer) tidak terjadi di sini yang membuat rezim yang digulingkan beserta kelompoknya harus dipasung dan kebebasan dikorbankan karena trauma politik.
 
Tidak bisa disamakan antara kasus Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Indonesia sehingga harus mengorbankan kebebasan orang banyak demi menyingkirkan mereka. Tidak seperti halnya di Mesir yang mengontrol kebebasan ekspresi demi stabilitas politik, di Indonesia kebebasan itu sangatlah terbuka lebar, hanya masalah kebebasan menghina dan mencaci maki yang menjadi perdebatan bukan kebebasan berekspresi itu sendiri. Indonesia memperdebatkan batasan kebebasan bukan kebebasan itu sendiri. Suatu hal yang positif agar benturan yang muncul dari kebebasan melahirkan bentuk demokrasi yang baik bagi Indonesia laksana cincin perhiasan yang mempercantik pemiliknya. 
 
 
Achmad Murtafi Haris, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya