Oleh Zacky Khairul Umam* Mengapa Aceh menjadi penting untuk wacana keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan kita, kini dan mendatang? Saya ingin menawarkan dua jawaban.
<>
Pertama, alasan kesejarahan. Posisi geografisnya yang strategis, lalu lintas gagasan dan orang lintas-imperium di Samudera Hindia, dan perannya sebagai pusat kekuasaan menjadikan Aceh unik. Ia menjadi pemancar (transmitter) sekaligus penghasil utama (producer) pemikiran dan gerakan Islam lebih awal ketimbang di Jawa. Khazanah intelektualisme yang subur di Aceh masa silam kemudian menjadi rujukan penting bagi tradisi Islam di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Jawi atau Melayu dalam aksara Arab menyebar dari Patani, Thailand, hingga selatan Filipina. Paruh kedua abad ke-16 dan terlebih lagi abad ke-17, wacana keislaman Nusantara tak bisa dilepaskan dari apa yang berkembang di Aceh. Praktek keaksaraan dan kekuasaan Islam Nusantara sungguh tak bisa dicerabut dari akar intelektualisme di Aceh.
Saya sempat berkunjung ke beberapa institusi penting di Aceh yang menyimpan naskah-naskah kuno. Juga beberapa penghimpun naskah dari kalangan swasta, saya jumpai dan dengarkan suara mereka. Dari Zawiyyah Tanoh Abee, yang didirikan oleh Shekh Fairuz Baghdadi, saya menyadari bahwa Aceh sangat berharga sebagai sumber penting dalam khazanah keislaman era awal modern di dunia Muslim. Jika kita baca buku-buku terkini, misalnya karya Stefan Reichmuth dari Universitas Bochum di jerman mengenai Alam Pikiran Murtada Zabidi, seorang sarjana beken abad ke-18, dia luput menelisik Aceh. Karya Zabidi yang fenomenal dan berjilid-jilid itu, Taj al-‘arus min jawahir al-qamus judulnya, ternyata disalin dan dibaca di zawiyah itu.
Belum lagi buku-buku kanonik karya Imam Syafii, Imam Maliki, Abu Hamid Ghazali, Ibnu Arabi, Imam Nawawi, Imam Syarani, hingga perkembangan era ‘Syekh Kita’ Qosyasyi dan Kurani, dibaca, diterjemahkan, diberi komentar, dan kebanyakan diiringi ‘catatan pinggir’ (marginalia). Ini sungguh sumber yang sangat penting, tak hanya bagi Islam nusantara tetapi juga Islam pascaklasik (post-classical Islam) yang kini sedang ramai diperbincangkan di dunia akademik di mana-mana. Selain itu, bagi pencinta sejarah perbukuan seperti genre Anthony Grafton atau dunia pernaskahan seperti François Déroche, sungguh naskah-naskah di Aceh dan tempat lain di kepulauan menjadi sumber yang unik bagi penulisan the history of book sebelum era percetakan di abad ke-19 (masa ketika Jawa kemudian umumnya mengambil alih dan menjadi sumber rujukan intelektualisme berikutnya). Mereka yang menyukai sejarah sains, bencana, dan lingkungan dan bagaimana orang masa silam menginterpretasikan dan mengatasinya, dapat pula menggali khazanah yang kaya di Aceh itu.
Betapa menakjubkan apa yang sudah dipraktekkan para sarjana di lingkaran kekuasaan Aceh, khususnya pada abad ke-17. Mazhab fikih kita, kecenderungan Sufistik kita, tendensi ilmu tauhid kita, diolah dalam suatu kekuasaan imperium yang sama seperti apa yang terjadi dalam imperium Osmani, Safawi, dan Mughal. Imperium Aceh di Asia Tenggara ditopang oleh maraknya ilmu pengetahuan, sehingga “sarjana asing dari India” seperti Nuruddin Raniri mempelajari lughat jawiyyah dan lalu dengan fasih menulis dalam bahasa ini. Ketika Abdurrauf Fansuri baru kembali dari Hijaz menuntut ilmu selama dua dekade, ia yang masih kaku dalam bahasa Jawi itu, dibantu oleh dua asisten, salah satunya berbangsa Turki bernama Baba Dawud Rumi yang ikut menyusun tafsir Quran pertama dalam Bahasa Jawi yang berpengaruh.
Kedua, bisakah kita beralih dari Jawa-sentrisme atau setidaknya bisakah kita memetik ‘kemajemukan tradisi’ di luar Jawa sebagai upaya untuk merangkul keindonesiaan dan kemanusiaan kita? Mengenang dan belajar lagi dari Aceh (dan tempat lain), misalnya, terlalu klise jika dikait-kaitkan sebagai upaya agung untuk masa depan kebudayaan Islam kita, terlebih iklim dan perkembangan global saat ini berbeda.
Tetapi, kita tak boleh berkecil hati dengan fungsi praktis dari menerokaan tradisi masa lalu. Bangsa yang besar berlomba-lomba untuk menelusuri hal ini seluas mungkin. Perhatian pada warisan budaya masa lalu, termasuk pernaskahan, sangatlah penting. Berkacalah pada sesama negeri muslim. Turki misalnya, semua naskah dan arsip sudah selesai dikatalogisasi, dan saat ini sedang dalam tahap akhir digitalisasi warisan berharga ini. Kita, pemerintah terutama, harus mengalokasikan dana dan menunjuk tim khusus, seperti perhimpunan MANASSA, untuk mempelajari identitas kebangsaan kita yang salah satunya dari tradisi keislaman itu.
Alasan kedua ini tak bisa dipisahkan dari penalaran bahwa studi-studi sejarah dan keislaman di luar Jawa juga harus berkembang. Memberikan ruang yang luas bagi berbagai Universitas Islam Negeri atau universitas umum lainnya di luar Jawa untuk ikut mengelola warisan bangsa amatlah penting. Tentu saja ini bukan upaya sektarian: ambil bagian Jawa untuk Jawa, dan ambil bagian non-Jawa untuk yang lain. Namun, Jakarta tidak harus, jika ada kebijakan, memboyong semua naskah yang ada di luar Jawa ke Perpusnas RI. Biarkanlah naskah-naskah itu dipelihara di “pusat”-nya masing-masing tetapi dengan uluran tangan dan kerja sama yang baik. Insya Allah ini akan menjadi awal yang cemerlang bagi bangsa yang sadar sejarah.
Abad ke-19 merupakan abad yang sadar dengan kearsipan, kesadaran akan memori. Melalui kolonialisme Hindia Belanda, hal itu sedikit banyak ada contoh dan bekasnya di Indonesia. Namun dekonolonisasi 1950-an barangkali ikut memberangus semua hal terkait “nekolim”. Sebelum kertas-kertas tua lapuk dimakan usia, dan sebelum naskah itu berpindah tangan ke luar negeri karena alasan ekonomis, saatnyalah kita mendorong pemerintah dan “orang kaya” dengan foundation yang peduli untuk ikut merawat apa yang sudah ada. Acehlah salah satu “pusat penting” itu. Salah satu upaya merebut hati Aceh kembali pasca-tsunami dan pasca-perdamaian saat ini ialah dengan bersama-sama mengakuinya dengan pemihakan, bukan hanya istimewa dalam nama dan kanunnya saja.
*Zacky Khairul Umam, Koordinator NU Jerman, mahasiswa Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies, Freie Universität Berlin.
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua