Obituari

KH Noer Muhammad Iskandar Wafat, Berikut Profil Singkatnya

Ahad, 13 Desember 2020 | 07:45 WIB

KH Noer Muhammad Iskandar Wafat, Berikut Profil Singkatnya

KH Noer Muhammad Iskandar wafat. (Foto: asshiddiqiyah.com)

Jakarta, NU Online

Seolah hadir bertubi-tubi perihal wafatnya para kiai Nahdlatul Ulama (NU) selama masa pandemi, hari ini warga NU kembali berduka dengan wafatnya pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya, Jakarta Barat KH Noer Muhammad Iskandar, Ahad (13/12) sekitar pukul 13.41 WIB.


"Inalilillahi wainna ilaihi rooji’uun. Mohon maaf segala kesalahan murobbi ruuhina Abah KH Noer Muhammad Iskandar SQ telah kembali kepada Allah swt pukul 13:41 siang ini beliau ahli surga husnul khotimah Insyaallah," tulis Gus Ahmad Mahrus Iskandar dalam keterangan singkatnya yang disebar melalui Whatsapp, Ahad (13/12).


Terkait wafatnya ulama kelahiran Banyuwangi, 5 Juli 1955 itu juga dikonfirmasi oleh salah seorang santri Ma’had Aly Asshiddiqiyah, Muhammad Abror.

 


“Iya benar (beliau wafat),” kata Abror, santri asal Brebes di Pesantren Asshiddiyah singkat.


Menurut kabar yang diterima NU Online, jenazah Kiai Noer Iskandar saat ini disemayamkan di kompleks Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya.


Kiai yang juga mendirikan cabang Pesantren Asshiddiqiyah di sejumlah daerah ini merupakan putra kesembilan dari sebelas bersaudara, dari pasangan KH Iskandar dengan Nyai Robiatun. Kiai Noer Iskandar wafat pada usia 65 tahun.


KH Noer Muhammad Iskandar memulai pendidikannya di pesantren tradisional Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur, yang langsung di asuh oleh ayahnya sendiri KH Iskandar.


Setelah menamatkan pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah, tahun 1967 beliau melanjutkan ke Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang pada waktu itu diasuh oleh KH Mahrus Aly.

 


Di Pesantren Lirboyo beliau pernah memimpin ikatan santri Banyuwangi. Pada 1974 beliau lulus dari Pesantren Lirboyo kemudian melanjutkan kuliah di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta.


Dikutip dari laman resmi Pesantren Asshidiqiyah, Kiai Noer Iskandar merupakan sosok ulama yang sukses membangun tradisi keilmuan pesantren di jantung Ibu Kota Jakarta.


Upaya membangun pesantren di ibu kota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus dilalui dengan berbagai tantangan yang berat. Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari Kyai Mahrus Ali, Pimpinan Pesantren Lirboyo Kediri, Kiai Noer Muhammad Iskandar, SQ pun berhasil.


“Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali dikutip asshiddiqiyah.com.


Bukan hanya itu, dalam upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Al-Qur'an, umumnya metode yang diterapkan di pesantren-pesantren berkembang dengan pendekatan dogmatis.


Akibatnya, pemahaman Al-Qur'an sebagai way of life seringkali menjadi terbatas dipahaminya, yaitu hanya menyentuh aspek ubudiyah. Sementara di sisi lain, kelompok akademisi yang berbasis di kampus sekuler, memahami Al-Qur'an dengan pendekatan rasionalistik.

 


Kondisi inilah yang memperkuat dirinya untuk tidak bergabung dengan pesantren, baik yang didirikan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo Kediri sebagai staf pengajar, melainkan ia merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta.


Kiai Noer Muhammad Iskandar menikah dengan Ibu Hj Siti Nur Jazilah, putri KH Mashudi asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Ibu Hj Nur Jazilah pernah memimpin Pesantren Putri Cukir, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.


Bersama dengan beberapa teman, KH Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit sebelumnya menempati sebidang tanah di bilangan Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Beliau mulai merintis lembaga pendidikan pesantren seadanya.


Namanya Asshiddiqiyah. Pesantren ini dirintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang.


Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 hektare, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 hektare, dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon