Terus terang saja, sastrawan besar Ahmad Tohari sebetulnya bukan teman ngobrol yang asyik. Dia seperti tidak suka basa-basi. Sepengetahuan saya, jarang juga ngobrol ngalor ngidul. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya tidak deras. Meskipun tawanya bisa tiba-tiba meledak, tapi tampak tidak sumringah. Apalagi jika berada di Jakarta, langsung mumet dia.
<>
Namun demikian, saya tak bosan menemuinya. Malah, saya sering kangen. Kangen dia melontarkan kata 'bangsat' dengan gayanya yang khas. Bangsat?
Ya, dia tak ewuh teriak bangsat, misalnya untuk orang-orang yang dolim kepada rakyat, kepada orang-orang yang tidak punya kemampuan memimpin, tapi bernafsu diakui pemimpin. "Pemimpin itu haram punya sifat nafsu. Wong bernafsu menjadi pemimpin itu sejatinya bukan pemimpin. Menurutmu bangsat tidak orang-orang begitu?"
Begitulah retorika sang pengarang kitab Ronggeng Dukuh Paruk. Jiwa merdekanya, pikiran kritisnya, sikap independennya, dan hidup mandirinya, semua bikin kangen. Atas nama kangen yang begitulah, seminggu lalu saya menemuinya di Cikini. Ia berada di Jakarta untuk mengurus visa. Tanggal 9 bulan ini, ia akan ke Jerman bersama 25 orang dalam rangka misi kebudayaan, atas biaya pemerintah.
Dan seperti pertemuan-pertemuan yang sudah-sudah, pertemuan kali ini juga, bagi saya, amat singkat, 20 menit. Ahmad Tohari melontarkan dua pertanyaan. Dua pertanyaan inilah materi pembicaraan kami.
"Bagaimana Surah?" Begitu ia memulai pembicaraan, sambil menaruh bokongnya di sofa lobi hotel Alia. Dia tidak menanyakan saya. Cuaca Jakarta yang baru saja diguyur hujan tak menarik perhatiannya.
"Kabar Surah belum mati, meski belum terbit lagi. Habis pergantian pimpinan, Pak, agar segar. Dan pimpinan yang baru ini sudah menerbitkan satu edisi," ucap saya.
"Ya baguslah. Menerbitkan majalah itu harapan, apalagi bagi santri kayak kalian. Saya tahu kalian getir. Tapi teruslah," respon Ahmat Tohari, datar-datar saja.
Surah adalah majalah sastra yang dikelola teman-teman alumni pesantren, terbit di Jakarta. Di majalah itu, Ahmad Tohari tercatut (bukan tercatat) sebagai salah seorang anggota. Meskipun dicatut, ia bersedia berpidato saat peluncuran Surah, 28 Februari 2013, di LKiS Jogjakarta. Malam itu, kami anak-anak santri penggemar sastra merasa masa depan begitu cerah, kepercayaan diri bertambah bertingkat-tingkat. Saking bahagianya, kami nyaris kehilangan kesadaran bahwa peluncuran majalah ini numpang di acara teman-teman LKiS. Acaranya memang pas dan klop, yakni baca pusi Acep Zamzam Noor, yang juga tercatut sebagai dewan redaksi Surah. Sekarang, jika teman-teman Surah ketemu, lebih banyak untuk mendaftar kegetetiran.
Ahmad Tohari memang perhatian pada Surah. Ia menulis pengantar di edisi pertama. Tiap terbitan baru, ia mengirim pesan pendek, mengapresiasi, usul begini, usul begitu. Baru-baru ini, ia menyumbang uang sepuluh juta untuk Surah. Perhatian Tohari bikin lupa bahwa kami telah mencatut namanya. Aji Fikri, yang sudi berbagi separuh tempat tinggalnya untuk kantor Surah, sepertinya punya ratusan halaman berisi keluh kesah teman-teman.
Setelah bicara sekadarnya terkait Surah, obrolan berganti topik. Kali ini tentang kiai. Ahmad Tohari memang dekat dengan dunia kiai, bapaknya sendiri seorang kiai di kampungnya. Adiknya kiai pengasuh pesantren. Ia punya banyak koleksi cerita kiai. Mulai dari kesabarannya hingga politiknya. Mulai dari ilmunya hingga poligaminya. Mulai dari NU-nya hingga rokoknya. Mulai dari pesantrennya hingga humornya.
Misalnya, saat masih muda, dia bercerita Kiai Fuad Hasyim Buntet yang berceramah di kampungnya tahun 60-an. Tohari yang saat itu masih muda mengaku menyiapkan panggung Kiai Fuad Hasyim yang pada waktu itu juga masih muda.
"Hebat sekali Kiai Fuad. Masih muda, pandai, ganteng, ceramahnya bagus dan berani. Pengajian inilah awal mula saya terlibat di NU," kenang Tohari. Cerita dia tentang menata panggung ini sudah saya dengar beberapa kali.
Suatu hari, Tohari juga bercerita saat pesantren yang diasuh adiknya hendak dapat bantuan dari keluarga Cendana. Keluarga pesantren tidak satu suara. Bantuan jadi soal di keluarga ini, sebagian menerima dan sebagian lagi, Ahamd Tohari masuk di sini, menolak. Keluarga pesantren buntu. Namun mereka satu kata dalam memecahkan soal duit Cendana ini, yakni menunjuk satu kiai untuk jadi hakim.
Lantas, dari Banyumas mereka bareng-bareng berangkat menuju Jakarta, Ciganjur tepatnya. Tak lain dan tak bukan, kiai itu bernama Abdurrahman Wahid. Apa jawaban Kiai Durahman atau Gus Dur ini?
"Terima sajalah. Nanti kalau ada urusan, saya yang menghadapi," Ahmad Tohari menirukan Gus Dur. Di hadapan Gus Dur, kata Tohari, soal yang yang diperdebatkan berhari-hari di keluarga kami, selesai lima menit. "Pertemuan di Ciganjur dilanjutkan dengan cerita-cerita, makan-makan, dan tertawa-tawa. Saya yang tidak setuju duit Cendana, harus legawa menerima duit Cendana untuk pesantren," cerita Tohari.
Sebagaimana orang pesantren pada umumnya, Ahmad Tohari punya banyak cerita tentang kiai. Kiai siapa yang pernah mampir makan dan tidur di rumahnya, diceritakan. Dan jika sudah bicara kiai, tiba-tiba dia jadi asyik diajak ngobrol. Emosinya --baik gembira, sedih, atau marah-- tiba-tiba muncul. Tapi sudahlah, kita kembali ke topik kiai yang hadir di obrolan kami di Cikini.
Sebenarnya saya tidak ingin menuliskan topik kedua lontaran sastrawan yang sukses mengelola lembaga keuangan untuk para pedagang pasar ini. Sebab, dia hanya bertanya. Cilakanya, saya tidak mampu menjawab. Namun, barangkali ada baiknya saya tulis. Barangkali Saudara dapat menjawabanya.
Ini pertanyaan beliau yang mengakhiri perjumpaan 20 menit kami, "Mengapa kesederhanaan dan kegigihan para kiai jaman dulu tak banyak terlihat pada anak-anaknya?" (Hamzah Sahal)
Tambun, 8 Maret 2015
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua