Obituari

Nyai Hj Basyiroh Zawawi, Mengabdi hingga Akhir Hayat

Rab, 20 Januari 2021 | 04:45 WIB

Nyai Hj Basyiroh Zawawi, Mengabdi hingga Akhir Hayat

Almarhumah Ny Hj Basyiroh Zawawi pendiri IPPNU (Foto: NU Online/Ajie Najmuddin)

Surakarta, NU Online

Kabar wafatnya salah satu pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Nyai Hj Basyiroh Zawawi, Selasa (19/1) malam, sejenak mengalihkan ingatan penulis saat sowan ke kediaman Hj Basyiroh di Jenu, Tuban, Jawa Timur.  Kala itu, untuk kedua kalinya, pada tanggal 9 November 2020, penulis berkesempatan sowan ke Jenu.

 

Mbah Bas begitu saya memanggilnya, ternyata masih ingat dengan saya yang pernah beberapa kali bertemu, termasuk pada saat acara acara peringatan haul kakeknya, KH Ahmad Siradj di Panularan, Solo. Meskipun raut mukanya menunjukkan usianya yang sudah uzur, tapi cara bicaranya yang ala aktivis masih melekat kuat.  "Usia saya kini 38, mas, tapi kebalikannya," kata Mbah Bas, membuka percakapan.

 

Tokoh kelahiran Boyolali, 9 Agustus 1937 itu merupakan salah satu dari kader IPPNU generasi awal. Bersama dengan Umroh Mahfudzoh dan kawan-kawan lainnya di Pesantren Masyhudiyah Keprabon Solo, ia menjadi saksi terbentuknya organisasi yang dulu bernama IPNU Putri itu.

 

Bahkan, bisa dikatakan ia merupakan Ketua pertama Pimpinan Pusat IPPNU yang kala berkedudukan di Kota Solo. “Di masa Bu Umroh, itu namanya baru Dewan Harian, belum Pimpinan Pusat. Ketuanya Bu Umroh, Wakil Ketuanya saya, Sekjennya Bu Syamsiah Muthoyib, semuanya pelajar dari Solo,” ungkapnya.

 

Baru, sepuluh bulan kemudian diadakan Konferensi Besar (kelak disebut Kongres ke-I IPPNU) di Solo, Basyiroh, terpilih sebagai Ketua Umum PP IPPNU. Pada zaman tersebut. Menurutnya, perjuangan bersama IPPNU sangatlah berat. Namun, minimnya fasilitas bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk mengadakan pertemuan. 

 

“Kami sering pergi dengan jalan kaki dari Keprabon ke Kantor PCNU Solo (di Jalan Honggowongso,-red),” kenang Nyai Basyiroh.

 

Belajar di Nahdlatul Muslimat (NDM)
 
Pada buku 'Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000' (diterbitkan PP IPPNU, 2000), Nyai Basyiroh dikenal dengan nama Basyiroh Shoimuri. Nama yang melekat di belakangnya, merupakan nama ayahnya yang tak lain KH Shoimuri. Setelah menikah dengan KH Zawawi, namanya lebih dikenal dengan sebutan Basyirah Zawawi, sampai sekarang.

 

KH Shoimuri ini merupakan seorang ulama kharismatik dari Boyolali, putera dari KH Ahmad Siradj Solo. Semasa hidupnya, Kiai Shoimuri pernah mengemban amanah sebagai Rais PCNU Boyolali. Putera-puteri Kiai Shomuri pun banyak yang mengikuti jejak ayah mereka, mengabdi di NU. 

 

Anak-anaknya selain Basyiroh, yakni: Ubaidah (meninggal saat bayi), Muhammad, Kiai Tamam (pernah menjadi Rais Syuriah PCNU Boyolali), Nyai Karimah, Kiai Mujab, Kiai Sabiq, Nyai Muhsinah (Istri KH Cholil Bisri Rembang), Nyai Kafiyah (Muslimat NU Sragen), Kiai Makin (Pesantren Raudhatut Thalibin Putri Leteh Rembang), dan Kiai Mubin (Ketua Tanfidziyah PCNU Solo).

 

Kiai Shoimuri pula yang mendorong Basyiroh yang masih remaja untuk mengenyam pendidikan sekolah. Sejak usia 5 tahun, Basyiroh dititipkan kepada kakeknya, Kiai Siradj, yang juga pengasuh Pesantren NU 001.

 

Di Solo, ia disekolahkan di RA NDM selama 2 tahun dan MI NDM selama 6 tahun. Lalu, pada tahun 1950, Basyiroh melanjutkan pendidikannya di Muallimat pertama (3 tahun) dan Muallimat atas (1 tahun), yang kesemuanya ditempuh di Nadhlatul Muslimat (NDM) Solo.

 

“Dulu yang satu kelas dengan saya itu Bu Nihayah Ahmad Shiddiq. Lulus ya bersama saya sejak MI, kemudian Muallimat juga bersama. Saya masih ingat, lulus sepuluh besar nomor satu itu Bu Nihayah, kedua Bu Syamsiyah Tegalsari, kemudian nomor tiga saya,” ujar Hj Basyiroh.

 

Mendirikan IPPNU

NDM sendiri merupakan sekolah yang didirikan para tokoh Muslimat NU Solo, salah satunya Machmudah Mawardi pada tahun 1930-an. Catatan pada artikel ini, sekaligus menjadi ralat pada buku 'Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000' (PP IPPNU, 2000) di mana seharusnya NDM, akan tetapi pada buku tersebut ditulis MDM.

 

Nama NDM patut dicatat pada sejarah IPPNU, sebab dari sekolah tersebut sejumlah tokoh IPPNU generasi awal muncul. “NDM ini dulu dijadikan rujukan pelajar dari berbagai daerah. Sebab NDM ini khusus perempuan. Kebetulan juga waktu itu masih ada Bu Mahmudah, kemudian Pak Kiai Zainuddin. Tapi akhir-akhir ketika Bu Mahmudah ke Jakarta, sampai sekarang kelihatannya lulusannya sudah berbeda dengan yang dulu,” tutur Nyai Basyiroh.

 

Semasa berjuang sebagai Ketua PP IPPNU, Basyiroh dikenal sebagai sosok peletak dasar organisasi. Mewarisi 30 cabang bentukan Umroh, Basyiroh berhasil melipatduakan hingga 60 cabang pada akhir kepengurusannya.

 

Baca jugaInnalillahi, Pendiri IPPNU Ny Hj Basyiroh Wafat

 

Kepengurusan periode pertama yang diemban hingga tahun 1958, digunakan Basyiroh untuk memperluas cabang-cabang IPPNU. Dalam setiap forum nasional di mana keluarga besar NU hadir, Basyiroh selalu menyempatkan diri memperkenalkan dan meminta bantuan pendirian IPPNU di tempat asal cabang-cabang yang bersangkutan.

 

Pengabdian Hingga Akhir Hayat

Setelah usai pengabdiannya di IPPNU, ia sempat aktif di Fatayat, hingga akhirnya ia melanjutkan pengabdiannya di Muslimat NU. Tercatat dirinya pernah menjadi Ketua Muslimat PCNU Tuban. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Tuban.

 

Kini, di usia 83 tahun, Nyai Basyiroh mendedikasikan hidupnya untuk menemani para murid dan santri di Madrasah Al-Hidayah, yang didirikannya bersama mendiang suami. Di lain waktu, ia juga masih mengisi pengajian ibu-ibu di wilayah Tuban.

 

Nampaknya dunia dakwah dan sosial terus menjadi bagian penting dari hidupnya. Saat penulis sowan ke kediamanya, tercatat ia masih memiliki jadwal mengisi pengajian yang cukup padat. Setiap Kamis, ia mengelola Majelis Taklim Al-Istiqomah Jenu.

 

“Sebab motto yang saya pegang: menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa,” ujarnya.

 

Motto tersebut menjadi pegangan hingga akhir hayatnya, sehingga meski usianya semakin tua, namun tak menyurutkan langkahnya untuk tetap ikut berjuang dan memberikan manfaat bagi sesama. Lahal fatihah.

 

Kontributor: Ajie Najmuddin

Editor: Abdul Muiz